Dalam
sejarahnya, Aceh tak pernah sepi dari perbincangan. Mulai dari kekayaan
alamnya, masa lalu yang gemilang dengan sejumlah kerajaan besar, perlawanan
rakyatnya terhadap kolonialisme, masa suram di tengah berbagai konflik, hingga
bencana tsunami. Seluruhnya terekam dalam perkembangan karya sastra di Aceh,
mulai sejak Hamzah Fanzuri, Nuruddin Ar-Raniry, Tengku Chik Pante Kulu, hingga
generasi terkini, karya sastra Aceh merepresentasikan perkembangan sejarah yang
menarik, baik sejarah ihwal Aceh dan kekayaan budayanya ataupun sejarah dalam
kesusastraan itu sendiri.
Satu hal
yang senantiasa tak lepas dari karya-karya sastra Aceh adalah perlawanan.
Karya-karya perlawanan tak hanya muncul semasa kolonialisme Belanda, ketika
“Hikayat Perang Sabil” karya Tengku Chik Pante Kulu menggerakkan seluruh rakyat
untuk melakukan perlawanan. Bahkan hingga hari ini, semangat perlawanan terus
terasa kuat dalam karya para sastrawan Aceh, termasuk perlawanan terhadap
Jakarta semasa Orde Baru, menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Tak ada satu
pun antologi puisi karya para penyair Aceh, yang tidak menyuarakan perlawanan
dan tuntutan terhadap keadilan. Di lain sisi, Aceh pun menghadirkan tangis
ketika tsunami melanda di akhir tahun 2004 lalu. Sekali lagi, Aceh diliputi
kemurungan yang amat terasa dalam sajak-sajak penyairnya yang terkumpul dalam
antologi “Ziarah Ombak”.
Aceh dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia adalah sebuah
keniscayaan. Tak hanya bersebab pada sejarah estetika pengucapannya, melainkan
juga sejarah yang merepresentasikan fenomena kekuasaan yang berlangsung.
Terakhir, sejarah Aceh hadir dalam lanskap bencana tsunami, perdamaian, dan
perubahan besar, yang terjadi di tengah arus kehidupan sosial masyarakatnya.
Memandang dan
membaca kembali perkembangan sastra Aceh sebagai bagian dalam perkembangan
sastra Indonesia inilah tampaknya yang hendak diusung oleh Aceh International
Literary Festival di Banda Aceh, 5-7 Agustus 2009. Selain menghadirkan sejumlah
sastrawan dari Jakarta, Medan, Yogyakarta, Solo, Bali, Bandung, Cirebon, dan
Kudus, festival ini juga diikuti oleh para sastrawan dan peserta dari Italia,
Austria, Australia, Cina, dan Malaysia. Selain pembacaan karya para sastrawan,
festival ini juga menggelar seminar yang menghadirkan pembicara kritikus sastra
Katrin Bandel dan Maman Mahayana serta penyair Aceh, D. Kemalawati.
Ketiga
pembicara seminar meletakkan Aceh sebagai fokus perbincangan dengan berbagai
konteks persinggungannya dalam isu kesusastraan Indonesia, termasuk ihwal
politik sastra. Meski semangat perlawanan dalam karya-karya sastra Aceh
tampaknya menjadi sorotan menarik, seperti mengemuka dalam pandangan Katrin
Bandel. Merujuk pada sajak-sajak Fikar W. Eda, Katrin melihat bahwa ada semacam
semangat perlawanan yang sama antara puisi-puisi Fikar dan Wiji Thukul.
“Hanya saja,
jika Wiji Thukul menggunakan sajaknya untuk menyuarakan perlawanan suatu kelas
yang ditindas oleh sebuah rezim kekuasaan, maka semangat perlawanan dalam sajak
Fikar W. Eda lebih pada perlawanan suatu etnis yang diperlakukan tidak adil,
bukan pada kelas sebagaimana Wiji Thukul,” ujar Katrin.
Sementara
itu, Maman Mahayana lebih menyarankan pada pembacaan ihwal sejarah perkembangan
sastra Aceh di hadapan berbagai situasi. Ada tiga konteks perkembangan yang
coba diamati Maman, dari mulai masa kolonialisme, Orde Baru, dan DOM. Dalam
amatannya, Aceh dan tsunami telah menjadi ruang bagi babak penyadaran bahwa
segala konflik berdarah mesti dihentikan.
“Tentara,
polisi, GAM, guru, penyair, PNS, sampai pedagang, sesungguhnya hanyalah label
profesi. Ia melekat pada manusia Aceh, manusia Indonesia, yang ingin menjalan
hidup sebagai manusia bermartabat. Lalu mengapa pula label itu dimaknai sebagai
sumber perbedaan yang berujung pada pertumpahan darah? Aceh kini bukan lagi
milik aku atau engkau, kami atau mereka. Aceh adalah kita dan kita adalah
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Aceh,” ungkap Maman.
Merujuk pada
antologi “Ziarah Ombak” yang memuat 130 puisi karya 48 penyair Aceh, Maman memandang,
bagi para penyair Aceh, tsunami merupakan kedatangan yang penuh misteri karena
misteri itu menutup seluruh jawaban, maka bagi posisi penyair di situ hadir
untuk menyuarakan semacam persaksian, sekaligus menariknya ke dalam ruang-ruang
refleksi.
Sejumlah
besar puisi dalam antologi tersebut, menyimpan begitu banyak peristiwa yang
bersumber pada satu kata: tsunami. Satu hal yang tersirat dari sejumlah
persaksian para penyair dalam sajak-sajak mereka adalah betapa kesadaran akibat
peristiwa itu hadir dengan berbagai latar belakang. Artinya, kesadaran itu
tidak muncul begitu saja. Ada berbagai konteks sejarah yang diusung oleh
kesadaran tersebut.
“Antologi
ini bukan hanya mewartakan banyak hal tentang sebuah tragedi. Tapi juga membawa
begitu banyak tumpukan kisah yang tak terucapkan. Ia menyimpan trauma yang juga
berasal dari sejarah Aceh itu sendiri. Sejarah yang agung dan berdarah-darah,”
ujar Maman, seraya meyakini bahwa sastra Indonesia tinggal menunggu lahirnya
karya-karya sastrawan Aceh, yang bisa memberi penanda penting dalam
perkembangan sastra Indonesia.
Tak berbeda
dengan Maman Mahayana, D. Kemalawati banyak mengurai sejarah perkembangan
kesusastraan Aceh, termasuk sejumlah karya yang mengangkat semangat perlawanan
dan rasa sakit semasa DOM. Namun pada bagian lain, ia memaparkan kondisi
perkembangan terkini dalam dinamika sastra di Aceh. Satu hal yang mungkin
terasa mengejutkan adalah kenyataan bahwa baru kali inilah, pegiat sastra di
Aceh bisa menerbitkan kumpulan puisi para penyair perempuan, “Lampion”.
Tampaknya, inilah yang telah lama dimimpikan.
Sayangnya,
D. Kemalawati tidak mengajak forum untuk menelisik sebab-musabab mengapa baru
kali ini perempuan bisa tampil dalam sastra Aceh. Akan tetapi lepas dari soal
itu, masa perdamaian memang telah membawa perkembangan sastra Aceh dalam
kondisi yang menggembirakan, dari mulai munculnya para pegiat sastra yang
mendirikan penerbit kecil-kecilan, hingga penghargaan terhadap para sastrawan.
Namun demikian, seluruh perkembangan itu belum dibarengi oleh lahir dan tumbuhnya
para kritikus sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar