Manusia besar memiliki kebesaran/keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
manusia biasa. Karakter, kebiasaan, dan gaya hidup manusia yang besar berbeda
dengan manusia biasa. Apalagi jika manusia besar yang kita bicarakan adalah
utusan Tuhan alias nabi atau rasul, maka perbedaannya dengan manusia biasa
semakin besar. Lebih dari itu,
Bila yang kita
bandingkan dengan manusia biasa adalah nabi terbaik dan utusan Allah Swt
termulia maka perbedaannya dengan manusia biasa semakian jauh lebih besar.
Sebab, Nabi termulia ini jangankan dengan manusia biasa seperti kita, dengan
nabi-nabi lainnya pun beliau dibedakan.
Sudah menjadi maklum bagi kita bahwa pembedaan ini bukan diskriminasi
yang tidak adil dari Allah Swt, karena setiap orang dibedakan-Nya berdasarkan
tingkat ketakwaannya di sisi-Nya. Tentu yang paling bertakwa di sisi Allah akan
menjadi orang yang termulia di sisi-Nya. Maka Rasulullah saw dibedakan oleh
Allah Swt dan mendapat sapaan dan perlakuan yang khusus dari-Nya di dalam Al
Qur’an karena beliau berhasil mencapai tangga `ubudiyyah (perihal menjadi hamba
Allah) yang tertinggi dan teristimewa. Allah Swt membedakan Rasulullah saw
karena beliau merupakan manifesati yang sempurna dari hamba mutlak-Nya. Beliau
kapanpun dan dimanapun alias selamanya selalu menjadi hamba mutlak Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan tidak pernah menjadi hamba selain-Nya.
Beliau tidak pernah menjadi hamba harta, hamba tahta, apalagi hamba wanita.
Muhammad saw hanya hamba Allah Swt.
Rasulullah saw memiliki banyak sifat-sifat yang utama dan mulia,
seperti penyayang, dermawan, sabar, pemaaf, ramah, pandai, pemimpin, rendah
hati, tegas, bijak, arif, optimis dan lain-lain. Alhasil, semua sifat yang
utama dapat kita nisbatkan kepada beliau. Dan sebaliknya semua sifat tercela
harus kita jauhkan dari pribadi agung beliau.
Dalam diri Rasulullah saw terdapat serangkaian sifat-sifat sempurna,
dimana setiap orang dapatmenjadikannya sebagai uswah (teladan) dan tuntunan
terbaik untuk melangkah menuju pembangunan jiwa.Yang demikian itu karena beliau
adalah insan kamil (manusia seutuhnya/manusia yang sempurna). Rasul saw adalah
manifestasi dari setiap kesempurnaan spiritual. Jika kita berbicara tentang
sifat sabar maka Rasul saw merupakan manifestasi dari puncak kesabaran. Jika
kita berbicara tentang ilmu maka beliau telah menggapai tangga ilmu/makrifat
yang tertinggi. Jika kita berbicara tentang ibadah maka beliau telah merasakan
manisnya ibadah yang paling tulus dan paling dalam. Alhasil, Rasulullah saw
merupakan manifestasi paling sempurna dari seluruh sifat jalaliyyah (sifat
kebesaran) dan jamaliyah (sifat keindahan) Ilahiah. Ketika beliau bersabda:
“Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah,” maka beliau merupakan tajalli
(penampakan) yang paling agung dari akhlak Allah di muka bumi. Dengan kata
lain, semua sifat terpuji yang kita saksikan di muka bumi merupakan pancaran
dari Nur Muhammad saw. Sehingga karena itu mustahil seorang Muslim mencapai
keutamaan akhlak yang ideal tanpa menjadikan Rasulullah saw sebagai pembimbing
dan guru akhlaknya.
Perlu digarisbawahi bahwa kita pun dalam batas-batas tertentu memiliki
sifat-sifat utama yang disandang oleh Nabi saw, seperti penyayang. Saat kita
memperlakukan anggota keluarga kita dengan penuh kasih sayang maka kita
berusaha meniru Nabi saw yang bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Dan
nabi-nabi terdahulu pun menyandang seluruh atribut kesempurnaan yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Jika berbicara tentang kesabaran dan
kedekatan kepada Allah Swt, misalnya, maka nabi- nabi dan para rasul terdahulu
pun memiliki keduanya. Ini bukan hanya monopoli Nabi Muhammad saw. Namun bila
kita bertanya kepada Al Qur’an adakah suatu karakter/ciri khas yang dimiliki
oleh Rasul saw yang tidak dimiliki oleh seluruh nabi terdahulu, apalagi manusia
biasa selain mereka? Al Qur’an menjawab, iya. Ada karakter yang hanya menjadi
monopoli Nabi saw, yaitu kedudukan beliau sebagai hamba mutlak Allah Swt.
Al Qur’an Bersaksi bahwa Nabi saw Hanya Hamba Allah Swt
Al Qur’an sebagai kitab suci yang agung memiliki keunikan dan keajaiban
yang menggagumkan. Mukjizat Al Qur’an bukan hanya terletak pada kedahsyatan
maknanya namun juga pada pemilihan kata/lafalnya.
Kitab Samawi yang paling agung ini memberikan perlakuan yang khusus
kepada Nabi Terakhir saw. Salah satu bentuk perlakuan khusus itu adalah Al
Qur’an menggunakan ungkapan (ta`bir) yang hanya ditujukan untuk Nabi saw.
Misalnya, dalam Al Qur’an kata `abd (yang berarti seorang hamba) hanya secara
khusus disematkan untuk Nabi saw.
Al Qur’an al Karim ketika ingin menisbatkan “hamba” (`abd) kepada
seluruh nabi maka sesudah atau sebelum kata itu selalu disertai dengan
penyebutan nama-nama mereka. Misalnya, Allah Swt berfirman:
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya`qub yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (QS. Shad:
45)
“Dan ingatlah hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan.” (QS. Shad: 17)
“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya.” (QS. Shad
41)
“Mereka mendustakan hamba Kami (Nuh).” (QS. Qamar: 9)
Tetapi saat kata `abd itu dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw maka
tanpa disertai dengan menyebut nama beliau. Yang demikian itu karena Rasulullah
saw merupakan manifestasi hamba yang mutlak (`abd mutlak). Sebagaimana
diisyaratkan dalam firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan al Furqan
(Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam.” (QS. Furqan: 1) Meskipun Kitab Taurat Nabi Musa as juga
merupakan Furqan (pembeda antara yang hak dan batil) namun Allah menyebut nama
Musa dalam firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Kami berikan kepada Musa al Kitab
(Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah (al
Furqan).” QS. Al Baqarah: 53) Jadi, ketika kita membaca Al Qur’an lalu kita
temukan kata `abd secara mutlak maka hamba yang sempurna (`abd kamil) akan
segera terlintas dalam pikiran kita, yaitu Rasulullah saw.
Dalam ayat tersebut, sebelum kata “`abd” dan sesudahnya, nama Nabi saw
tidak disebutkan, sehingga kita dapat mengatakan bahwa nama beliau dihapus dengan
qarinah (indikator). Di samping itu, yang juga menarik adalah bahwa Al Qur’an
tidak pernah menggunakan ungkapan “`abdana” (hamba-hamba Kami) untuk Nabi
Muhammad saw, karena itu mengisyaratkan majemuk (katsrat)), namun ia mengatakan
`abduhu’ (hamba-Nya), dimana ini mengisyaratkan kepada wahdat (kesatuan).
Ayat lain yang menunjukkan bahwa hamba yang mutlak hanya dikhususkan
untuk Nabi saw adalah firman Allah Swt dalam permulaan surah al Isra: “Maha
Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (QS. Isra: 1)
Dan dalam permulaan surah al Kahfi, terdapat ta`bir (ungkapan) yang menyerupai
ayat ini: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al
Kitab (Al Qur’an).” (QS. Al Kahfi: 1) Berkenaan dengan kedua ayat tersebut, filosof
dan pakar tafsir kontemporer Iran, Ayatullah Jawadi Amuli berpendapat bahwa
fokus pembicaraan pada awal surah al Isra’ adalah tasbih (penyucian), sedangkan
pada permulaan ayat surah al Kahfi mengarah pada tahmid (pemujian). Sebab,
hamba mutlak Allah Swt dapat menjadi manifestasi—karena `ubidiyah-nya yang
sempurna—dari Subbuh (Yang Maha Suci) sebagaimana ia dapat menjadi manifestasi
dari hamid (Yang Maha Terpuji)
Rasulullah saw Yang Pertama dan Yang Terakhir
Keistimewaan lain yang hanya disandang oleh Nabi Besar Muhammad saw
dalam Al Qur’an adalah bahwa beliau satu-satunya nabi yang bergelar “awwalul
muslimin” (Muslim yang pertama). Yang dimaksud dengan Muslim yang pertama ialah
beliau merupakan ciptaan yang pertama (awwaliiyah dzatiyyah), bukan yang pertama
dari sisi waktu (awwaliyyah zamaniyyah). Allah swt tidak pernah menggunakan
ungkapan awwalul Muslimin untuk nabi-nabi yang lain. Nabi Ibrahim as meskipun
bila dilihat dari sisi zaman lebih dahulu diutus daripada Nabi Muhammad saw dan
silsilah kenabian bermuara padanya, namun beliau tidak diperintahkan untuk
mengatakan, “saya orang Muslim yang pertama”. Demikian juga Nabi Nuh as yang
bergelar “Syeikh al Anbiya” (sesepuh para nabi), bahkan Adam yang menyandang
kehormatan “Abul Basyar” (Bapak seluruh manusia) pun tidak mengatakan hal
tersebut. Satu-satunya orang yang menyandang gelar awwalul Muslimin dalam Al
Qur’an adalah Rasulullah saw.
Adalah jelas bahwa yang dimaksud yang pertama di sini bukan pertama
dari sisi zaman dan sejarah. Karena kalau ini yang dimaksud maka setiap nabi
layak untuk menjadi awwalul Muslimin bagi kaumnya dan nabi-nabi terdahulu pun
juga demikian. Jadi, ketika Nabi saw diperintahkan untuk mengatakan, saya orang
Muslim yang pertama maka ini mengisyaratkan bahwa tidak ada seorangpun yang
mendahului wujud Rasullah saw. Beliau adalah makhluk yang pertama diciptakan.
Begitu juga nanti di hari kiamat beliau orang pertama yang akan dibangkitkan.
Demikianlah Allah Swt memberi maqam yang begitu tinggi pada Rasulullah
saw. Beliau adalah makhluk yang pertama diciptakan dan beliau juga satu-satunya
manusia yang mencapai puncak terakhir dari maqam qurb (kedekatan) dengan Allah
Swt sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: “Dan bahwasannya kepada
Tuhan-Mulah kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An Najm: 42) Maka Nabi Muhammad
saw layak untuk menjadi teladan bagi seluruh umat manusia karena beliau adalah
manifestasi dari ayat: “Dia yang pertama dan Dia yang terakhir.” (QS. Al Hadid:
3) Dan perlu dicatat bahwa beliau mendapat semua kehormatan ini, terutama
disebut sebagai awwalul Muslimin karena beliau adalah hamba mutlak Allah Swt.
Kita Juga Bersaksi Bahwa Muhammad saw Hanya Hamba Allah Swt
Bukan hanya Al Qur’an yang bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw hanya
menjadi hamba mutlak Allah Swt, bahkan dalam tasyahhud shalat, masing-masing
kita pun mengatakan ”asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu” (aku bersaksi
bahwa Muhammad saw adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya).
Yang menarik dalam kesaksian kita itu adalah bahwa sebelum kita
bersaksi bahwa Junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw sebagai utusan Allah Swt,
kita terlebih dahulu bersaksi bahwa beliau adalah hamba mutlak-Nya. Artinya ini
mengisyaratkan bahwa beliau tidak akan pernah menggapai maqam risalah
(kedudukan sebagai rasul) sebelum beliau menjadi hamba Allah Swt. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt: “Dia-lah yang mengutus rasul-Nya
dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh
agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. Taubah: 33) Jadi, keberhasilan
Nabi saw mencapai maqam hamba mutlak Allah Swt membuatnya layak dipilih untuk
menjadi utusan pilihan-Nya.
Bahasa Arab Tidak Berdaya Untuk Menjelaskan Maqam Nabi Saw
Allah Swt berfirman: “Lalu Dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad)
apa yang telah Allah wahyukan.” (QS. An Najm: 10) Ayat di atas turun berkaitan
dengan peristiwa Isra-Mi`raj. Sebagian ayat Al Qur’an yang menyinggung masalah
Mi`raj, ketika ingin menjelaskan maqam yang agung itu dan ingin memahamkannya
kepada kita maka ia tampak tak berdaya. Seolah-olah ayat Al Qur’an mengatakan
kepada kita bahwa ia tidak berhasil menemukan suatu ungkapan yang pas untuk
menjelaskan hakikat Mi`raj yang luar biasa itu. Kamus dan bahasa Arab tampak
terbatas dan tidak mampu mendapatkan padanan kata yang tepat untuk mengungkap
bagaimana kedekatan dan pengalaman mistik Rasul saw dengan Kekasihnya Dzat Yang
Maha Penyayang dalam peristiwa Mi`raj tersebut. Meskipun lafal merupakan ruh
dari makna, yakni lafal diletakkan untuk makna tertentu namun hal itu menjadi
efektif saat menyangkut realita yang kita sangat akrab dengannya. Padahal ada
hal-hal yang sama sekali tidak akan pernah dipahami oleh manusia biasa. Oleh
karena itu, biasanya untuk menjelaskan makna yang tak dapat dianalis dan
diuraikan dengan lafal maka bahasa Arab menggunakan lafal yang samar (mubham),
seperti “ma” (sesuatu).
Kita tahu bahwa Allah Swt berbicara dengan kita melalui media
“arabiyyun mubin” (bahasa Arab yang jelas), tetapi bahasa ini tampak keluh/tak
berdaya untuk menjelaskan maqam Rasul saw, apalagi bila menggunakan bahasa yang
lain. Ayat di atas mengatakan: M^a auha (sesuatu yang diwahyukan) dan ia tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan sesuatu yang diwahyukan. Seakan-akan hanya
Allah dan Rasul tercintanya saw yang berhak tahu tentang pengalaman Mi`raj itu,
sedangkan manusia biasa seperti kita tidak harus atau malah tidak boleh tahu.
Menurut Al Faidh dalam kitab “Al Wafi”, bahasa Arab disebut dengan
mubin (yang jelas) karena kamus bahasa Arab itu begitu luas, dimana ia mampu
menjadi penerjemah seluruh kamus dan bahasa, sedangkan bahasa-bahasa yang lain
tidak memiliki keistimewaan seperti ini. Banyak makrifat yang tinggi dapat
dijelaskan dalam bahasa Arab dengan menggunakan kata yang sederhana (basith),
sedangkan bila memakai bahasa yang lain maka hal itu harus diungkapkan dengan
kombinasi beberapa kata (murakkab). Namun bahasa Arab yang memiliki
keistimewaan seperti ini tidak dapat menjelaskan makrifat tinggi yang terjadi
pada peristiwa Mi`raj. Dalam hal ini bahasa Arab tampak kurang dan tidak mampu.
Kriteria Hamba Allah Menurut Al Qur’an
1 Hamba Allah adalah orang yang bertakwa:
“Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya”. QS. Al Ankabut: 16
2 Hamba Allah adalah orang yang ahli sujud:
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)”. QS. An Najm: 62
3 Hamba Allah adalah orang yang taat kepada Allah:
“Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya dan taatlah
kepada-Ku”. QS. Nuh: 3
4 Hamba Allah adalah orang yang menentang setan:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, hai Bani Adam, supaya kamu
tidak menyembah setan? Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang
lurus”. QS. Yasin: 60-61
5 Hamba Allah adalah orang yang bersikap tawadu`:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu )ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata ytang baik”. QS. Al Furqan: 63
6 Hamba Allah adalah orang yang berbuat ikhlas:
“Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa) mukhlashin”. QS.
Ash-Shaffat: 40
7 Hamba Allah adalah orang yang beriman:
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada
Tuhan-Mu”. QS. Az Zumar: 10
8 Hamba Allah adalah orang yang mengikuti pendapat yang terbaik:
“Sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”. QS. Az Zumar:
17-18
9 Hamba Allah adalah orang yang saleh (dzati):
“Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh”. QS. An Naml: 19
10 Hamba Allah adalah orang yang baik (muhsin):
“Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik”. QS. Ash Sahaffat: 80
11 Hamba Allah adalah orang yang mencari rezeki yang halal dan suka
bersuci:
“Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pulalah yang mengharamkan
rezeki yang baik?” QS. Al A`raf: 32
12 Hamba Allah adalah orang yang ahli taubat:
“Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya Allah menerima tobat dari
hamba-hamba-Nya”. QS. At Taubah: 104
13 Hamba Allah adalah orang yang anti terhadap maksiat QS. Al Isra: 17
Dan cukuplah Tuhan-mu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa
hamba-hamba-Nya
14 Hamba Allah adalah orang yang takut kepada Allah:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya ulama
(orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah)” QS. Fathir: 28
15 Hamba Allah adalah orang yang tidak kafir:
“Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya” QS. Az Zumar: 7(alhas/prs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar