Beberapa bulan yang lalu, beberapa famili dan rekan mengundang
saya dalam sebuah acara tumpengan syukuran wisuda. Saya lalu membayangkan
betapa indahnya saat-saat diwisuda. Beban berat yang selama ini menggantung di
pundak akhirnya terselesaikan juga, harapan orang tua yang ingin agar anaknya
menjadi Sarjana atau Insinyur dan sebagainya akhirnya menjadi kenyataan. Ah,
betapa bahagianya, sulit terbayangkan.
Seminggu
sudah saya berjalan kesana-kemari, telephon sana-sini, untuk mendapatkan tanda
tangan tiga orang dosen, untuk keperluan akademik study saya. Hanya untuk minta
tanda tangan saja ternyata sampai membutuhkan waktu seminggu lebih. Lalu saya
membayangkan betapa enaknya menjadi dosen yang selalu ditunggu dan
dikejar-kejar mahasiswanya.
Kemudian,
diantara senior-senior kita juga sudah banyak yang mulai bekerja, dan saya
sekali lagi membayangkan, enaknya sudah bekerja, dapat uang sendiri, mampu
memenuhi kebutuhan sendiri. Andaikata saya sudah dapat bekerja sendiri, dan
berpenghasilan cukup, tentu saya sudah merealisasikan banyak angan-angan saya yang
lain. Ya, begitulah kira-kira, seringkali kita membayangkan betapa enak menjadi
orang lain, dan betapa tidak enaknya menjadi diri sendiri. Ketika orang lain
menjadi sesuatu, kita lantas ingin seperti orang lain yang kita pandang lebih
enak itu.
Orang
yang belum lulus barangkali membayangkan betapa enaknya sudah lulus, akan
tetapi orang yang lulus barangkali berangan, betapa enaknya jadi mahasiswa
seperti dahulu, yang tidak banyak ditanya, “Sudah kerja dimana Dek ?” Bulan
ini, adalah bulan pernikahan di kalangan aktifis di beberapa masjid, dan
barangkali, aktifis yang belum menikah mengangankan, betapa enaknya sudah
menikah, ada teman berbagi rasa, saling mendukung, dan mengingatkan sera
mempunyai sepasang anak cowok dan cewek. Akan tetapi barangkali orang yang
sudah menikah membayangkan pula apalagi pas dimintai uang belanja istrinya,
betapa enaknya belum punya istri, belum punya tanggungan apa-apa, nggak ada
yang memarahi kalau nggak punya uang, bebas melakukan aktifitas apa saja.
Memang
enak membayangkan orang lain, karena seseorang kerap kali memang membayangkan
enak-enaknya saja, dan jarang mengetahui sulitnya, sementara jika kita melihat
diri sendiri, kita seringkali hanya melihat tidak enaknya saja, sehingga kita
seringkali resah dibuatnya.
Setelah
itu lalu saya membayangkan, betapa enaknya menjadi saya, masih berstatus
mahasiswa, tidak ada yang mengikat saya, bebas terbang ke sana ke mari, dan
segudang keenakan-keenakan saya yang lain, yang tidak saya ungkapkan takut
kalau saudara jadi pengen menjadi saya. Dan seketika itu juga saya bergumam,
“Ah, betapa enaknya menjadi Saya” Barangkali memang sudah seharusnya
membayangkan enaknya menjadi diri sendiri, karena dengan demikian kita menjadi
lebih bisa bersyukur. Lagian pun keputusan Allah merupakan keputusan yang
terbaik bagi kita, asalkan jika kita mau merenungkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar