Geubrina Rezki
Afzalul Zikrinim
Hikayat Malem Dagang adalah syair kepahlawanan Aceh.Isinya
mengisahkan penyerangan Sultan Aceh Iskandar Muda terhadap Portugis yang
berkuasa di Malaka.Kerajaan Malaka ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M.
Sultan Malaka dan keturunannya menyingkir dan mendirikan kerajaan Johor.
Sekarang Malaka dan Johor keduanya merupakan dua negara bagian/provinsi di
Malaysia.Penyerangan Aceh terhadap Portugis di Malaka adalah kenyataan sejarah,
baik sebelum masa Sultan Iskandar Muda maupun di saat beliau berkuasa. Dalam
disertasi sejarawan Perancis, Denys Lombard yang telah diterjemahkan,
disebutkan bahwa “Kerajaan Aceh-zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), juga
memuat daftar penyerangan Aceh ke Malaka, yaitu pada tahun: 1537, 1547, 1568,
1573, 1575, 1582, 1587, 1606. Pada tahun-tahun itu, Portugis menyerang
Aceh.Benteng-benteng mereka masih bersisa di Krueng Raya.Selanjutnya, tahun
1613-1615, Aceh menyerang Johor, karena membantu Portugis.Kemudian, tahun 1617,
Aceh menyerang Pahang, karena bersekutu dengan Portugis. Disebutkan pula, pada
tahun 1623 dan 1629 M, hal yang sama terjadi.Fakta sejarah ini sedikit sekali
disinggung dalam sumber-sumber tertulis Aceh.Di antara yang secuil itu, Hikayat
Malem Daganglah satu-satunya. Sementara dalam Hikayat Prang Peringgi (artinya,
Hikayat Perang Portugis), sama sekali tidak menyinggung data-data sejarahnya,
kecuali semangat jihad saja.Karena Hikayat Malem Dagang (buat selanjutnya
disingkat dengan HMD) bukanlah kitab/buku sejarah, muncullah beragam hasil
analisis tentang para pelaku dalam kisah itu.Begitu pula mengenai waktu dan
lokasi dalam cerita tersebut.Masalah pendapat-pendapat para pengkaji hikayat
itulah yang diperbincangkan dalam tulisan ini.
Sejauh yang saya ketahui, Dr. Snouck Hurgronje adalah
pengkaji paling awal mengenai HMD. Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, “Aceh
di Mata Kolonialis, jilid II Snouck Hurgronje mengatakan HMD disusun tidak lama
setelah peristiwa itu terjadi, yakni masih di abad ke 17 M. Agaknya, naskah
yang dikaji Snouck merupakan salinan ulang yang oleh penyalinnya telah
disesuaikan isinya dengan kondisi Aceh saat itu. Kata Snouck: di seluruh
hikayat disebutkan bahwa Raja Si Ujud yang dilawan Sultan Iskandar Muda adalah
raja Belanda.Pengkaji kedua juga bangsa Belanda, yakni DR.H.K.J.Cowan, dengan
bukunya, “De Hikajat Malem Dagang”, diterbitkan tahun 1933.Cowan menegaskan
bahwa HMD dikarang pada abad ke 17. Nampaknya, naskah yang dikaji Cowan lebih
tua sehingga “Raja Si Ujud sebagai raja Belanda belum dijumpai di dalam naskah
itu.Tahun 2006, naskah HMD yang dimuat dalam buku “De Hikajat Malem Dagang”
telah saya salin ke huruf Latin ejaan EYD, yang sebelumnya dalam ejaan
Belanda.Tetapi, sampai hari ini hasil transliterasi saya itu belum diterbitkan.
Penulisan oleh H.K.J.Cowan akan buku ini terkesan amat serius sehingga semua
isi hikayat yang dalam bahasa Aceh telah diterjemahkan ke bahasa Belanda, di
samping pembahasan isinya yang panjang lebar pula. Kajian Cowan inilah yang
saya pakai sebagai bahan utama tulisan. Lantaran saya tidak bisa bahasa
Belanda, karena itu, saya mintalah bantuan penterjemahannya kepada sahabat
saya, Drs. Agus Supriyono,MA, Dosen Fakultas Sastra,Undip-Semarang.Sebelumnya,
Prof.A.Hasjmy, yang memperkenalkan kembali HMD secara lebih meluas. Dengan
merujuk dua buku Sejarah Johor dan Sejarah Pahang Karya HajI Buyung Adil yang
diterbitkan di Malaysia, Hasjmy berkali-kali menulis tentang HMD.Di antara
karyanya yang telah dimuat dalam berbagai buku/makalah ialah dalam “Seulawah,
Antologi Sastra Aceh-Sekilas Pintas” halaman 524-541, terbitan Yayasan
Nusantara tahun 1995.
Berbeda dengan dua pengkaji bangsa Belanda sebelumnya,
Hasjmy berpendapat HMD dikarang Teungku Ismail bin Ya’kub alias Teungku Chik
Pante Geulima pada tahun 1309 H. Pada pentup HMD dalam buku “De Hikajat Malem
Dagang” yang ditulis/disalin Cowan, memang tercantum tahun 1309 H, tetapi saya
lebih yakin tahun itu adalah tahun penyalinan ulang. Menyimak gaya
penulisannya, maka saat penyusunan pertama HMD lebih tua dari tahun
itu.Mengenai asal nama Raja Si Ujud, Hasjmy menulis: Dalam sejarah Aceh,
beliaulah yang dimaksud dengan “Raja Si Ujud“, mungkin sekali berasal dari
“Raja Selayut“… karena pernah tinggal di Selayut. Menurut saya, nama Raja Si Ujud,
Raja Raden dan Putroe Beureuhut-isteri Si Ujud adalam nama-nama khayalan si
pengarang HMD. Dalam bahasa Arab, “Wujud” artinya ada.Karena “raja” Portugis di
Malaka tidak dikenal lagi, maka disebut saja “Raja itu memang ada alias Raja Si
Ujud”.Begitu pula dengan Raja Raden. Akibat nama abang Raja Si Ujud tidak
diketahui yang sebenarnya, maka digantikan saja dengan Raja Raden, suatu gelar
kehromatan karena Raja Raden memihak Aceh, yakni gelar seorang
bangsawan.Sementara nama Putroe Beurehut, malah diberi nama yang menjelekkan.
Beureuhut adalah lobang neraka di dunia. Mon Beureuhut(sumur beruhut), menurut
kitab Tambeh/nadham Aceh terdapat di wilayah Syam/. Irak.Menurut data-data
sejarah, Raja Sebrang kawin dengan saudara perempuan Sultan Iskandar Muda. Sejak
itu, ia diharapkan menjadi teman dalam membantu Aceh melawan Portugis. Akan
tetapi, ketika Sultan pulang kembali ke Johor (1614), ia telah dengan giat
melakukan perundingan lagi dengan Portugis. Tindakan yang kedua kalinya itu
tidak memuaskan orang-orang Aceh. Sebab itulah, pada ekspedisi Aceh yang kedua,
ia ditangkap kembali, lalu dibawa ke Aceh dan dibunuh di sana.Adalah penting
untuk menyelidiki ekspedisi kedua ini secara lebih cermat.Armada Aceh mendapati
Johor telah ditinggalkan penduduknya.Dalam perjalanan pulang bertemu dengan
armada Portugis di bawah pimpinan Miranda dan Mendoca, yang datang dari Malaka
untuk membantu Johor tetapi dipukul mundur.Pertempuran ini diidentifikasi oleh
Hoesein Djajadiningrat sebagai pertempuran yang disebutkan dalam Boetanus-Salatin,
yaitu pertempuran di Baning.Pada kesempatan itu, Sultan ditangkap kembali dan
dibawa ke Aceh.
Jika data-data ini dibandingkan dengan cerita dari Hikayat
Malem Dagang, ternyata ditemukan kesamaan. Dalam syair hikayat disebutkan
kedatangan dua raja bersaudara ke Aceh, yang antara lain bergelar sebagai
raja-raja Johor. Menurut data-data historis, demikian juga.Bahwa kedatangan
mereka ke Aceh tidak sepenuhnya secara sukarela.Dalam kedua versi itu
disebutkan bahwa salah satu dari mereka kawin dengan adik perempuan Sultan
Iskandar Muda. Satunya lagi pulang kembali ke Johor, yang selanjutnya setelah
banyak melakukan tindakan yang kurang berkenaan bagi orang-orang Aceh, ia
ditangkap oleh ekspedisi dan dibunuh.
Penulis syair hikayat hanya mengatakan bahwa Raja Raden pada
suatu hari datang dan diikuti oleh saudara laki-lakinya, yaitu Si Ujud. Hanya
beberapa bait yang memberikan episode ini, yang menceritakan bahwa Raja Raden
datang untuk memeluk agama Islam. Tidak ada penjelasan lebih jauh bahwa ia berangkat
ke Aceh dengan keperluan khusus. Bisa diperkirakan maksud kedatangannya yang
sesungguhnya dirahasiakan, sehubungan dengan perkawinannya dengan keluarga
Sultan Aceh.Kedua raja itu dalam kenyataan sesungguhnya bukan kafir, tetapi
hanya melakukan persekutuan antara Johor dengan Portugis.
Demikian juga penggambaran orang
Aceh tidak benar, antara syair dengan kenyataan adalah berbeda.Pada satu sisi
perundingan-perundingan berlangsung di Aceh sebelum kembali ke Johor, sedangkan
pada sisi yang lain perundingan-perundingan terjadi di Johor sesudah kepulangan
ke Johor itu.Akan tetapi, tidak boleh diabaikan bahwa dalam syair kepahlawanan
yang setengah lagendaris itu, kenyataan-kenyataan historis telah kehilangan
bentuk yang seharusnya.
Raja
Si Ujud Adalah Salah Satu Tokoh Kisah Perang Portugis Melawan Kerajaan Aceh
Mengenai satu hal semuanya sepakat, yaitu bahwa Raja Sabrang
kawin dengan saudaraperempuan Sultan Aceh. Akan tetapi “Sultan” yang pada tahun
1614 tinggal di Djohor telah dengan giat melakukan perundingannya dengan
Portugis yang kedua kalinya dan tidakmemuaskan (menyenangkan) orang-orang Aceh,
sehingga pada ekspedisi yangkedua di tangkap oleh mereka, dibawa ke Aceh dan di
bunuh di sana “ sebab menurut Atchinder,sama sekali tidak membantu
melawan Portugis.Adalah penting untuk menyelidiki ekspedisi kedua ini secara
lebih cermat. Armada Acehmendapati Djohor telah di tinggalkan, dalam perjalanan
pulang bertemu dengan armadaPortugis di bawah pimpinan Miranda dan Mendoca,
yang datang dari Malaka untukmembantu Djohor tetapi di pukul mundur.
Pertempuran ini diidentifikasi oleh Hoesein Djajadiningrat sebagai pertempuran
yang disebutkan dalam Boestanus-Salatin di Baning (Hoesein, op. cit, hlm.
180).Pada kesempatan itu atau tidak lama sesudahnya Sultan ditangkap kembali
dan dibawa ke Aceh.Jika data-data ini dibandingkan dengan cerita dari Malem
Dagang, ternyata kami temukan kesamaan. Dalam syair disebutkan kedatangan dua
raja bersaudara ke Aceh, yang antara lain bergelar sebagai raja2 Djohor.
Menurut data-data historis demikian juga halnya, bahwa kedatangan mereka ke
sana tidak sepenuhnya secara sukarela. Dalam kedua cerita (versi) itu juga
disebutkan bahwa salah satu dari mereka kawin dengan saudara Sultan Aceh., dan
satunya lagi pulang kembali ke Djohor ,yang selanjutnya setelah banyak
melakukan tindakan yang kurang berkenaan bagi orang-orang Aceh, ia ditangkap
oleh ekspedisi dan dibunuh.
Hal-hal yang khusus dari ekspedisi ini juga menunjukkan
adanya kesamaan: dalam kedua peristiwa itu armada menemukan Sultan melarikan
diri, dan oleh karena itu kota (Djohor) diduduki. Dalam pertempuran berikutnya
di Baning melawan Portugis dalam perjalanan pulang, ditemukan kembali dalam
syair sebagai perang laut di “Laot Banang”. Bahkan namanya juga sama, pada mana
harus dinyatakan bahwa “Baning” dan “Banang” sama-sama dituliskan dalam
karakter bahasa Arab.
Alasan kedatangan dua bersaudara di Aceh tidak disebutkan
dalam Malem Dagang. Penulis syair nampaknya hanya ingin mengatakan bahwa Radja
Raden pada hari tertentu datang dan diikuti oleh saudara laki-lakinya yaitu Si
Ujut. Hanya beberapa redaksi yang memberikan episode, yang menceritakan
bahwa Radja Raden datang untuk memeluk agama Islam. Tidak ada penjelasan lebih
jauh bahwa ia berangkat ke Aceh dengan keperluan khusus. Bisa diperkirakan
maksud kedatangannya yang sesungguhnya tersembunyikan (rahasiakan) Sehubungan
dengan perkawinannya dengan keluarga Sultan Aceh.
Kedua raja itu dalam kenyataan sesungguhnya bukan sama
sekali tidak beragama (kafir) sehubungan adanya persekutuan antara Djohor
dengan Portugis.
Demikian juga bagaimana penggambaran orang Aceh menjadi
tidak berkenan (marah), antara syair dengan kenyataan adalah berbeda; pada satu
sisi perundingan-perundingan berlangsung di Aceh sebelum kembali ke Djohor,
pada sisi yang lain perundingan-perundingan terjadi di Djohor sesudah
kepulangan ke Djohor itu.Akan tetapi tidak boleh diabaikan bahwa dalam syair
kepahlawanan yang setengah lagendaris itu kenyataan2 historis telah kehilangan
bentuk yang seharusnya.Kesesuaian secara keseluruhan atau bahkan pada bagian
yang khusus/ penting saja tidak diharapkan.
Namun demikian nampaknya sangat bisa diterima bahwa inti
dari Hikayat Malem Dagang adalah pengiriman ekspedisi pada tahun 1615 ke
Djohor, dan itu adalah yang kedua, sebab Sultan yang di kembalikan ke Djohor
telah bersekongkol dengan Portugis. Bagian awal syair adalah hasil dari
ekspedisi sebelumnya yaitu yang berlangsung pada tahun 1613, yaitu kedatangan
kedua raja yang di tawan itu di Aceh, tetapi dengan perbedaan, bahwa kedatangan
ini dalam syair digambarkan sebagai kedatangan sukarela, dan diperkirakan bahwa
tokoh Radja Raden dan Si Oedjoet menggantikan nama kedua raja tersebut.
Akan tetapi masih ada persoalan mengenai kedua raja itu,
yaitu siapakah sesungguhnya yang Radja Raden dan yang Si Oedjoet itu.Jika
mengikuti pendapat Hoesein Djajadiningrat maka Alaedin sendirilah yang tidak
lama sesudah penangkapannya diperbolehkan kembali ke negerinya, sementara Raja
Abdoelaah (R. Sabrang) yang kawin dengan perempuan Sultan Aceh.Dan tetap
tinggal di Aceh adalah Radja Raden.
Raja Sabrang dan Si Ujut = Alaedin. Akan tetapi hal
itu bertentangan dengan pendapat Roeffaer, bahwa Radja Sabrang di kirim kembali
(pulangkan) sebagai pengganti saudara laki-lakinya, yang berarti itu adalah
Radja Raden.
Alaedin dan Si Oedjoet = Radja Sabrang. Namun harus di
sadari, meskipun suatu Epos itu berdasarkan pada peristiwa sejarah, harus
diakui adanya karakter yang bersifat sangat lagendaris. Data-data darinya
memang bisa diambil untuk mengisi kekosongan-kekosongan (data) dalam
pengetahuan sejarah- yang untuk itu orang harus sangat berhati-hati demikian
juga hal itu ditemukan argumentasi yang mengkritisi hikayat Malem Dagang, yaitu
pendapat Hoesein dan Rouffaer yang sebelumnya.
Pertama adalah adanya saling hubungan famili: Alaedin adalah
kakak laki-laki Radja Sabrang (lihat.al. Valentijn. Beschrijving van Malaka,
hlm.331), kemudian salah satu nama dari Radja Sabrang berbunyi : “Radja
Bungsoe” yang berarti “termuda”. Demikian juga persaudaraan itu hanya bersifat
pengakuan saja, sama yang seperti tersebut dalam Sedjarah Melajoe. Diperkirakan
juga bahwa penangkapan hubungan persaudaraan adik dan kakak ini karena yang
terakhir itu adalah yang sesungguhnya sebagai raja yang memerintah. Hal
ini banyak sekali disebutkan/ dikuatkan Sedjarah Melajoe. Dalam Hikayat Malem
Dagang Si Ujut memanggil Radja Raden dengan sebutan “dalem” yaitu berarti
“saudara tua” dan sebaliknya Radja Raden Memanggil Si Oedjoet dengan sebutan
“adoe” yang berarti “saudara muda”.
Masih ada dipastikan adanya kesamaan yang menarik antara
nama Radja Radendengan yang oleh Eredia dalam tulisannya “Informacao” diberikan
kepada AlaedinYaitu ”Radja Rade”. Apakah ini kebetulan atau bukan?Apakah dalam
surat C.S. Van da Veer ”Radja Radjoe” adalah Alaedin?Akhirnya terdapat keanehan
( tabiat ) khas dari kedua raja itu, sejauh yang diperoleh.
Dari berita-berita.Secara umum berita-berita itu menjelaskan
bawa Alaedin adalah pengantuk dan raja yang tidak punya karakter, yang
mengabaikan pemerintahannya danMenyerahkannya kepada saudara laki-lakinya Radja
Sabrang, yang mempunyai sifat sebaliknya yaitu orang yang tertegas dan
terpercaya. Adalah aneh bahwa Alaedin yang pengantuk ini, yang di kembalikan
oleh Sultan Aceh dan di bawah pengawasan orang Aceh, tiba-tiba melakukan
gerakan melawan Aceh, sementara ia juga harus kehilangan dukungan dari
saudaranya. Karakter yang demikian itu lebih cocok bagi Radja Sabrang.
Tetapi bertentangan dengan yang tersebut di atas masih
terdapat beberapa kesulitan untuk dipahami.Demikianlah menurut Malem Dagang
bahwa Radja Raden (dalam hal ini adalah Alaedin), tetapi menurut data-data
historis adalah Radja Sabrang (dalam hal ini adalah si Oedjoet) menikah dengan
saudara perempuan Iskandar muda. Dalam hal ini masih bisa dipertanyakan, karena
berdasarkan berita-berita Eropa lama hanya berbicara mengenai penangkapan Radja
Sabrang pada tahun 1613, dan tidak ada keterangan dari berita-berita itu
mengenai adanya perkawinan. Oleh karena itu harus di terima bahwa kedua saudara
itu memang ditawan dan dibawa ke Aceh, tetapi lebih mungkin bahwa bukan Radja
Sabrang yang dinikahkan, akan tetapi Alaedin. Namun demikian Argumen ini juga
belum bisa dikatakan kuat.
Kemudian masih ada kesulitan yang berikut ini:
Berdasarkan surat C.S. van der veer, sehubungan dengan
berita-berita yang lain, bahwa Sultan Djohor yang dipulangkan kembali sesudah
ekspedisi yang pertama melawan Djohor tahun 1613, pada ekspedisi yang ke dua
tahun 1615 ditangkap dan dibunuh di Aceh, dan sesudah itu ia digantikan oleh
Radja Bungsu (Abdullah). Berdasarkan berita ini maka Alaedinlah yang
dipulangkan kembali dan sesudah itu ditangkap kembali dan akhirnya dibunuh.
Sementara Radja abdoellah, yang kemudian tampil sebagai
Radja memerintah dengan gelar “Sultan Abdoellah Ma’ajat Sjah” yang juga
ternyata bernama “Hammat Sjah” pada tahun 1623 meninggal di kepulauan Tambela,
yang menurut surat pemerintah Hindia kepada Heeren XVII tertanggal 3 Januari
1624 disebabkan oleh karena kesedihan yang sangat mendalam.
Sebelum itu ia pertama-tama melarikan diri ke Bintan dan
selanjutnya ke lingga. Di tempat itu ia diusir oleh orang-orang (prajurit)
Aceh, dan akhirnya ia sampai ke Tambela dan mati. Diperkirakan sebagai
alasannya mengapa ia dimusuhi oleh Aceh, adalah karena ia telah mencerai/
mengembalikan isterinya (yang adalah adik Iskandar muda) ke Aceh.
Apabila orang berpegang kepada kesimpulan Rouffaer, bahwa
bukan Alaedin akan tetapi Radja Seberanglah yang dipulangkan ke Djohor itu,
maka berita dari surat van der veer yang menyebutkan bahwa Radja Boengsoe telah
menggantikan saudaranya yang di tangkap dan dibunuh haruslah di koreksi.
Demikian juga bahwa pergantian itu tidak terjadi pada tahun
1615 sesudah ekspedisi ke dua, tetapi sudah terjadi pada tahun 1613 sesudah
ekspedisi pertama (sesudah pengiriman atau pemulangannya ke Johor).tetapi masih
banyak hal lain yang perlu di pertanyakan yaitu bahwa kematian Abdoellah
ma’ajat di kepulauan Tambela pada tahun 1623 tidak sesuai dengan berita, bahwa
Radja yang di pulangkan pada tahun 1613 atau 1614 masih di tangkap dan dibunuh
di Aceh pada tahun 1615.
Berdasarkan keraguan-keraguan yang telah disebutkan di muka
(H. K. J. Cowan) apakah saya akan mengikuti salah satu pendapat tersebut di
atas, yaitu sehubungan dengan persoalan identifikasi bahwa Radja Raden adalah
Alaedin dan si Oedjoet adalah Radja Sebrang atau sebaliknya. ternyata keraguan
itu menjadi lebih besar setelah saya mengetahui isi hikayat (tulisan tangan)
yang ada pada saya. Menurut redaksinya si Oedjoet tidak di bunuh di Aceh, tetapi
ia berhasil meloloskan diri dari penjara dean via Banang ia berhasil tiba di
Goeha, dan di sana ia diterima dengan suka cita oleh isteri-isterinya.
Tidak lama setelah itu ia meninggal dunia, setelah
dimakamkan, isterinya-isterinya mengirim orang ke Aceh untuk memohon kepada
Radja Raden untuk menjadi penggantinya. Sultan Iskandar muda menyetujui
permintaan itu dan menyuruh saudara perempuannya (Poetroe Hidjo) ikut pergi
dengan Radja Raden ke Djohor. Tetapi ia ditinggalkan di Djohor lama, sedangkan
Radja Raden melanjutkan perjalanan melalui Djohor Bali ke Goeha. Kelima isteri
si Oedjoet menerima/memeluk Islam.Sampai disini ada kekosongan (hilang)
sebanyak 2.5 halaman dalam hikayat sehingga kelanjutan cerita menjadi sangat
tidak jelas.
Ada dibicarakan mengenai seorang “Teungku” yang dalam
petualangannya sampai Johor lama, dan disitu ia menjadi sangat terkenal.
Pada suatu hari ia di panggil oleh “Malem” untuk menjalankan ibadah shalat
jum’at di mesjid, tetapi nampaknya ia tidak mau, sebab menurutnya bukan hari
jum’at (disini ada kekosongan halaman lagi). Selanjutnya cerita di mulai lagi
dengan percakapan antara “Teungku” dengan Putroe hidjo, yang ternyata keduanya
berjanji untuk pergi secara diam-diam.
Pada suatu malam ia di suruh menenggelamkan kapal di sungai
satu persatu dengan menggunakan bor, sementara ia sendiri berlayar ke pulau
Weh. Sampai disana “Teungku” memberi tahu bahwa ia ingin menjual barang
berharga (mahal), yang oleh karena itu Sultan Iskandar muda berangkat ke kapal
itu (Tengkoe). Ketika ia melihat saudara perempuannya, keduanya jatuh pingsan.
Selanjutnya keduanya dibawa masuk sebagai satu-satunya hadiah “Tengkoe” ingin
menerima (menginginkan) pembebasan anak-anaknya, dan sampai disini tulisan
tangan (Hikayat) tiba-tiba berakhir.
Apa yang harus kita lihat dalam episode ini? Mengenai adanya
penambahan fantastis oleh penyalin hikayat, memang hal semacam itu sering
terjadi. Atau apakah kita dalam hal ini bisa mengetahui gema (informasi) yang
mengakibatkan dilaksanakannya ekspedisi Aceh ke tiga terhadap Sultan Djohor
pada tahun 1623, dimana raja yang tersebut terakhir itu di kejar sampai Lingga
dan Tambela, pada tahun itu juga akhirnya ia meniggal?
Sesungguhnya mengenai hal itu kita bisa menemukan dalam
berita-berita sejarah mengenai pemulangan kembali ke Aceh saudara perempuan
Iskandar muda yang telah menjadi isteri Radja Djohor oleh Radja Djohor.
Selanjutnya episode ini bisa sesuai dengan data historis, bahwa saudara
laki-laki yang lain telah menggantikannya, dan pergantian itu terjadi sesudah berhasilnya
ekspedisi tahun 1615, yaitu sesudah meninggalnya saudara laki-lakinya yang
lain.
Jika kesesuaian ini bukan merupakan kebetulan, mengingat
menurut data historis Abdoellah adalah yang menggantikannya, maka Radja Raden
dalam hikayat yang kami punya adalah sama dengan Radja Abdoellah dan yang
berarti juga si Oedjoet. Dengan demikian juga benarlah pendapat Hoesein
Djajaningrat, bahwa Alaedin sendiri adalah yang di pulangkan ke Djohor,
sementara pendapat Roeffaer tidak benar.
Bagaimanapun meragukannya nilai historis dari episode ini,
tetapi sangatlah mengecewakan bahwa kelanjutan sejarah ini tidak ada. Sebab ada
juga di dalamnya terjadi pengabaian hal ini dan kepulangan adik Iskandar Muda
yang menyebabkan bagi ekspedisi Aceh ke tiga, kemudian mengakibatkan pelarian
dan pengejaran Radja Raden, dan akhirnya sampai pada kematiannya.
Oleh karena itu, saya tidak berani secara definitif
menyamakan antara kedua Radja Djohor itu dengan seperti kedua Radja yang baru
di sebut dalam sejarah. Namun demikian sepenuhnya saya berani menyatakan telah
berhasil membahas hikayat Malem Dagang sesuai dengan skope temporal (kontek
waktunya) yang seharusnya dan menunjukkan peranan Radja Raden dan si Oedjoet
kepada yang tidak lain kedua Radja bersaudara dari Djohor, dan kemungkinan
pembagian peranan dari keduanya.
Saya memang tidak berhasil mengidentifikasi tokoh utama,
yaitu Malem dagang sendiri. Barangkali ia hanya tokoh lokal yang kehebatannya
tidak menjadi terkenal, mengingat tidak di ragukan lagi bahwa Sultan Iskandar
muda lah yang terkenal di dunia luar sebagai pemimpin ekspedisi. Oleh karena
itu, orang-orang Eropa pun tidak mau memberitakannya, meskipun hanya
sebagai orang pribumi.
Mungkin dalam Malem dagang harus dilihat seorang tokoh yang
dimaksud oleh Prof. Veth sebagai laksamana dari armadanya Iskandar muda, yang
pernah memimpin prajurit Hindia.Tetapi data-data tentang itu tidak memberikan
kepastian.Laksamana ini ikut dalam penyerangan terhadap orang-orang Portugis
dalam penyerangan Malaka pada tahun 1628 atau 1629.demikian juga penyebutan
namanya tidak memberikan pegangan yang kuat.
Mengenai perhitungan tahunnya, tidaklah sedemikian sulit,
karena orang ini memang panglima yang telah pernah memimpin ekspedisi-ekspedisi
sebelumnya, sementara penyair telah membingungkan/mengacaukan dalam berbagai
ekspedisi.Tetapi hal itu tidak lebih dari suatu perkiraan semata, dimana saya
sendiri juga menjadi kurang percaya.
(Tulisan di atas adalah terjemahan Kata Pengantar H.K.J.
Cowan pada kajian “De Hikajat Malem Dagang” yang diterbitkannya
tahun 1933. Penterjemah dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia
dilakukan oleh Mas Agust Supriyono alias Dr. Agust Supriyono, MA,
Dosen FIB Undip, Semarang, yakni sahabat akrab saya pada Program
Cangkokan Mahasiswa Sejarah, beasiswa Kerjasama Indonesia – Belanda di UGM
Yogyakarta. Proses penterjemahan, mulai saya kirim bahan ke Semarang sampai
saya terima hasil terjemahan di Banda Aceh dan kerja editan membutuhkan waktu
sekitar setahun: T.A. Sakti).
Kesimpulan
Mengenai satu hal semuanya sepakat, yaitu bahwa Raja Sabrang
kawin dengan saudaraperempuan Sultan Aceh. Akan tetapi “Sultan” yang pada tahun
1614 tinggal di Djohor telah dengan giat melakukan perundingannya dengan
Portugis yang kedua kalinya dan tidakmemuaskan (menyenangkan) orang-orang Aceh,
sehingga pada ekspedisi yangkedua di tangkap oleh mereka, dibawa ke Aceh dan di
bunuh di sana “ sebab menurut Atchinder,sama sekali tidak membantu
melawan Portugis.Adalah penting untuk menyelidiki ekspedisi kedua ini secara
lebih cermat. Armada Acehmendapati Djohor telah di tinggalkan, dalam perjalanan
pulang bertemu dengan armadaPortugis di bawah pimpinan Miranda dan Mendoca,
yang datang dari Malaka untukmembantu Djohor tetapi di pukul mundur.
Inti dari Hikayat Malem Dagang adalah pengiriman ekspedisi
pada tahun 1615 ke Djohor, dan itu adalah yang kedua, sebab Sultan yang di
kembalikan ke Djohor telah bersekongkol dengan Portugis. Bagian awal syair
adalah hasil dari ekspedisi sebelumnya yaitu yang berlangsung pada tahun 1613,
yaitu kedatangan kedua raja yang di tawan itu di Aceh, tetapi dengan perbedaan,
bahwa kedatangan ini dalam syair digambarkan sebagai kedatangan sukarela, dan
diperkirakan bahwa tokoh Radja Raden dan Si Oedjoet menggantikan nama kedua
raja tersebut.
Sumber:
Djamil
Junus,Muhammad. Gerak Kebangkitan Aceh: 2005.
http://www.tambeh.wordpress.com.
Penulis adalah Mahasiswa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Sejarah Universitas Syiah
Kuala Angkatan 2012 Banda Aceh – Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar