Salah satu “penyakit” yang melekat pada kebanyakan
mahasiswa baru adalah sikap apatis mereka terhadap pentingnya berorganisasi. Di
samping itu, sikap acuh tak acuh mahasiswa baru terhadap berbagai isu yang berkembang,
baik yang muncul di dalam kampus maupun lingkungan sosial yang lebih luas,
merupakan sebuah krisis yang jika tidak dibasmi bakal menjadi budaya yang akan
semakin menguat dari tahun ke tahun. Ini permasalahan yang mutlak harus dicari
pemecahannya.
Memang belum ada data pasti mengenai seberapa besar
angka atau persentase jumlah mahasiswa Indonesia yang menganggap organisasi
sebagai hal yang tidak penting. Tetapi ini adalah fenomena nyata yang dapat
diamati langsung di banyak perguruan tinggi. Data atau angka mahasiswa
Indonesia yang apatis tidaklah sepenting upaya-upaya pemberantasan virus
apatisme. Hal yang harus menjadi perhatian adalah mencari solusi untuk
memecahkan masalah ini. Namun bukan berarti inisiatif untuk mengadakan survei
terhadap jumlah mahasiswa yang punya sikap apatis terhadap organisasi di
tiap-tiap kampus tidak penting. Untuk semakin menguatkan argumen, data pasti
tentu dibutuhkan.
Pada beberapa mahasiswa baru, virus apatisme yang
mengidap mereka bisa diamati dari tampak jelasnya sikap masa bodoh terhadap
kegiatan-kegiatan positif, seperti ikut aktif dalam forum diskusi, mengurus
komunitas belajar, atau ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Kegiatan
para mahasiswa yang apatis terhadap aktivitas-aktivitas positif seperti ini pada
hari-hari kuliah biasanya hanya “ku-pu-ku-pu” (kuliah-pulang-kuliah-pulang).
Tidak ada inisiatif untuk aktif dalam kegiatan pengembangan diri melalui
keterlibatan dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.
Ironisnya, sikap apatis mahasiswa baru sulit
diberantas di tengah kepungan apatisme yang juga menjangkiti sebagian mahasiswa
awal (senior). Virus apatisme akan semakin subur manakala dia memang sudah
menjangkiti banyak mahasiswa sejak awal. Agar virus ini tidak menjangkiti
mahasiswa dari tahun ke tahun, harus dicari obat mujarab untuk membasminya.
Karena jika virus ini dibiarkan hidup semakin lama, niscaya akan semakin susah
pula memberantasnya.
Dalam upaya memerangi sikap apatisme pada mahasiswa,
peran senior mutlak perlu. Para senior dapat pula bekerjasama dengan mahasiswa
baru yang memang tidak dijangkiti virus apatisme. Beberapa mahasiswa baru
memang punya inisiatif untuk melibatkan diri di dalam organisasi tertentu.
Pemahaman akan pentingnya berorganisasi harus ditanam pada setiap mahasiswa.
Selain itu, harus pula dipaparkan manfaat yang bisa didapat dengan ikut aktif
dalam aneka kegiatan organisasi.
Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi yang
bergerak di bidang menulis, misalnya, bisa memeroleh banyak pengetahuan tentang
cara menulis, baik itu misalnya opini bertema politik, puisi, cerpen atau
novel. Kemampuan menulis yang dimiliki, akan memberi banyak manfaat bagi
mahasiswa, baik saat masih di bangku kuliah maupun setelah lulus. Keterampilan
menulis adalah salah satu modal berharga.
Dengan keterampilan menulis, seorang mahasiswa bisa
mengikuti lomba menulis. Kalau berhasil menjadi juara, tentu itu prestasi yang
membanggakan. Atau dalam hal lain, tulisan-tulisan tersebut bisa diterbitkan di
berbagai media massa. Punya kemampuan menulis juga dapat mempermudah mahasiswa
dalam menulis jurnal dan skripsi. Dan yang lebih penting lagi, ilmu menulis
bisa sangat berguna setelah lulus kuliah.
Bekal kemampuan menulis yang baik menjadi nilai tawar
yang tinggi ketika seorang mahasiswa punya cita-cita berkarir sebagai wartawan
atau penulis buku. Dalam “memburu” beasiswa S-2 atau melamar kerja, publikasi
tulisan di media massa, baik cetak ataupun elektronik, juga akan menjadi nilai
tawar tersendiri. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik dari aktif terlibat
dalam organisasi.
Kendati demikian, masih beredar sebuah asumsi keliru
yang menyebabkan banyak mahasiswa enggan berkecimpung dalam dunia organisasi.
Menurut beberapa mahasiswa, durasi kuliah idealnya adalah empat tahun.
Mahasiswa yang lulus di atas empat tahun masa kuliah, disimpulkan sebagai
mahasiswa yang telat lulus. Menurut beberapa mahasiswa yang menganut durasi
ideal seperti ini, salah satu penyebab lamanya seorang mahasiswa telat lulus
adalah karena aktif berorganisasi sehingga fokus utamanya bukan pada upaya
menyelesaikan kuliah semata. Inti dari asumsi keliru ini, mahasiswa yang aktif
berorganisasi tidak akan bisa lulus kuliah dalam waktu yang cepat.
Asumsi ini mudah sekali terbantahkan. Beberapa
mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi justru dapat menyelesaikan kuliahnya
dalam waktu yang cepat, sesuai targetnya. Justru beberapa mahasiswa yang apatis
terhadap organisasi menghadapi sejumlah kendala dalam perkuliahan, misalnya
kemampuan berinteraksinya yang kalah jauh dibandingkan dengan mereka yang aktif
berorganisasi. Mahasiswa yang apatis terhadap organisasi juga tidak terbiasa
membuat analisis sendiri yang tajam atas isu-isu tertentu yang tengah
dikulitinya.
Lagi pula, mahasiswa yang aktif berorganisasi tetapi
tidak bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu yang cepat, sudah punya kecakapan
yang memadai untuk siap terjun dalam lingkungan sosial sebagai bentuk
pengabdian mahasiswa. Artinya, walaupun tidak lulus cepat, setidaknya mahasiswa
yang aktif dan serius berorganisasi punya kesiapan yang lebih baik dari mereka
yang kegiatannya hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang.
Pemahaman ini wajib diberikan kepada senior. Tetapi
peran tersebut hendaknya tidak dalam hal menggiring mahasiswa baru agar
bergabung dalam organisasi tertentu. Upaya penggiringan mahasiswa baru oleh
senior ke dalam organisasi tertentu kerap mengabaikan kebutuhan mahasiswa yang
sebenarnya. Setiap mahasiswa, punya latar belakang, minat dan bakat yang
berbeda. Dalam hal ini, senior harus berperan untuk memfasilitasi masing-masing
mahasiswa yang punya perbedaan untuk bergabung dalam organisasi tertentu yang
sesuai dengan minat dan bakat.
Senior harus bisa mengidentifikasi “selera” setiap
mahasiswa yang berbeda-beda. Jika ada mahasiswa yang punya bakat di bidang
sepak bola, harusnya dia direkomendasikan untuk bergabung ke dalam organisasi
yang fokus di bidang olahraga. Ini bukan menggiring, tetapi memberi gambaran
dengan sedikit pengerahan. Ketika ada mahasiswa baru bergabung dengan
organisasi yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, tentu dia tidak akan
bisa menyalurkan potensinya yang tidak sesuai dengan arah gerak organisasi
tersebut.
Ketika potensi itu tidak bisa disalurkan, hal ini
tidak hanya akan merugikan mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga organisasi
tersebut. Organisasi yang diisi oleh orang yang salah itu tidak akan bisa
bergerak optimal. Misalnya, ada mahasiswa yang punya bakat di bidang seni,
lebih khususnya misalnya bernyanyi, tetapi oleh senior yang punya kepentingan
tertentu, mahasiswa tersebut lalu digiring oleh organisasi si senior yang
justru bergerak di bidang otomotif. Setiap mahasiswa harus punya fokus.
Mahasiswa butuh ruang gerak yang selaras dengan
gerakan yang ingin dilakukannya. Ketika ruang gerak yang dimasuki seorang
mahasiswa ternyata kontradiktif dengan gerak pengembangan bakat yang ingin
dilakukan, maka upaya optimal guna meraih tujuan berupa tersalurnya potensi
yang dimiliki menjadi sulit – bahkan bisa saja nihil – akibat adanya
ketersendatan saluran. Jadi, bentuk gerak – yang sesuai dengan keinginan –
hanya akan bisa diwujudkan dalam ruang gerak yang punya kesesuaian serta
mendukung gerak yang dilakukan tersebut. Put the right man in the right place.
Karena beragamnya minat dan bakat setiap mahasiswa,
terkadang ada mahasiswa yang tidak punya wadah untuk menyalurkan minat dan
bakatnya akibat ketiadaan organisasi yang sesuai dengan “selera” si mahasiswa.
Ketiadaan organisasi mahasiswa yang mewadahi para inovator di bidang kuliner,
misalnya, akan membuat mahasiswa-mahasiswa yang punya bakat di bidang tersebut
menjadi “terlantar”.
Bakat ini tidak bisa tersalurkan dengan baik karena
tidak ada organisasi yang bergerak di bidang tersebut. Untuk menghindari
munculnya sikap apatis dari mahasiswa yang punya bakat tetapi tidak ada
organisasi yang mewadahinya guna mengoptimalkan pengembangan bakatnya, di
sinilah peran senior harus lebih aktif. Para senior, harus punya inisiatif
dalam memfasilitasi mahasiswa yang “terlantar” tersebut untuk mendirikan ruang
gerak baru. Dengan peran aktif ini, virus apatisme bisa diperangi.
Karena bentuk gerak semakin banyak, maka ruang gerak
harus pula mengikuti setiap pertumbuhan bentuk gerak. Ruang gerak diciptakan
untuk menyerap bentuk-bentuk gerak yang tidak terwadahi. Jika semua mahasiswa
punya bakat yang saling berbeda, maka semua mahasiswa harus punya wadah
organisasi untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Jika upaya ini semakin
digeliatkan bersamaan dengan pertumbuhan rasa penting berorganisasi pada banyak
mahasiswa, bukan tidak mungkin virus apatisme bisa masuk kubur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar