Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

8 September 2012

Menghidupkan Budaya-Tradisi Menulis Di Kalangan Aktifis

Terlepas dari semua khayalan tentang masa lalu, tentang Hamzah Fansuri yang Agung, Jadilah perubahan yang anda inginkan dan disaksikan oleh dunia. Simpanlah Ephoria jaya itu. Kini pikirkanlah yang sedang tejadi dan menuju kearah manakah sastra di Aceh. Menuju pluralisme Keacehan ataukah menuju pada kemujudan yang picik???

Jika kita menyepatkan diri membaca majalah Izzah edisi yang bergambar perjuangan para pemuda Palestina, barangkali kita akan menemukan sebuah topik bahasan utama yang cukup menarik, yang nuasanya mensuport media Islam untuk bangkit dan berarti pula mengajak kita untuk menuliskan gagasan-gagasan kita ke dalam bentuk tulisan. Bahkan disana disebut-sebut pendapat dua orang tokoh yang tak asing lagi, yaitu Napoleoan Bonaparte yang sangat memperhitungkan seorang penulis. Karena seorang penulis bisa mengalahkan orang dalam peperangan dengan opini yang dibuatnya, sedangkan ribuan tentara belum tentu dapat melakukan demikian.

Hal serupa juga diserukan oleh seorang ulama besar Dr. Yusuf Qordlawi yang ketika berkunjung ke Indonesia mengatakan bahwa “Dahulu Eropa kita takhlukkan dengan pedang dan sekarang dengan Ilmu dan Pena Insayaallah”. Apa yang diangkat oleh majalah Islam Izzah ini saya rasa hal yang sangat tepat. Keberadaan media Islam saat ini masih tertinggal jauh dibandingkan dengan media lain. Dan tentunya akhirnya opini Islam akan menjadi lemah. Pembentukan karakter manusia yang dihasilkan dari proses membaca tentu akhirnya lebih banyak di pengaruhi oleh media kapitalis dan sekuler. Cobalah sekarang bandingkan media Islam dengan media lain. Kalaulah ada media cerita muda, mungkin hanya Annida. Demikian pula dengan media wanita, mungkin hanya ada Ummi. Dan bandingkan pula dengan media lain, belum lagi dengan koran dan websitenya. Mungkin untuk koran kita hanya bisa menyebut Serambi Indonesia, Pro Haba, Republika untuk ukuran yang bermutu dan untuk websitenya hanya Eramuslim.

Seringkali saya mendengarkan beramcam-macam alasan untuk masalah ini. Kebanyakan mengatakan bahwa kita tidak punya uang untuk itu, berapa modal yang harus digunakan untuk membuat majalah, koran dan website, tentu besar bukan?? Hal yang masuk akal juga. Okee sekarang ada website yang pengelolaannya lebih murah dan malahan ada yang gratis meskipun tidak bisa menghasilkan uang. Namun masih mungkin tulisan kita bisa nampang disana. Dan Alhamdulillah kalaulah ada orang lain yang lihat bahkan dikutip di papernya atau sebagainya. Ah menulis kan sulit, menulis kan butuh waktu, menulis kan..... kan.... kan.... tentu takkan mungkin habis alasan kita untuk untuk tidak menulis.

Apakah menulis itu sulit? Ah tentu saja tidak. Menulis hanyalah memindahkan apa yang sering kita bicarakan ke dalam bentuk tulisan dan saya fikir tidak ada hal yang terlalu sulit dalam proses ini. Akan tetapi untuk menulis yang baik memang tidak semua orang bisa termasuk juga saya, namun hal ini akan dapat kita lalui dengan sendirinya seiring dengan jam terbang kita dalam menulis.

Dengan demikian saya sangat berharap banyak bahwa kali ini dapat dijadikan sebagai gambaran tentang situasi dan kejadian-kejadian yang pernah ada. Nah dengan demikian, mengapa tidak sejak sekarang kita belajar menulis?? Jika jawabannya mungkin tidak di muat dalam koran berupa opini, mengapa tidak dikirimkan ke Manarul Online saja?? Nah sekarang saya fikir tidak akan ada alasan lagi untuk tidak menulis. Dan tidak ada alasan lagi bagi seruan ustadz Qardlawi untuk tidsk terealisasi.


Sulitnya Menjadi Seorang Penulis Di Kalangan Aktifis

Hadirnya beberapa media masa yang sedemikian rubrik sastra membuat sebagian kawan-kawan sekarang kian bersemangat dan berlomba-lomba untuk mengirim karya atau tulisannya agar dimuat dalam koran atau sejenis media cetak lainnya. Dan setiap tulisan itu adalah kebanggaan bagi setiap penulis. Namun belum tentu karya yang ditulis itu adalah karya yang terbaik.

Setiap karya tentunya berpegaruh, baik positif dan negatif, baik kecil maupun besar, tergantung kekuatan si penulis itu sendiri. “Anda tidak bisa menyentuh kelopak mata bunga tanpa menyebabkan bintang bergetar” maknanya penulis harus berhati-hati setiap melahirkan sastra atau tulisan, karena ia bertanggung jawab atas isi tulisan tersebut.

Hadirnya sebagian karya fiksi seperti Opini, Cerpen, Puisi dan lain-lain yang bertebaran di media cetak Aceh belum mencapai kata “berkualitas”, bahkan sebagiannya belum layak dikatakan karya sastra. Namun, apa boleh buat memang itu yang kita punya di antara kita. Maka kini perkuatkanlah mutu karya wahai kawan. Jangan hanya menulis kisah cinta muram yang pesimis. Mengapa tidak menulis tentang keacehan atau keislaman yang membuat orang bersemangat. Untuk apa berkarya jikalau hanya menumpahkan air mata.

Namun dibalik keprihatinan para pencinta sastra pada kesastraan di Aceh, kalangan akademis malah mengesampingkan sastra. Sebagian diantara mereka bahkan di Fkip Bahasa dan Sastra sendiri pun mereka mengklaim bahwa mereka memproduksi para guru bukan sastrawan. Nah paradigma yang kuno seperti ini hanya membuat kesusastraan jadi tak penting dan terabaikan. Yang pada hakekatnya dunia sastra adalah cermin budaya sebuah bangsa.

Apakah menjadi seorang penulis di Aceh itu sangat mudah? Siapa bilang itu mudah. Yah, memang sangat sulit untuk menjadi seorang penulis di Aceh dalam hal memamerkan hasil tulisan yang menyangkut berbagai hal, baik itu tentang Aceh masa silam, sekarang dan masa yang akan datang. Karena seorang penulis itu harus dulu mempunyai titel yang angkuh. Lantas apakah seorang penulis itu harus mempunyai sebuah gelar? Dan apakah penulis juga harus dulu betul-betul menjadi manusia layaknya seorang dosen, guru, penjabat negara atau sebagainya? Mengapa demikian, lihatlah pada media cetak yang bertebaran di Aceh, sedikitpun tidak mencerminkan sebagai seorang penulis sejati yang katanya itulah karya sastra kami yang terbaik dengan gelar atau titel yang kami punya. Itulah yang saya anggap alias Unrepresentativeness atau tidak mewakili.

Lalu bagaimana dengan kalangan aktifis dan siswa-siswi? Apakah Kami tidak berhak menjadi seorang penulis, layaknya seperti Endatu kami Hamzah Fansuri?? Kami sudah sejak lama telah durhaka terhadap Nenek Moyang kami sebagai bangsa yang mengagungkan Hamzah Fansuri sebagai Bapak Kesusastraan Dunia Melayu.

Jikalau budaya tulis yang bersifat aneh ini akan terus diupayakan, maka jangan sebut-sebut Aceh pernah gemilang pada masanya, jangan sebut-sebut Hikayat Perang Sabil sebagai puisi  panjang yang berkualitas dunia. Kalau tuan-tuan tidak mau melakukannya, maka berikanlah kewenangan itu pada kami, dan lihatlah kami bisa melakukannya lebih cepat dari tuan-tuan bayangkan.

Maka lahirkanlah karya tulisan yang bermutu dan berguna bagi bangsa kita. Kepada tuan-tuan yang berwenang, hentikanlah kinerja yang anda kerjakan dan perlihatkan selama ini pada media cetak Aceh yang besifat Unrepresentativeness atau tidak mewakili dan memihak sebelah itu, agar kembali ruh kejayaan sastra itu di ujung Sumatera ini seperti endatu kita Hamzah Fansuri yang telah melalukannya.

Penulis Adalah Mahasiswa FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar