Sesudah Cina, Indialah negeri yang
penduduknya terbanyak di dunia, bagaikan bintang-kemintang yang berserakkan di
langit lazuardi. Dan bangsa yang begini besar di suatu saat hidup berkaparan di
bawah pijakan sepatu lars Inggris yang sambil isap cerutu melecut punggung
India dan merampok kekayaan buminya. Bukankah Engels ada menyindir: “Jika
Inggris menyebut-nyebut demi Yesus Kristus di India, yang dia maksudkan
sebetulnya kapas!”
Mohandas K. Gandhi seorang yang
berdiri paling depan dalam gerakan untuk kemerdekaan India. Walau bagaimana,
patutlah diingat, kemerdekaan India dari Inggris akan datang dengan “sendirinya”
cepat atau lambat. Sebab, nyatanya kekuatan tertentu dari dorongan sejarah
cenderung mengarah ke dekolonisasi. Ini dapat kita saksikan sekarang bahwa
kemerdekaan India sudah pasti terlaksana dalam beberapa tahun sesudah tahun
1947 bahkan andaikata Gandhi tak pernah hidup di dunia ini.
Memang betul, cara Gandhi
menjalankan pembangkangan sosial tanpa kekerasan akhirnya berhasil “membujuk
Inggris angkat kaki” dari negeri itu. Tetapi, kalaulah jalan kekerasan yang
ditempuh, tak urung dia akan bebas merdeka juga, cepat atau lambat. Karena
susah juga menyimpulkan apakah Gandhi secara keseluruhan memperlambat atau
mempercepat kebebasan India, tampaknya kita bisa berkongklusi bahwa
akibat-akibat inti dari langkah-langkahnya adalah (paling tidak dari segi itu)
tidak seberapa besar. Juga bisa ditunjukkan, Gandhi bukanlah pendiri gerakan
kemerdekaan India (Kongres Nasional India sudah berdiri sejak tahun 1885), dan
bukan juga dia yang merupakan tokoh politik paling penting pada saat
kemerdekaan itu diperoleh.
Meski begitu, arti penting Gandhi
terletak pada anjuran “tanpa kekerasan-“nya. (Tentu saja, gagasan ini tidaklah
sepenuhnya orisinal: Gandhi sendiri secara khusus mengatakan ide itu berasal
sebagian dari bacaannya tulisan-tulisan Thoreau, Tolstoy dan Perjanjian Baru
dan pula pelbagai tulisan-tulisan pemuka agama Hindu). Tak ragu lagi, politik
Gandhi, andaikata bisa diterima dalam skala internasional, dapat mengubah
dunia. Malangnya, tak semua bisa menerimanya, bahkan di India sendiri.
Memang betul, di tahun antara
1945-1955 tekniknya digunakan untuk mencoba membujuk Portugis supaya angkat
kaki dari Goa, anjuran ini tidak memenuhi sasaran karena beberapa tahun
kemudian pemerintah India meringkusnya dengan kekuatan senjata. Tambahan pula,
dalam tiga puluh tahun terakhir, India terlibat perang tiga kali dengan
Pakistan dan perang perbatasan dengan Cina. Lain-lain negeri juga ogah-ogahan
menerima ajaran Gandhi berikut tekniknya. Secara kasarnya, tujuh puluh tahun
terhitung sejak Gandhi memperkenalkan teknik “tanpa kekerasan” itu, dunia baku
hantam yang penuh gelimang darah. Baku hantam paling hebat dalam sejarah.
Haruskah kita menyimpulkan bahwa
selaku filosof Gandhi jelas jelas gagal? Pada saat sekarang ini tampaknya
memang begitulah: tetapi, layak diingat bahwa tiga puluh tahun sesudah tiadanya
Nabi Isa, seorang Romawi yang cerdas dan sarat informasi tak bisa tidak akan
berkesimpulan bahwa Nabi Isa dari Nazareth merupakan suatu “kegagalan” apabila
betul-betul dia mendengarkan dan mengikuti Nabi Isa secara keseluruhan! Dan
pula tak seorang pun bisa membayangkan di tahun 450 SM betapa akan
berpengaruhnya Kong Hu-Cu pada akhirnya. Menilai sejauh apa yang sudah terjadi,
Gandhi tampaknya layak hanya termasuk dalam kelompok “orang-orang terhormat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar