Abad ke 16 Aceh dibawah
kepemimpinan Ala’addin Ri’ayat Syah Al Kahar dibangun menjadi negara yang kukuh
dan menguasai perdagangan antara Aceh dan Laut Merah. Bahkan ditahun 1567 Aceh
menjalin aliansi dengan Turki. Jalur perdagangan Aceh dan Laut merah serta
Malaka kala itu adalah jalur yang sibuk dengan ekspor impor.
Dengan hebatnya tata
niaga perdagangan waktu itu melahirkan kalangan orang kaya di negara Aceh.
Mereka kemudian masuk ke dalam sistem kenegaraan. Mereka bercirikan membiarkan
kuku ibu jari dan kelingking menjadi panjang, suatu tanda bahwa mereka tak
pernah melakukan pekerjaan tangan. Mereka hidup dalam kemewahan dirumah-rumah
besar yang didepan pintunya dipasang meriam. Mereka memelihara sejumlah besar
pelayan dan penjaga.
Hegemoni orang kaya
berlatar belakang pedagang ini di Aceh semakin hari semakin kuat. Mereka
dapat mengatur kekuasaan. Seorang Sultan yang tak mereka sukai bisa mereka
lenyapkan dengan membunuhnya secara halus. Waktu itu bila ada Sultan yang
berkuasa hingga dua tahun termasuk hal yang luar biasa. Seorang sultan waktu
itu tidak punya wewenang mutlak. Orang-orang kebanyakan bisa mendapatkan
alternatif lain untuk memperoleh perlindungan. Kekuasaan besar orang kaya ini
dibidang ekonomi dan pemrintahan tidak berhasil menstabilkan jalannya
pemerintahan. Aceh berguncang terus.
Pada tahun 1589 Raja
Baru bernama Al Mukammil membasmi para orangkaya ini. Alasan Raja baru ini
adalah dia tidak mau rakyat menderita karena pertikaian yang terus menerus
dikalangan atas. Aceh kembali stabil, perlindungan mutlak seorang raja tampil
dominan di Aceh. Tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda Aceh semakin
berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, Tanah Melayu hingga Malaka guna
menguasai hasil bumi untuk ekspor.
Pedagang asing yang
ingin berdagang harus berurusan dulu dengannya. Dia mendesak pedagang asing itu
untuk membeli lada dan rempah-rempah lainnya milik negara dengan harga tinggi.
Aceh tampil sebagai negara yang kuat dengan tata pemerintahan yang rapi. Dia
dijuluki sebagai penguasa yang agung. Akibat monopoli negara ini
saudagar-saudagar Aceh semakin sulit hidupnya bahkan dibandingkan dengan
pedagang yang datang dari luar seperti dari India, Arab dan Cina.
Kekuasaan dan
kecermelangan Aceh ternyata berhenti hingga Iskandar Muda. Dia tidak menyiapkan
penggantinya. Ini mungkin saja dilatarbelakangi keinginan untuk menjadi
penguasa mutlak di Aceh. Dia terlupa bahwa tidak ada kekuasaan yang kekal dan
abadi. Aceh kemudian lambat laun sirna dari percaturan perdagangan dunia,
hingga akhirnya Belanda datang ke Aceh, lalu berperang di sana selama puluhan
tahun yang mengakibatkan Aceh mengalami kemerosotan total dalam segi
kenegaraan.
Sejarah Aceh ini
mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan tidak ada yang abadi. Pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang mengutamakan keberlangsungan negaranya daripada
keberlangsungan kekuasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar