Tapi di era Tengku Muhammad Daud Beureueh, giliran
orang Aceh yang ditipu. Kali ini pelakunya adalah Presiden Soekarno yang pernah
menjanjikan otonomi untuk menerapkan Syariat Islam. Alih-alih dipenuhi,
Soekarno justru meleburkan Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Daud Beureueh pun kemudian
melawan karena kecewa terhadap pemerintah pusat “Jakarta”. Tapi Beureueh pun
belakangan juga menjadi korban tipu Aceh yang dilancarkan para pengikutnya
sendiri.
Putri Presiden Soekarno, Megawati, juga pernah mempraktikkan
“tipu Aceh”. Pada 30 Juli 1999, sesaat setelah partainya memenangkan pemilu,
Megawati berpidato dengan iringan tetes air mata. “Untuk rakyat Aceh,
percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah
Rencong,” katanya. Tapi setelah menjadi presiden, Megawati justru mengirim
40.000 pasukan ke Aceh dalam rangka darurat militer, Mei 2003.
Cerita tipu menipu inilah yang membuat dialog antara
GAM dan Pemerintah Indonesia berjalan alot. Pihak GAM khawatir Indonesia tak menjalankan
kesepakatan damai. “Semua kesepakatan harus jelas. Kami tidak ingin lagi
didustai,” kata Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah.
Ketika Belanda melakukan agresi kedua, pada Desember
1948-1949, semua wilayah Indonesia nyaris mereka kuasai. Soekarno dan Hatta
ditawan. Ibukota Yogyakarta jatuh. Pemerintahan terpaksa diserahkan kepada
Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara yang membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Praktis, hanya secuil itulah wilayah Indonesia. Tapi Aceh masih tak tersentuh.
Berdasarkan wewenangnya sebagai penguasa pemerintahan
darurat, Syafruddin, pada 17 Desember 1949, menetapkan Aceh sebagai provinsi
dengan mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai gubernur militer. Sebelumnya,
Aceh berada satu provinsi dengan Sumatera Utara, berpusat di Medan. Dengan
adanya provinsi, maka diplomasi Indonesia di kancah internasional kembali
menguat, karena yang namanya Republik Indonesia ternyata masih memiliki
wilayah.
“Kita jadi punya bukti bahwa Belanda tidak menguasai
seluruh Indonesia. Masih ada Aceh yang tidak bisa mereka masuki,” kata AK
Jacobi, wartawan senior yang juga mantan Tentara Pelajar Divisi X TNI.
Ironisnya, Provinsi Aceh hanya berumur setahun.
Setelah situasi aman, pemerintah menghapus status provinsi itu dan
mengembalikannya ke Sumatera Utara, sekaligus mencabut jabatan gubernur militer
dari Daud Beureueh.
Sejak itu kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi
Aceh. Luka lama meruap ke permukaan. Warga teringat kembali janji-janji
pemerintah soal penegakan Syariat Islam. Situasi makin memanas setelah aparat
melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh yang dianggap bersuara keras.
Kebanyakan yang ditangkap adalah ulama yang dulunya pernah berjasa dalam perang
mengusir Belanda.
Pada 21 September 1953, Daud Beureueh akhirnya
memutuskan mengangkat senjata melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan
bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo yang lebih dulu mendeklarasikan Negara Islam
Indonesia (NII) di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949 lewat perjuangan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sebagian besar rakyat mendukung
perlawanan itu. Banyak pasukan TNI yang warga Aceh, pejabat negara, dan tokoh
masyarakat yang balik kanan, bergabung dalam barisan Daud Beureueh.
Ibrahim Saleh, komandan militer di Sidikalang, datang
dengan membawa senjata dan beberapa truk berisi pasukan untuk mendukung gerakan
Beureueh. Hasan Saleh, mantan pasukan TNI yang berpengalaman dalam berbagai
medan perang, turut pula naik gunung. Tak ketinggalan, tokoh Pidie, Amir Husin
Al-Muhajid dan Abdul Gani.
Nama-nama di atas adalah orang-orang penting yang
terlibat dalam sejarah perlawanan Daud Beureueh. Hasan Saleh sebagai Menteri
Pertahanan, adiknya, Hasan Aly, didaulat menjadi Perdana Menteri. Sementara
Abdul Gani menjabat Menteri Penerangan.
“Kami kerap bersembunyi antara hutan wilayah Aceh tengah
dan Aceh Utara,” kata Prof Dr Baihaqi, mantan Kepala Staf Resimen 5 DI/TII
kepada acehkita. Hampir tiga tahun lamanya Baihaqi mengikuti jejak
Daud Beureueh dalam berjuang. Kini, pria ini menginjak usia 74 tahun kendati
masih terlihat tegap.
Menurutnya, jumlah pasukan DI/TII masa itu
diperkirakan mencapai 10 ribu orang. Namun Baihaqi yakin, hampir semua rakyat
Aceh mendukung perlawanan mereka. “Kami tidak pernah lapar selama di hutan.
Warga selalu membantu kami,” katanya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan
wanita juga mendukung aksi gerilya itu.
Satu-satunya masalah adalah peluru. “Banyak senjata
tetapi kami sulit mendapatkan peluru,” ujar Baihaqi. Bahkan pasukan DI/TII
mampu membeli senjata dari Malaysia yang didatangkan lewat pantai. DI/TII juga
memiliki perwakilan di Malaysia untuk urusan pembelian senjata. Pembelian
dilakukan lewat barter dengan hasil pertanian penduduk.
Untuk kampanye di Amerika Serikat, Daud Beureueh
menjalin komunikasi dengan Hasan Tiro, mantan muridnya yang belajar di Colombia
University. Hasan Tiro bahkan sempat membuat heboh Pemerintah Indonesia ketika
ia mengadukan kekejaman militer Jakarta ke PBB, tempat di mana ia bekerja
sebagai staf perwakilan Indonesia. Kelak, Hasan Tiro inilah yang menjadi motor
perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jaringan internasional yang dibangun
DI/TII membuktikan bahwa cara berpikir Daud Beureueh sudah sangat maju di masanya.
Senjata yang dibeli DI/TII dari Malaysia biasanya
dibawa dengan kapal nelayan dan merapat ke pantai pada subuh. Pada pagi hari,
memang penjagaan pantai sangat kurang, sehingga para gerilyawan leluasa memasok
senjata.
Sejak munculnya perlawanan DI/TII, personel TNI
semakin banyak didatangkan ke Aceh. Bak kisah perang saudara di Amerika di mana
para jenderal alumni West Point harus berperang dengan bekas kawan kuliahnya, demikian
halnya yang terjadi di Aceh. Mereka yang pernah sama-sama melawan Belanda, kini
harus saling menghunus senapa satu sama lain.
Aksi penumpasan pun dilakukan terhadap semua pengikut
Daud Beureueh. Salah satunya adalah pembantaian di Cot Jeumpa, Kutaradja (Banda
Aceh), saat sejumlah petani dan nelayan ditangkap dalam sebuah operasi militer.
Semua dibunuh dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan di jalan-jalan.
Tapi perlawanan anak-cucu Malahayati ini tak pernah
padam. Sampai akhirnya pemerintah Indonesia mengubah siasat perang. Pemerintah
menawarkan dialog untuk menyelesaikan Aceh. Gencatan senjata pun dilakukan pada
1957-1959. Pada masa itulah pemerintah menerapkan strategi menghamburkan banyak
uang ke Aceh. Iming-iming harta diberikan kepada gerilyawan yang mau turun
gunung dan menyerahkan bedil.
Hasilnya lumayan. Hari demi hari, semakin banyak
pengikut Daud Beureueh yang tergoda bujukan itu. Beberapa jajaran elit DI/TII
juga tunduk. Panglima Perang Hasan Saleh dan Menteri Penerangan Abdul Gani
serta Husin Al Mujahid, memilih turun gunung. Bersamaan dengan mereka, banyak
pula anggota militer DI/TII yang meninggalkan Daud Beureueh di hutan.
Bagi AK Jakobi, mereka bukan pengkhianat, melainkan
tokoh-tokoh DI/TII yang ingin menyelesaikan konflik secara damai. Hasan Saleh,
Abdul Gani, dan Husin Al Mujahid beberapa kali melakukan dialog dengan delegasi
pemerintah. Termasuk dengan Mr Hardi, utusan dari Jakarta.
Tapi sumber lain menyebut, mereka turun gunung karena
tergoda harta yang ditawarkan pemerintah. Tanpa seizin Daud Beureueh, mereka
melakukan berbagai perundingan dengan utusan Jakarta, termasuk perundingan di
Lamteh pada 5 April 1957 yang dikenal dengan Ikrar Lamteh yang juga dihadiri
Pangdam Iskandar Muda, Kolonel Syamaun Gaharu.
Dari berbagai perundingan itu, pemerintah pusat
akhirnya mengakui beberapa kesalahan yang pernah dilakukan di Aceh. Aceh
kembali dinyatakan sebagai provinsi. Ali Hasjmy, salah seorang ulama yang
cerdas, dipilih sebagai gubernur. Sejak itu, pemerintah semakin gigih
menawarkan janji damai bagi gerilyawan. Diplomasi politik dan pemberian uang
dilanjutkan.
Meski ditinggal beberapa pendukung utamanya, Daud
Beureueh tetap tak berubah sikap. Gerilya jalan terus. Baihaqi mengatakan,
Hasan Saleh sebenarnya pernah ingin melancarkan kudeta berdarah kepada Daud
Beureueh. “Tadinya ia akan menampatkan Husin Al Mujahid sebagai pemimpin
rakyat. Tapi rencana kudeta itu bocor kepada kami,” kata Baihaqi.
Untuk mencegah kudeta, anggota pasukan yang masih
setia, yakni Resimen 3 di bawah pimpinan Razali Idris dan dan Resimen 5 yang
dipimpin Teungku Ilyas Leube dan Baihaqi, melarikan ulama tersebut tempat ke
lokasi persembunyian lain, di perbatasan Aceh Utara dan Aceh Timur.
Kabar kudeta itu belakangan terbukti, kendati melalui
cara lain. Pada 15 Maret 1959, Hasan Saleh mengumumkan pengambilalihan semua
kekuatan pasukan rakyat yang selama ini di bawah kendali Teungku Daud Beureueh.
Para pengikut setia DI/TII yang masih bersembunyi di
hutan, jelas membantah klaim Hasan Saleh. Tapi harus diakui, sejak pengakuan
itu, semakin banyak anggota militer DI/TII yang memilih turun gunung.
“Yang setia dengan DI/TII memang dari unsur ulama.
Unsur politisi dan para desertir TNI, memang lebih dahulu menyerah,” kata Otto
Syamsuddin Ishak, sosiolog Aceh.
Yang mengejutkan, Komandan Resimen 3, Razali Idris,
yang tadinya dikenal sangat setia mendukung perjuangan Daud Beureueh, malah
ikut membelot. Hingga penghujung 1959, praktis hanya Resimen 5 yang setia
menemani Abu Beureueh. Menurut Baihaqi, jumlah mereka hanya sekitar 40 orang.
Dan hebatnya, sebagian besar berasal dari Aceh Tengah. Daerah yang belakangan
kerap dibenturkan secara etnis dengan warga Aceh.
Di daerah ini pula, hidup Ilyas Leube, seorang ulama
yang berasal dari Desa Keunawat. Kemampuan militernya mengagumkan, dan tak ada
satupun yang meragukan kesetiaannya kepada Daud Beureueh. Ketika banyak
pengikut Abu Daud turun gunung dan tergiur dengan tawaran harta oleh
pemerintah, Ilyas Leube memilih tetap bertahan di hutan.
Dari sekian banyak kasus pembelotan, menurut Baihaqi,
hanya Razali lah yang paling disayangkan Daud Beureueh. “Selama bertahun-tahun
saya ikut beliau, baru sekali itu saya melihat dia menangis. Dia sangat
menyesali Razali yang ikut berkhianat tunduk ke TNI hanya karena uang,” papar
Baihaqi. Dalam tangisnya, nama Razali berkali-kali disebut. Meski demikian,
tidak sekalipun Daud Beureueh menyatakan akan menyerah kepada Pemerintah
Indonesia, setidaknya, hingga September 1962.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar