Sejarah
lahirnya G-30S/PKI pada waktu masa pemerintahan demokrasi terpimpin pada saat
itu pada tanggal 5 juli 1959 maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden dan
empat hari Presiden Soekarno mengeluarkan dekritnya, maka Kabinet Djuanda
di bubarkan menjadi Kabinet Kerja, Chaerul Shaleh ditugaskan untuk menetapkan
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menurut penetapan presiden No.2 tahun
1959 dengan di bentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Pada mulanya
DPR hasil pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan presiden Soekarno, akan tetapi
mereka kemudian menolak APBN tahun 1960 yang di ajukan oleh pemerintah, karna
adanya penolakan tersebut maka di keluarkannya Penpres No. 3 tahun 1960 yang
menyatakan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, lalu pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden
Soekarno telah berhasil menyusun anggota DPR baru dengan di beri nama Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR) para anggota DPR-GR di lantik pada
tanggal 25 juni 1960.
Dalam
komposisi anggota DPR-GR itu perbandingan jumlah golongan Nasionalis, Islam,
dan Komunis adalah 44, 43, 30 namun setelah di lakukan penembahan pertimbangan
itu berubah menjadi 94, 67,81, dengan demikian partai yang paling di
untungkan dari kebijakan presiden tersebut adalah PKI, sedangkan dalam pidato
presiden pada pelantikan DPR-GR tanggal 25 Juni 1960 adalah melaksanakan Manifestasi Politik (Manipol),
merealisai Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), dan melaksanakan Demokrasi
Terpimpin. Akan tetapi setelah Presiden Soekarno tiba ke tanah air, Liga
Demokrasi di bubarkan melalui Penpres No.3 tahun 1959 lalu kemudian Presiden
Soekarno membentuk Front
Nasional yaitu suatu organisai massa yang memperjuangkan
cita-cita proklamasi, dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945, sedangkan
Front Nasional ini di ketuai oleh Presiden Soekarno sendiri.
TNI dan
Polisi pada tahun 1964 di persatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) mereka kembali pada peran sosial-politiknya seperti selama
zaman perang kemerdekaan, ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional
(karya) yang mempunyai wakil dalam MPRS pada masa demokrasi terpimpin itu,
presiden soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan (balance of power) bukan hanya antara
angkatan dalam ABRI melainkan juga antara ABRI dengan partai-partai politik
yang ada. Dengan semboyan “politik adalah panglima” seperti yang di lancarkan
oleh PKI usaha untuk mempolitisasi ABRI semakin jelas presiden mengambil ahli
secara langsung pemimpin tertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi
Tertinggi (Koti).
Pada tahun
1964 ketua PKI D.N. Aidit berceramah
di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora, dalam ceramahnya tersebut
D.N.Aidit menyatakan: “bila kita
(Indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada
sosialisme Indonesia, maka kita tidak lagi membutuhkan Indonesia”. Selanjutnya
ketika terjadi heboh di masyarakat D.N.Aidit berupaya meneruskannya dengan
mengatakan: “Dan di sinilah
betulnya pancasila sebagai alat pemersatu sebab kita sudah “satu” semuanya para
saudara pancasila tidak perlu lagi sebab pancasila alat pemersatu bukan? kalau
sudah “satu” semuanya apa yang kita persatukan lagi”.
Pada masa Demokrasi
Terpimpin PKI memang mendapatkan kedudukan terpenting. Kader-kader PKI banyak
yang duduk dalam DPR-GR serta Pengurus Besar Front Nasional dan Front Nasional
Daerah, ada juga yang di angkat sebagai kepala daerah TNI-AD berusaha
mengimbangi dengan mengajukan calon-calon lain tetapi usaha itu menemui kesulitan
karena Presiden Soekarno memberikan dukungan yang besar pada PKI.
TNI-AD
mensinyalir adanya tindakan-tindakan pengacauan yang dilakukan oleh PKI di Jawa
Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pemimpin
TNI-AD melaporkan hal itu kepada Presiden Soekarno, berdasarkan Undang-Undang
keadaan bahaya TNI-AD mengadakan tindakan pengawasan terhadap PKI melalui surat
kabar PKI, Harian Rakyat dilarang
terbit dan di keluarkan perintah untuk menangkap D.N.Aidit berserta
kawan-kawannya. Di tingkat daerah kegiatan-kegiatan PKI di bekukan. Tindakan
TNI-AD itu tidak di setujui oleh Presiden Soekarno dan memerintahkan agar
putusan itu di cabut bahkan Presiden Soekarno tidak jarang mengajurkan agar
masyarakat Indonesia tidak ber-komunistofobi.
Keadaan
ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin semakin terpuruk menjadi lahan
yang subur bagi PKI dan rakyat yang miskin menjadi sasaran PKI untuk
melancarkan propaganda-propaganda politiknya, oleh karena itu jumlah anggota
PKI diperkirakan mencapai 20an juta ketika itu. PKI juga merupakan organisai
yang besar dan memiliki jaringan cabang di seluruh Indonesia dan mereka pun
juga di dukung oleh puluhan organisasi massa seperti Serikat Buruh (SOBSI),
Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat dan Gerwani. Pada awal tahun 1965
hingga september 1965 merupakan masa ofensif radikal yang di tangani oleh ketua
PKI Dipa Nusantara (D.N.) Aidit bersama kelomponya.
Sementara
itu Angkatan Darat muncul sebagai organisasi militer pejuang yang juga
mengemban tugas kemasyarkatan, oleh karena itu Angkatan Darat memiliki peran dalam
bidang politik dan ekonomi, ketika perusahaan-perusahaan Belanda dan Asing
lainnya di ambil ahli oleh pemerintah melalui kebjikan nasionalisasi. Banyak
perwira AD yang mendapat tugas sebagai pemimpin perusahaan-perusahaan itu. Perkembangan
itu tidak di sambut baik oleh PKI para perwira itu menjadi sasaran aksi PKI
yang kemudian mereka menamakan sebagai kabir (Kapitalis Birokrat), oleh karena itu slogan PKI yang
populer pada tahun 1965 adalah “ganyang
kabir”, seiring dengan banyaknya partai politik dan organisasi
massa yang telah dibubarkan oleh presiden. Terdapat segitiga kekuatan ketika
itu yaitu PKI, Angkatan Darat, dan presiden adanya hubungan yang tidak harmonis
antara PKI dan Angkatan Darat semakin mengkukuhkan kedudukan presiden sebagai
penengah.
Menjelang
terjadinya peristiwa G-30S/PKI di Madiun secara berturut-turut terjadi
demonstrasi yang melibatkan hampir semua ormas PKI yang meneriakkan
yel-yel ganyang kabir, ganyang
komprador, antek neokolim dan sebagainya. Hal yang sama terjadi
pula di Solo dan Klaten pada hari Rabu tanggal 29 September 1965 terjadi pula
hal yang serupa di jalan Thamrin Jakarta dalam demo di Jakarta itu terdapat
spanduk dengan tulisan yang mencolok “tunggu apa lagi ?” Pada hari Kamis tanggal 30 september 1965
merupakan hari yang sangat sibuk bagi Gerakan 30 September PKI melakukan suatu
persiapan yang di selenggarakan di Lubang Buaya pada pukul 10.00 di pimpin oleh
Kolonel Untung Sutopo yang
di hadiri oleh Latief, Suyono,
Supeno, Suradi,Sukrisno, Kuncoro, Dul Arief, dan Pono. Untung menjelaskan lokasi
Central Komando (Cenko) I metode komunikasi antara unit-unit, koordinasi
aktivitas-aktivitas mereka, sandi-sandi, logistik,transportasi, suplai senjata,
dan detail-detail teknis militer lainnya semua persiapan itu dilakukan selama
siang hari pada tanggal 30 September 1965.
Pada tanggal
30 September 1965 malam Aidit bertemu dengan Mayjen Pranoto di rumah Syam Aidit
dan Pranoto kemudian di bawa ke rumah sersan Surwadi di Halim Pada pukul 23.00 di tempat itu Aidit
mengarahkan seluruh operasi dan menyiapkan penyelesaian politik (pergantian
kekuasaan), setelah pembersihan para jenderal dilakukan kemudian di buat persiapan
di rumah komodor Susanto di
Halim untuk membentuk Kabinet Gotong-Royong dan membuat rencana pengunduran
diri presiden di karena alasan kesehatan.
Sekitar
pukul 01.30 dini hari tanggal 1 Oktober 1965 tujuh kelompok Pasukan Pasopati
yang di pimpin oleh Dul
Arief dan di tugaskan meculik para jenderal meninggalkan
Pondok Gede, selanjutnya atas perintah Kolonel Untung pada pukul 04.00 pagi
Batalion 454 dan 530 mengepung istana dan, mengendalikan stasiun RRI Pusat dan
Gedung PN Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Selatan. Ada enam jenderal yang
menjadi korban keganasan G-30S/PKI ialah: Letnan Jenderal Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Haryono Mas Tirtodamo (Deputi
III Pangad), Mayjen R.
Suprapto (Deputi II Pangad), Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Pangad), Brigjen Donal Izacus Panjaitan (Asisten
IV Pangad), dan Brigjen Sutoyo
Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman).
Sementara
itu Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan, akan tetapi
putrinya Ade Irma
Suryani terluka parah karena tertembak oleh penculik dan
akhirnya meninggal di rumah sakit, ajudan Nasution menjadi sasaran penculikan
Letnan Satu Pierre Andries Tendean,
karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution ketika itu juga di tembak
Brigadir Polisi Karel Satsuit
Tubun pengawal rumah Waperdam II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah
Nasution.
Menurut kesaksian
Serka Bungkus pasukan
yang bertugas ke rumah D.I.Panjaitan mendapat perlawanan sehingga operasi itu
terlambat ketika pasukan-pasukan penculik akan membawa jenazah Panjaitan,
seorang yang bernama Sukitman lewat
sedang menuju posnya sedangkan Komandan Pasukan Cakrabhirawa khawatir dia bisa
jadi saksi maka Sukitman kemudian juga di bawa ke Lubang Buaya dan di serahkan
kepada Komandan Pasukan Pasopati Dul Arief.
Dul Arief
muncul di Cenko I sekitar pukul 05.50 melaporkan bahwa para jenderal telah
“diamankan” dan di masukan ke Lubang Buaya akan tetapi Nasution berhasil lolos,
laporan itu di sampaikan kepada Aidit lewat Suyono yang bertindak sbeagai kurir
bagi Syam, Aidit, dan Omar Dhani. Laporan tentang lolosnya Nasution membuat
Aidit dan koleganya terkejut karena akan menimbulkan masalah besar, untuk itulah
Suparjo menyatakan agar operasi ini dilakukan sekali lagi, Suparjo yakin bahwa
tindakan ofensif harus di laksanakan saat itu juga karena musuh selama dua
belas jam berada pada keadaan panik. Pada saat berada di istana ia melihat
bahwa militer di kota dalam keadaan bingung.
Akan tetapi
para pemimpin gerakan saat itu tidak melakukan apa-apa. Hal itu yang menjadi
salah satu penyebab kehancuran operasi mereka sedangkan di Jawa Tengah. Gerombolan
PKI juga mengadakan pembubuhan terhadap perwira TNI AD Kolonel Katamso komandan
korem 072 Kodam VII Diponegoro dan kepala stafnya Letkol Sugionom, menjadi
salah satu korban keganasan PKI keduanya di bawah ke kentungan sebelah utara
Yogyakarta dan kemudian di bunuh pada 30 September 1965.
Cara
penumpasan G-30S/PKI sesuai dengan tata cara yang berlaku bahwa apabila
Men/Pangad berhalangan Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto yang mewakilinya segera melakukan pemetaan terhadap
keberadaan Gerakan 30 September 1965, selain di Halim pemberontak menguasai
Istana Merdeka, Stasiun RRI, dan Gedung Pusat Telekomunikasi yang semuanya
berada di Jl. Medan Merdeka Soeharto merasa perlu untuk tidak menunjukan
reaksi yang berlebihan sampai rencana politik gerakan itu sudah benar-benar
terbuka. Begitu mengetahui dari siaran RRI pada pukul 14.00 Soeharto
berkesimpulan bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi AD
merupakan bagian dari usaha perebutan kekuasaan (kudeta), Batalion 454/
Diponegoro dan 530/ Brawijaya yang berada di sekitar Medan Merdeka di salah
gunakan oleh G-30S/PKI padahal mereka di datangkan ke Jakarta dalam rangka
persiapan parade Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965 kemudian Soeharto
segara melakukan operasi-operasi penumpasan.
Operasi
militer di lakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 pada pukul 19.15
pasukan RPKAD berhasil menduduki Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi
serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa perlawanan, Batalion 328 Kujang/
Siliwangi menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/ Jaya dan
sekitarnya, Batalion I Kavaleri berhasil mengamankan BNI dan Percetakan Uang di
Kebayoran dalam waktu singkat Jakarta sudah dapat dikuasai kembali oleh ABRI. Setelah
penumpasan G-30S/PKI pada sidang paripurna Kabinet Dwikora pada tanggal 6
Oktober 1965 presiden memutuskan bahwa penyelesaian politik G-30S/PKI akan di
tangani langsung oleh presiden namun penyelesaian politik tersebut tidak
kunjung tiba sehingga menimbulkan kecemaskan dalam masyarakat bahwa PKI akan diberikan
kesempatan untuk menyusun kekuatannya.
Situasi
bertambah panas karena memburuknya keadaan ekonomi yang mengakibatkan
kesejahteraan rakyat semakin merosot sedangkan laju inflasi mencapai 650% untuk
mengatasi tingginya inflasi itu, pada tanggal 13 Oktober 1965 pemerintah
mengumumkan kebijakan devaluasi nilai rupiah yaitu Rp.1000,- uang lama turun
menjadi Rp.1,- uang baru dan di umumkan pula kenaikan tarif dan jasa sehubungan
dengan devaluasi rupiah tersebut puncak ketegangan terjadi tatkala di tetapkan
kenaikan harga BBM pada tangga 3 Januari 1966.
Sementara
itu tuntutan penyelesaian seadil-adilnya terhadap para pelaku G-30S/PKI semakin
meningkat tuntutan itu di pelopori oleh KAMI, KAPPI, dan KAPI, lalu munculnya
pula KABI, KASI, KAWI, dan KAGI. Pada tanggal 26 Oktober 1965 kesatuan-kesatuan
aksi tersebut bergabung dalam satu front yaitu Front Pancasila.
Setelah terbentuknya
Front Pancasila gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin
bertambah luas, dengan di pelopori KAMI di mulailah aksi demonstrasi mahasiswa
Universitas Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966 yang terjadi di hampir
seluruh jalanan ibu kota selama sekitar satu bulan mereka menyampaikan tuntutan
atau aspirasinya, yang kemudian sering kita kenal sebagai Tiga Tuntutan Rakyat
(Tritura) kepada pemerintah, isi dari Tritura tersebut yaitu: Bubarkan PKI,
Retool Kabinet Dwikora, dan turunkan harga atau perbaikan ekonomi.
http://myangkasabbolaa.blogspot.com/2017/06/situs-judi-online-terbesar-dan.html
BalasHapushttp://mynewgooger.blogspot.com/2017/06/blog-post_5.html
http://vipbola88.blogspot.com/2017/06/ramai-boikot-indosat-di-medsos-usai.html
AGEN JUDI TERBESAR DAN TERPECAYA SE ASIA
ANGKASABOLA.COM
SUDAH BANYAK SITUS JUDI LAIN YANG MENJANJIKAN AKAN TETAPI
ANGKASABOLA TIDAK SUKA MEMBERIKAN JANJI DAN AKAN LANGSUNG MEMBUKTIKAN
SUDAH BANYAK YANG WD BESAR DISINI
JANGAN SAMPAI KETINGGALAN YAH BOSKU
KEUNGGULAN ANGKASABOLA
1. PROSES DEPO & WD CEPAT
2. HANYA DENGAN 1 USHER ID SUDAH BISA BERMAIN SEMUA GAME
3. FAST RESPON LIVECHAT 24 JAM
4. MINIMAL DEPO DAN WD 50RB
LANGSUNG SAJA INFO KAMI DI :
BBM: 7B3812F6
TWITTER : CSANGKASABOLA
FACEBOOK : ANGKASA BOLA
INSTAGRAM : CS1ANGKASABOLA
LINE : ANGKASABOLA
KAMI TUNGGU KEHADIRANYA YAH