7 Maret 2013

Aceh Dan Tengku Muhammad Daud Beureueh Yang Dikagumi Serta Yang Dikhianati

Pada 1893, Teuku Umar membuat terkejut pejuang Aceh ketika ia bersekutu dengan Belanda. Tapi dua tahun kemudian, setelah mendapatkan senjata dan logistik, ia berbalik mengkhianati Belanda. Versi lain menyebut, pembelotan Teuku Umar terjadi karena kecewa dengan Belanda. Artinya, bila tak kecewa, Teuku Umar tetap ikut Belanda. Entah mana yang benar, yang pasti, setelah itu muncul istilah yang populer: tipu Aceh.

Tapi di era Tengku Muhammad Daud Beureueh, giliran orang Aceh yang ditipu. Kali ini pelakunya adalah Presiden Soekarno yang pernah menjanjikan otonomi untuk menerapkan Syariat Islam. Alih-alih dipenuhi, Soekarno justru meleburkan Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Daud Beureueh pun kemudian melawan karena kecewa terhadap pemerintah pusat “Jakarta”. Tapi Beureueh pun belakangan juga menjadi korban tipu Aceh yang dilancarkan para pengikutnya sendiri.

Putri Presiden Soekarno, Megawati, juga pernah mempraktikkan “tipu Aceh”. Pada 30 Juli 1999, sesaat setelah partainya memenangkan pemilu, Megawati berpidato dengan iringan tetes air mata. “Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong,” katanya. Tapi setelah menjadi presiden, Megawati justru mengirim 40.000 pasukan ke Aceh dalam rangka darurat militer, Mei 2003.

Cerita tipu menipu inilah yang membuat dialog antara GAM dan Pemerintah Indonesia berjalan alot. Pihak GAM khawatir Indonesia tak menjalankan kesepakatan damai. “Semua kesepakatan harus jelas. Kami tidak ingin lagi didustai,” kata Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah.

Ketika Belanda melakukan agresi kedua, pada Desember 1948-1949, semua wilayah Indonesia nyaris mereka kuasai. Soekarno dan Hatta ditawan. Ibukota Yogyakarta jatuh. Pemerintahan terpaksa diserahkan kepada Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara yang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Praktis, hanya secuil itulah wilayah Indonesia. Tapi Aceh masih tak tersentuh.

Berdasarkan wewenangnya sebagai penguasa pemerintahan darurat, Syafruddin, pada 17 Desember 1949, menetapkan Aceh sebagai provinsi dengan mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai gubernur militer. Sebelumnya, Aceh berada satu provinsi dengan Sumatera Utara, berpusat di Medan. Dengan adanya provinsi, maka diplomasi Indonesia di kancah internasional kembali menguat, karena yang namanya Republik Indonesia ternyata masih memiliki wilayah.
 “Kita jadi punya bukti bahwa Belanda tidak menguasai seluruh Indonesia. Masih ada Aceh yang tidak bisa mereka masuki,” kata AK Jacobi, wartawan senior yang juga mantan Tentara Pelajar Divisi X TNI.

Ironisnya, Provinsi Aceh hanya berumur setahun. Setelah situasi aman, pemerintah menghapus status provinsi itu dan mengembalikannya ke Sumatera Utara, sekaligus mencabut jabatan gubernur militer dari Daud Beureueh.

Sejak itu kekecewaan demi kekecewaan mewarnai situasi Aceh. Luka lama meruap ke permukaan. Warga teringat kembali janji-janji pemerintah soal penegakan Syariat Islam. Situasi makin memanas setelah aparat melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh yang dianggap bersuara keras. Kebanyakan yang ditangkap adalah ulama yang dulunya pernah berjasa dalam perang mengusir Belanda.

Pada 21 September 1953, Daud Beureueh akhirnya memutuskan mengangkat senjata melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo yang lebih dulu mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949 lewat perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sebagian besar rakyat mendukung perlawanan itu. Banyak pasukan TNI yang warga Aceh, pejabat negara, dan tokoh masyarakat yang balik kanan, bergabung dalam barisan Daud Beureueh.

Ibrahim Saleh, komandan militer di Sidikalang, datang dengan membawa senjata dan beberapa truk berisi pasukan untuk mendukung gerakan Beureueh. Hasan Saleh, mantan pasukan TNI yang berpengalaman dalam berbagai medan perang, turut pula naik gunung. Tak ketinggalan, tokoh Pidie, Amir Husin Al-Muhajid dan Abdul Gani.

Nama-nama di atas adalah orang-orang penting yang terlibat dalam sejarah perlawanan Daud Beureueh. Hasan Saleh sebagai Menteri Pertahanan, adiknya, Hasan Aly, didaulat menjadi Perdana Menteri. Sementara Abdul Gani menjabat Menteri Penerangan.

“Kami kerap bersembunyi antara hutan wilayah Aceh tengah dan Aceh Utara,” kata Prof Dr Baihaqi, mantan Kepala Staf Resimen 5 DI/TII kepada acehkita. Hampir tiga tahun lamanya Baihaqi mengikuti jejak Daud Beureueh dalam berjuang. Kini, pria ini menginjak usia 74 tahun kendati masih terlihat tegap.

Menurutnya, jumlah pasukan DI/TII masa itu diperkirakan mencapai 10 ribu orang. Namun Baihaqi yakin, hampir semua rakyat Aceh mendukung perlawanan mereka. “Kami tidak pernah lapar selama di hutan. Warga selalu membantu kami,” katanya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan wanita juga mendukung aksi gerilya itu.

Satu-satunya masalah adalah peluru. “Banyak senjata tetapi kami sulit mendapatkan peluru,” ujar Baihaqi. Bahkan pasukan DI/TII mampu membeli senjata dari Malaysia yang didatangkan lewat pantai. DI/TII juga memiliki perwakilan di Malaysia untuk urusan pembelian senjata. Pembelian dilakukan lewat barter dengan hasil pertanian penduduk.

Untuk kampanye di Amerika Serikat, Daud Beureueh menjalin komunikasi dengan Hasan Tiro, mantan muridnya yang belajar di Colombia University. Hasan Tiro bahkan sempat membuat heboh Pemerintah Indonesia ketika ia mengadukan kekejaman militer Jakarta ke PBB, tempat di mana ia bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia. Kelak, Hasan Tiro inilah yang menjadi motor perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jaringan internasional yang dibangun DI/TII membuktikan bahwa cara berpikir Daud Beureueh sudah sangat maju di masanya.

Senjata yang dibeli DI/TII dari Malaysia biasanya dibawa dengan kapal nelayan dan merapat ke pantai pada subuh. Pada pagi hari, memang penjagaan pantai sangat kurang, sehingga para gerilyawan leluasa memasok senjata.

Sejak munculnya perlawanan DI/TII, personel TNI semakin banyak didatangkan ke Aceh. Bak kisah perang saudara di Amerika di mana para jenderal alumni West Point harus berperang dengan bekas kawan kuliahnya, demikian halnya yang terjadi di Aceh. Mereka yang pernah sama-sama melawan Belanda, kini harus saling menghunus senapa satu sama lain.

Aksi penumpasan pun dilakukan terhadap semua pengikut Daud Beureueh. Salah satunya adalah pembantaian di Cot Jeumpa, Kutaradja (Banda Aceh), saat sejumlah petani dan nelayan ditangkap dalam sebuah operasi militer. Semua dibunuh dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan di jalan-jalan.

Tapi perlawanan anak-cucu Malahayati ini tak pernah padam. Sampai akhirnya pemerintah Indonesia mengubah siasat perang. Pemerintah menawarkan dialog untuk menyelesaikan Aceh. Gencatan senjata pun dilakukan pada 1957-1959. Pada masa itulah pemerintah menerapkan strategi menghamburkan banyak uang ke Aceh. Iming-iming harta diberikan kepada gerilyawan yang mau turun gunung dan menyerahkan bedil.

Hasilnya lumayan. Hari demi hari, semakin banyak pengikut Daud Beureueh yang tergoda bujukan itu. Beberapa jajaran elit DI/TII juga tunduk. Panglima Perang Hasan Saleh dan Menteri Penerangan Abdul Gani serta Husin Al Mujahid, memilih turun gunung. Bersamaan dengan mereka, banyak pula anggota militer DI/TII yang meninggalkan Daud Beureueh di hutan.

Bagi AK Jakobi, mereka bukan pengkhianat, melainkan tokoh-tokoh DI/TII yang ingin menyelesaikan konflik secara damai. Hasan Saleh, Abdul Gani, dan Husin Al Mujahid beberapa kali melakukan dialog dengan delegasi pemerintah. Termasuk dengan Mr Hardi, utusan dari Jakarta.

Tapi sumber lain menyebut, mereka turun gunung karena tergoda harta yang ditawarkan pemerintah. Tanpa seizin Daud Beureueh, mereka melakukan berbagai perundingan dengan utusan Jakarta, termasuk perundingan di Lamteh pada 5 April 1957 yang dikenal dengan Ikrar Lamteh yang juga dihadiri Pangdam Iskandar Muda, Kolonel Syamaun Gaharu.

Dari berbagai perundingan itu, pemerintah pusat akhirnya mengakui beberapa kesalahan yang pernah dilakukan di Aceh. Aceh kembali dinyatakan sebagai provinsi. Ali Hasjmy, salah seorang ulama yang cerdas, dipilih sebagai gubernur. Sejak itu, pemerintah semakin gigih menawarkan janji damai bagi gerilyawan. Diplomasi politik dan pemberian uang dilanjutkan.

Meski ditinggal beberapa pendukung utamanya, Daud Beureueh tetap tak berubah sikap. Gerilya jalan terus. Baihaqi mengatakan, Hasan Saleh sebenarnya pernah ingin melancarkan kudeta berdarah kepada Daud Beureueh. “Tadinya ia akan menampatkan Husin Al Mujahid sebagai pemimpin rakyat. Tapi rencana kudeta itu bocor kepada kami,” kata Baihaqi.

Untuk mencegah kudeta, anggota pasukan yang masih setia, yakni Resimen 3 di bawah pimpinan Razali Idris dan dan Resimen 5 yang dipimpin Teungku Ilyas Leube dan Baihaqi, melarikan ulama tersebut tempat ke lokasi persembunyian lain, di perbatasan Aceh Utara dan Aceh Timur.

Kabar kudeta itu belakangan terbukti, kendati melalui cara lain. Pada 15 Maret 1959, Hasan Saleh mengumumkan pengambilalihan semua kekuatan pasukan rakyat yang selama ini di bawah kendali Teungku Daud Beureueh.

Para pengikut setia DI/TII yang masih bersembunyi di hutan, jelas membantah klaim Hasan Saleh. Tapi harus diakui, sejak pengakuan itu, semakin banyak anggota militer DI/TII yang memilih turun gunung.

“Yang setia dengan DI/TII memang dari unsur ulama. Unsur politisi dan para desertir TNI, memang lebih dahulu menyerah,” kata Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog Aceh.

Yang mengejutkan, Komandan Resimen 3, Razali Idris, yang tadinya dikenal sangat setia mendukung perjuangan Daud Beureueh, malah ikut membelot. Hingga penghujung 1959, praktis hanya Resimen 5 yang setia menemani Abu Beureueh. Menurut Baihaqi, jumlah mereka hanya sekitar 40 orang. Dan hebatnya, sebagian besar berasal dari Aceh Tengah. Daerah yang belakangan kerap dibenturkan secara etnis dengan warga Aceh.

Di daerah ini pula, hidup Ilyas Leube, seorang ulama yang berasal dari Desa Keunawat. Kemampuan militernya mengagumkan, dan tak ada satupun yang meragukan kesetiaannya kepada Daud Beureueh. Ketika banyak pengikut Abu Daud turun gunung dan tergiur dengan tawaran harta oleh pemerintah, Ilyas Leube memilih tetap bertahan di hutan.

Dari sekian banyak kasus pembelotan, menurut Baihaqi, hanya Razali lah yang paling disayangkan Daud Beureueh. “Selama bertahun-tahun saya ikut beliau, baru sekali itu saya melihat dia menangis. Dia sangat menyesali Razali yang ikut berkhianat tunduk ke TNI hanya karena uang,” papar Baihaqi. Dalam tangisnya, nama Razali berkali-kali disebut. Meski demikian, tidak sekalipun Daud Beureueh menyatakan akan menyerah kepada Pemerintah Indonesia, setidaknya, hingga September 1962.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar