Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

13 Oktober 2012

Aceh Yang Populer Dengan Sebutan Bumi Serambi Mekkah


Adakah di Nusantara ini selain Aceh yang mendapat julukan Serambi Mekkah? Atau apakah ada daerah lain yang tidak pernah dijajahdan dijamah oleh Bangsa Asing selain Aceh? Ketika seluruh wilayah Nusantara hampir dikuasai kembali oleh Belanda, namun Aceh tidak pernah takluk atau dijajah oleh bangsa Asing, bahkan ketika perang Belanda di Aceh telah berakhir, sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak pernah kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia (Aceh) inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan. Dan dalam hal ini, Aceh kemudian berhasil keluar dan berperan sebagai “Daerah Modal” bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangan kemerdekaan.


Namun pada kenyataannya, apa yang telah diberikan oleh Aceh terhadap Indonesia baik berupa sumbang kasih Aceh dimasa lampau, bagaikan tak ada artinya bagi Indonesia ini yang baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Jangankan mengakui kedaulatan Aceh, memberikan hak menyusun rumah tangga sendiri pun sesuai syariat Islam tak kunjung diberikan untuk Aceh. Janji-janji yang pernah diucapkan oleh Indonesia terhadap Aceh, hanyalah buah bibir manis dari presiden-presiden RI yang sangat peka terhadap Aceh dan bahkan semua janji tersebut hingga sat ini belum juga terwujud. Perjalanan waktu juga yang menenggelamkan kesatuan ini dalam palung yang terdalam.

Satu hal yang membuat Tanah Rencong berguncang terhadap kelakuan Jakarta atas Aceh adalah ketika Jakarta dengan kontan mengatakan bahwa Aceh sebagai “Daerah Pemberontakan”. Bagi mereka yang menyebut Aceh sebagai Pemberontak adalah mereka yang tidak melihat dari sisi History  bangsa ini. Teringat ada sebuah pertanyaan “Kenapa harus Indonesia dan mengapa Aceh tidak boleh?” Pertanyaan itu sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa dan menikmati kekuasaannya di ibukota Jakarta. Dalam benak mereka NKRI itu dijadikan harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka.

“Udep Sare Matee Syahid.” Itulah slogan yang pernah hidup dalam sanubari pada tubuh Rakyat Aceh. Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak bangsa muslim yang bernama Aceh. Islam yang menggelora di dada tercermin dari sikap patriotik yang mereka tampilkan. Dalam sejarahnya, Aceh dan Islam bagaikan Dwitunggal yang tidak bisa dipisahkan. Sejarah Aceh adalah Islam, dan Islam pun selalu mewarnai sejarah Aceh. Maka dari itu bukan hal yang aneh, jika Aceh inilah daerah yang pertama kali disinari cahaya Islam di Nusantara yang dibawah oleh para pedagang, sebut saja Arab Saudi, Persia, Kaum Gujarat, China, India dan sebagainya.

Perlawanan demi perlawanan senantiasa ditampakkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu hidup mulia atau mati syahid. Dalam sejarah perjalanan bangsa, Aceh menjadi kawasan dalam lingkungan besar Nusantara yang mampu memelihara identitas. Aceh juga memiliki sejarah kepribadian kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi, lebih kuat, serta paling sedikit “ter-Belanda-kan” daripada daerah-daerah lain di Nusantara. Dan itulah sebabnya, mengapa orang Belanda sekelas Van de Vier menyebutkan bahwa “orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tak dapat ditaklukkan”.


Kilas balik perlawanan Rakyat Aceh dapat ditelusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Belanda, Inggris maupun Perancis. Sejarah mencatat bahwa perang Belanda di Aceh yang meletus pada tahun1873-1942 telah memaksa Aceh melakukan perlawanan sengit. Bahkan mendongkrak semangat kaum wanitanya untuk tampil ke garda terdepan. Dengan perkasa membela kehormatan sekaligus menggencarkan penyerangan terhadap musuh yang datang pada saat bersamaan. Semangat juang tersebut lahir dari sebuah keyakinan bahwa semua itu pilihan Perang Fisabilillah. Berperang demi kehormatan bangsa dan agama Islam. Menampik setiap tawaran kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika berhadapan dengan para penjajah.

Babak baru sejarah Aceh dimulai sejak Islam singgah di bumi ujung Barat Sumatera. Saat itu dikenal adanya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Peureulak (840 M/225 H), Kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166 M), Kerajaan Tamiang, Pedir dan Meureuhom Daya. Kemudian, oleh Sultan Alauddin Johansyah Berdaulat (601 H/1205 M) Aceh disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam yang bergelar Kutaraja.

Kerajaan Aceh Darussalam inilah yang memperluas penaklukannya ke negeri-negeri Melayu sampai ke Semenanjung Malaka yang pada abad kelima, Aceh menjadi Kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia. Sang penakluk itu bernama Sultan Alauddin al Kahhar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang pernah membawa Aceh Darussalam pada masa kegemelingannya dan menjadi kerajaan yang disegani. Penaklukan yang dilakukan oleh Aceh bukan untuk menjajah bangsa lain, tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan beberapa Negara Eropa lainnya yang sedang mengincar penguasaan di Selat Malaka.

Pada masa jayanya, Aceh sudah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan negara-negara tetangga, Timur Tengah dan Eropa. Antara lain dengan Kerajaan Demak, Kerajaan Pattani, Kerajaan Brunei Darussalam, Turki Utsmani, Inggris, Belanda dan Amerika Serikat. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hukum sendiri, yakni “Kanun Meukuta Alam” yang berdasarkan Syariah Islam. Dengan hukum tersebut rakyat yang bernaung dalam Kerajaan Aceh Darussalam mendapat keadilan hukum. Karena itulah, banyak wilayah penaklukan yang merasa senang bergabung dengan Aceh. Seandainya tidak ada hasutan dari pihak kolonial, boleh jadi daerah taklukan tidak melepaskan diri dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah ditaklukkan kolonial Barat, Aceh masih berdaulat sampai akhir abad ke-18. Bangsa kolonial, baik Portugis, Inggris, maupun Belanda bukannya tidak berambisi menaklukkan Aceh, akan tetapi mereka gentar terhadap keunggulan Angkatan Laut Aceh yang menguasai perairan Selat Malaka dan Lautan Hindia. Saat itu Angkatan Laut Aceh yang terbesar dimilikinya yaitu Armada Cakra Donya yang tangguh berkat bantuan senjata dan kapal perang dari Turki Utsmani. Salah satu yang terkenal itu adalah Laksamana Malahayati.

Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren dan sebagianya merupakan deretan nama yang menjadi simbol perjuangan kaum perempuan di Aceh.
Mereka bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pendidik, ulama, berjihat, berperang, dan berjuang di medan pertempuran. Mereka tak rela harus menjadi budak Bangsa Asing. Semangat pantang mundur mereka sungguh luar biasa, berkobar dan bergerilya diantara peluru menentang setiap penjajahan diatas Tanah Rencong. Mereka terdiri dari kalangan muda, tua maupun janda juga terlibat dalam kancah perjuangan. Begitupun mereka berusaha sekuat mungkin agar perjuangan tidak menghilangkan kodrat kewanitaan. Sebagai wanita yang harus mengandung dan melahirkan tetap dijalani dalam sebuah peperangan. Terkadang harus melaluinya dalam kondisi antara dua peperangan. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya. Dengan tangan yang kecil mungil lincah memainkan pedang, kelewang dan rencong menjadi senjata dahsyat di hadapan lawan, di samping terus menimang bayinya seraya bersenandung semangat perjuangan. Memompakan semangat jihad dengan syair yang indah dan masih dinyanyikan hingga saat ini:
Allah hai do do daidi
Boh gadông bi boh kayee uteun
Rayeuk si nyak hana pue ma bri
Ayèeb ngon keuji ureung dônya kheun
Allah hai do do daida
Seulayang blang kaputoh talo
Beurinjang rayeuk muda seudang
Tajak bantu prang tabela nanggroe
Wahèe aneuk bek taduek lee
Beudoh saree tabela bangsa
Bek ta takot keudarah ilèe
Adak pih matee poma ka rela
Jak lon tak teh
Meujak lôn tak teh
Beudoh hai aneuk tajak u Aceh
Meubèe bak ôn
Ka meubee timphan
Meubee badan
Bak sinyak Aceh
Alla hai po ilahonha
Gampông jarak hantrok lon wo
Adakna bulèe ulôn tereubang
Mangat rijang troh u nanggroe
Allah hai jak lôn timang preuk
Sayang riyeuk disipreuk pante
Ôh rayeuk sinyak yang puteh meupreuk
Toh sinaleuk gata boh hatèe

1 komentar: