Masa kecil Bilal dihabisakan di Mekah, sebagai putra dari seorang budak,
Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak. Sosok
Bilal digambarkan sebagai seorang yang berperawakan khas Afrika yakni tinggi, besar
dan hitam. Dia menjadi budak dari keluarga bani Abduddar. Kemudian saat ayah
mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang yang
menjadi tokoh penting kaum kafir.
Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rasulullah Saw
mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk Mekah, beliau telah lebih dahulu
mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk
beribadah kepada Allah yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan
persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia,
sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy
seputar Nabi Muhammad saw.
Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji,
kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad sama
sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan
terakahir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-sebab
permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk
Islam karena Allah Tuhan semesta alam, kemudian menyebarlah perihal
masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekah, hingga sampai
kepada tuannya Umayyah bin Khalaf dan menjadikannya marah sekali sehingga
ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.
Bilal termasuk golongan orang yang pertama-tama masuk Islam. Masuknya Bilal
ke dalam ajaran Islam mengakibatkan penderitaan yang mendalam karena berbagai
siksaan yang diterima dari majikannya. Apalagi sang majikan Umayyah bin Khalaf
termasuk tokoh penting kaum kafir Quraisy. Siksaan yang diterima Bilal memang
cukup berat, hal ini karena Bilal adalah seorang budak yang lemah dan tidak
mempunyai kuasa apapun. Berbeda dengan para sahabat Nabi Saw yang lain seperti
Abu Bakar, Ali Bin Abi Thalib yang mempunyai keluarga dan siap melindungi
menghadapi ulah kaum kafir yang senantiasa mengganggu dan menghalangi kaum
muslimin dengan berbagai cara.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy terhadap para budak yang mustad’afin memang
sangat kejam. Hal ini juga dirasakan oleh Bilal bin Rabah yang diperlakukan
secara kejam oleh Umayyah bin Khalaf beserta para algojonya. Bilal dicambuk
hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh. Tetapi dengan segala keteguhan
hati dan keyakinannya, dia tetap mempertahankan keimanannya meski harus menahan
berbagai siksaan tanpa bisa melawan sedikitpun. Setiap kali dia dicambuk, dia
hanya bisa mengeluarkan kata-kata: “Ahad, Ahad (Tuhan Yang Esa)”. Tidak hanya
sekedar dicambuk, kemudian Umayyah pun menjemur Bilal tanpa pakaian di tengah
matahari yang sangat terik dengan menaruh batu yang besar di atas dadanya.
Dengan segala kepasrahan, lagi-lagi Bilal pun hanya bisa berkata:
“Ahad, Ahad”.
Setiap kali menyiksa Bilal, Umayyah selalu mengingatkannya untuk kembali pada
ajaran nenek moyang, dan Tuhannya Latta, Uzza, tetapi Bilal tidak pernah
menyerah dengan keadaan. Dia tetap kukuh dan terus berkata: “Ahad, Ahad” setiap
kali siksaan itu datang kepadanya. Semakin Bilal teguh dan kuat, semakin keras
Umayyah menyiksa Bilal. Bahkan dia mengikatkan sebuah tali besar di leher Bilal
lalu menyerahkannya kepada orang-orang bodoh dan anak-anak. Umayyah menyuruh
mereka untuk membawa keliling Bilal ke seluruh perkampungan Mekah serta
menariknya ke seluruh dataran yang ada di kota tersebut.
Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal
melalui Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh
majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya.
Melihat hal tersebut, Abu Bakar bermaksud membeli Bilal dari Umayyah bin
Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia menduga bahwa Abu Bakar
tidak akan mampu untuk membayarnya.
Namun Abu Bakar mampu membayarnya dengan 9 awqiyah dari emas. Umayyah
berkata kepada Abu Bakar setelah perjanjian jual-beli ini usai: “Kalau engkau
tidak mau mengambil Bilal kecuali dengan 1 awqiyah emas saja, pasti sudah aku
jual juga.” Kemudian Abu Bakar menjawab: “Jika engkau tidak mau menjualnya
kecuali dengan 100 awqiyah, pasti aku akan tetap membelinya!”
Begitu Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan Rasulullah Saw bahwa dia telah
membeli Bilal dan menyelamatkannya dari tangan penyiksa, maka Nabi Saw
bersabda: “Libatkan aku dalam pembebasannya, wahai Abu Bakar!” As Shidiq lalu
menjawab: “Aku telah membebaskannya, ya Rasulullah.”
Begitulah akhirnya Bilalpun menjadi seorang yang merdeka dan selamat dari
siksaan sang majikan. Kebebasannya menjadikan Bilal seorang yang semakin taat
mengikuti ajaran agama Allah dan Rasul-Nya. Ketika Rasulullah Saw berhijrah ke
Madinah. Bilal pun turut serta berhijrah ke Madinah untuk menjauhi siksaan kaum
kafir Quraisy Mekah. Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang
sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti
setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan mata
kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mantan
majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.
Ketika Rasulullah Saw selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan
menetapkan adzan, maka Bilal bin Rabah ditunjuk sebagai orang pertama yang
mengumandangkan adzan (muazin) dalam sejarah Islam. Bilal pun menjadi Muadzin
tetap pada masa Rasulullah Saw. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan
hati siapapun yang mendengarnya. Rasulullah sangat menyukai suara Bilal.
Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah
Rasulullah Saw seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari
melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Saw
keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Ketika Rasulullah Saw akan menaklukkan kota Mekah, Bilal berada di samping
beliau. Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi oleh 3
orang saja, mereka adalah: Utsman bin Thalhah sang pemegang kunci Ka’bah,
Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari orang kesayangan
Beliau Zaid bin Haristah, serta Bilal bin Rabah sang muadzin Rasulullah Saw. Kemudian
Rasulullah Saw menyuruh Bilal untuk naik di atas ka’bah dan menyerukan kalimat
tauhid. Bilal menyerukan adzan dengan suara yang keras dan menggetarkan hati
setiap orang yang mendengarnya. Ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal.
Ribuan lisan manusia yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk.
Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak
kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah
merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna
muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah
mengangkat kedudukanmu.... Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah,
kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami
sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah
memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan
ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Saw masuk ke kota Mekah.
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku,
mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."
Al-Hakam bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat
besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku
tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu
kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."
Pada suatu hari, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek
yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali
bin Abu Thalib dan Umar bin Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau
memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal
selalu membawa tombak pendek itu kemana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan
dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun
hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar
masjid.
Begitulah sosok Bilal, dia selalu berada di belakang Rasulullah dalam
kondisi apapun. Kecintaannya terhadap Rasulullah Saw pernah membuatnya terbuai
dalam mimpi bertemu dengan Rasul sepeninggal beliau. Dalam mimpinya itu,
Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku
rindu sekali kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah
teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih
dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal
bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan
harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya.
Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong
dihampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh
penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Sesaat setelah Rasulullah Saw menghembuskan napas terakhir, waktu shalat
tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Saw
masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada
kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup
mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir disana tak kuasa menahan tangis,
maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Saw, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan
selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan
rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia
langsung menangis tersedu-sedu. Sehingga kaum muslimin yang mendengarnya ikut
larut dalam tangisan pilu. Karena itulah kemudian Bilal memohon kepada Abu
Bakar, sang khalifah yang menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai pemimpin,
agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup
melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari
kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke
wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya
seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri,
maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena
Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.” Kemudian Abu Bakar
menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku
memerdekakanmu juga karena Allah.”. Mendengar jawaban Abu Bakar, Bilal segera
menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk
siapa pun setelah Rasulullah Saw wafat.” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Baiklah,
aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama
yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak
jauh dari kota Damaskus.
Pada suatu hari, ia bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu
Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga
engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal ra pun
segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain ra meminta
Bilal ra agar mengumandangkan adzan. Ia tidak dapat menolak permintaan
orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai mengumandangkan adzan, maka
terdengarlah suara adzan seperti ketika zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal
ini sangat menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar
dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal ra
itu. Setelah beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah, akhirnya ia
meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada tahun
kedua puluh Hijriyah.
Pada waktu kedatangan Umar Bin Khattab ke wilayah Syam, yang kembali
bertemu dengan Bilal setelah terpisah cukup lama. Pada saat itu khalifah Umar
bin Khattab baru saja menerima kunci kota Yerussalem. Dalam pertemuan tersebut
khalifah Umar bin Khattab meminta kepada Bilal untuk mau mengumandangkan adzan
dan akhirnya Bilal mau menuruti permintaan sang khalifah. Mendengar Bilal
menyuarakan adzan, kaum muslimin merasa sangat terharu, bahkan Umar tidak dapat
menahan dirinya untuk tidak menangis tersedu-sedu. Suara Bilal membangkitkan
segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah
bersama Rasulullah Saw. BiIal adalah pengumandang seruan langit itu.
Peristiwa tersebut merupakan adzan terakhir yang diperdengarkan oleh suara
merdu dan syahdu Bilal bin Rabah dihadapan kaum muslimin. Bilal tetap tinggal
di Damaskus hingga akhir hayatnya. Menjelang wafatnya Bilal pada tahun
keduapuluh Hijriyah untuk menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan
kata-kata secara secara beulang-ulang, kata tersebut adalah:
“Esok kita
bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”
Bilal –semoga Allah meridhainya- merupakan seorang hamba yang taat, wara’,
tekun beribadah, nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh : “Ceritakan
kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena
sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu
surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik
melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik
malam dan siang hari kecuali saya melakukan shalat sebagaimana yang ditentukan
untuk saya melakukan shalat”. (Al-Bukhari).
Demikianlah kisah seorang Bilal, keteguhan, ketegaran dan keyakinannya akan
ajaran kebenaran, telah mengangkat derajadnya dan menjadikannya seorang mulia
di sisi Allah dan Rasul-Nya meskipun dia berasal dari seorang budak hitam yang
hina dan fakir. Sebuah kisah teladan bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar