Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

24 Mei 2012

Pesan sultan mahmud syah (1870-april 1874)


Udep merde’ka, mate syahid;
langet sihet awan peutimang,
bumoé’reunggang ujeuen peurata,
salah narit peudeueng peuteupat,
salah seunambat teupuro dumna

       Itulah memori 26 Maret 1873 – 26 Maret 2010 adalah titah Sultan Mahmud Syah masih digunakan sebagai spirit perang menentang penjajah Belanda. Beberapa pesan inti dari pesan Sultan ini merupakan modal utama untuk peutimang nanggroe. Sekarang, pesan Sultan ini sudah tidak begitu diamalkan oleh rakyat Aceh. Mereka malah membalik pesan ini menjadi: udep merdeka, asai na beulanja. But ta peulaku lage jen ek u awan.

          Pesan itu penting kita ingat lagi mengingat, beberapa hari lagi kita akan mengingat kembali hari penyerangan Belanda ke Aceh. Menurut sejarah, ultimatum perang Aceh Belanda yang diproklamasikan oleh Gubernur Hindia Belanda Komisaris Nieuwenhuijzen pada tanggal 26 Maret 1873 terhadap kerajaan Aceh Darusssalam yang dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870 – 1874).

            Setelah negosiasi gagal antara Sidi Tahir utusan Nieuwenhuijzen dengan Sultan Aceh Alaidin MahmudSyah agar Aceh menyerah kepada Belanda pada 24 Maret 1873. Namun Sultan bersikap, daripada menggadaikan tanah airnya, maka Sultan bertitah kepada seluruh rakyat untuk bersiap berperang melawan Belanda.

            Ungkapan di atas adalah salah satu pesan terkenal. Ketika genderangan perang dimulai yakni Udep merde’ka, matesyahid; langet sihet awan peutimang, bumoé’reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.

            Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Aceh, dan menandaskan seluruh pantai, pelabuhan, teluk dan tempat-tempat yang memungkinkan pendaratan di wilayah Aceh dinyatakan diblokade oleh Belanda. “Brengt terkennisse van een iegelijk wien zulks mögt aangaan, dat naar aanleiding van dentoestand van oorlog, waarin het Gouvernement van Nederlandsch-Indie met hetrijk van Atjeh verkeert, de havens en landingsplaatsen, kusten, rivieren, baaijen en kreeken van genoemd rijk en zijne onderhoorighedenworden verklaard te zijn in staat van blokade, met al de gevolgen daaraanverbonden en dat met de uitvoering van dezen maatregel is belast de Kommandantder in de wateren van Atjeh gestationneerde Zeemagt” (Talsya: 1982).

            Kapal Citadel van Antwerpen Belanda terus memuntahkan peluru ke darat pertanda dimulai perang.terhadap Aceh. Pada 8 April 1873, Belanda mendaratkan 3.000 serdadu yang mendapatkan perlawanan sengit dari pejuang Aceh. Bahkan pimpinan pasukan Jenderal Kohler tewas dibedil pada 14 April 1873 di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Wal hasil, Belanda mundur dan kembali ke Batavia. Dan inilah awal perang Aceh Belanda yang dimulai pada 26 Maret1873 dan berakhir pada 12 Maret 1942 bersamaan dengan pendaratan Jepang.Ulama dan rakyat bahu membahu mempertahankan tanah air Aceh. Banyak diantara mareka yang syahid sehingga makam berserakan di gampong-gampong dan hutan-hutan Aceh, baik dipantai utara, barat dan tengah Aceh. Operasi sapu bersih dilakukan di mana mana, pasukan khusus dibentuk yaitu Marsose” dan menjadi pasukan elit Belanda untuk menangkap pejuang Aceh. Menurut salah satu laporan mulai 8 Februari 1902-23 Juli 1904, paling kurang 2.902 pejuang Aceh di Gayo dan Alas syahid. Sekitar 1.159 korban perang ini terdiri dari perempuan dan anak-anak korban keganasan pasukan khusus Belanda. Begitu juga di Meulaboh antara tahun1902 1913 telah tewas 2.230 orang Aceh. (Paul Van’t Veer:1979).

Raja Tampok dan Raja Ubiet

            Begitu juga tidak terhitung jumlahnya kaum muslimin yang syahid di Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara. Bahkan ada penduduk yang mengungsi menyelamatkan jiwanya ke Semenanjung Tanah Melayu, ke tanah Arab bahkan ada yang lari ke hutan-hutan seperti yang dialami oleh keluarga Raja Tampok dan Raja Ubiet. Mereka melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse Pidie ke pedalaman pucuk Gunung Itam. Mereka baru menyadari Indonesia merdeka pada tahun 1985 semasa Gubernur Ibrahim

            Hasan. Di mana sekarangsebagian besar pengikut Raja Tampok ini yang dipimpin oleh Teuku Raja Keumala(50) bermukim di Pucuk Gunung Itam, Nagan Raya berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidie Jaya. Dari pihak Belanda lebih dari 2.000 orang serdadu terbaring tenang di Kerkhoof, BandaAceh. Demikian juga tidak terhitung yang gugur di belantara hutan Aceh. Sebagai bukti sejarah kuburan mereka masih bisa kita temukan kalau kita menelusuri pelosok negeri Aceh baik di timur, barat maupun tengah Aceh. Bahkan empat jenderal Belanda gugur di bumi Iskandar Muda.

            Belanda pun mengirim C Snouck Hurgronje ke Mekkah untuk mempelajari kultur masyarakat Aceh yang tahan berperang. Sehingga para politisi Belanda berucap “Cukuplah Sudah” (Paul Van’t Veer: 1979) dan mengharapkan perang ini segera dapat diakhiri. Pesan ini sangat terkenaldi Belanda, dimana mereka sangat prihatin dengan dana dan akibat perang yangmereka alami selama menaklukkan Aceh.

            Memang Belanda akhirnya harus meninggalkan Aceh. Mereka kabur dari Aceh setelah Jepang mendarat di Kuta Raja pada jam 11 malam pada 11 Maret 1942. Mendaratnya Jepang atas bantuan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh. Ini juga diikuti oleh mobilisasi begitu cepat pasukan Jepang untuk menangkap Jenderal R.T. Overakker, komandan teritoriumSumatera Tengah, yang telah mengungis ke Tanah Gayo pada 28 Maret 1942.

            Aceh adalah daerah terakhir yang dimasukkan ke dalam pemerintahan HindiaBelanda yang melahirkan Indonesia.Aceh juga yang pertama keluar dari pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan ketika agresi militer sekutu tahun 1946 dan 1947 m
http://www.blogger.com/img/blank.gifenduduki seluruh wilayah Indonesia dan Presiden Soekarno ditangkap, maka roda pemerintahan Indonesia sempat berpusat di Kutaraja dibawah komando Pemerintahan Daerah Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Syafruddin Prawira Negara. Karena itulah, Soekarno menggelar Aceh sebagai modal perjuangan bangsa. Inilah mungkin renungan sejarah minggu ini. Tentu saja ini bukan hendak membuka luka lama dan mencari musuh. Perang yang dialami oleh rakyat Aceh sudah ratusan tahun. Karena itu, renungan ini harus kembali mengambil pesan dan hikmah dari titah Sultan di atas. Di situlah substansi keacehan bisa didapatkan kembali. Keacehan dan perang adalah satu napas. Di tengah-tengahnya adalah pesan inti Sultan di atas yaitu wibawa dan ketegasan sebagai orang Aceh yang punya jatidiri.

Melacak Peran Perempuan Aceh


Bulan April kita kenang sebagai bulan kaum perempuan . Di bulan inilah pada
tahun 1879 pejuang emansipasi wanita, RA Kartini, lahir di Jepara. Kecuali
Jepara, agaknya Aceh juga perlu diberi catatan dalam hal emansipasi ini,
terutama soal kesetaraan jender. Di Aceh tidak ada dikotomi fungsional
secara ekstrem antara lelaki dengan perempuan kecuali dalam ritual ibadah
dan fiqh agama.

Sejak Kerajaan Samudra Pasai (abad ke 15) peran wanita sudah sangat
menonjol. Nahrasiah adalah ratu pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan
Samudra Pasai atas konsep kesetaraan jender, jauh sebelum Kartini
(1879-1904) di Jawa memperjuangkan hak-hak kaumnya. Nahrasiah naik ke tampuk
pemerintahan pada tahun 1408 dan meninggal pada pada 1428 menggantikan
ayahnya Sultan Zainal Abidin. Ia mendapatkan kekuasaan itu secara terhormat
karena seluruh masyarakat -dalam hal ini kerabat kerajaan-- sepakat untuk
menyerahkan kekuasaan negara kepada seorang wanita, tanpa mempersoalkan
adanya analogi bahwa wanita yang tidak bisa jadi imam shalat sekaligus tidak
bisa memimpin negara. Di bawah kepemimpinan Putri Nahrasiah inilah kemudian
tradisi pemerintahan perempuan berlanjut di Aceh.

Menjelang masa keemasannya, di Kerajaan Aceh tampil seorang perempuan dengan
peran sangat penting, yaitu Keumalahayati, yang diangkat menjadi laksamana
oleh Sultan Alaiddin Riayatsyah (1589 -1604). Sebuah riwayat menyebutkan,
alasan pengangkatan Keumalahayati sebagai laksamana, karena selain layak dan
berpengalaman di laut, kala itu Riayatsyah sudah tidak mempercayai lagi kaum
lelaki. Di usianya yang tua (80 tahun), sultan amat risau jika panglima
armada dipimpin lelaki karena berpotensi merampas kekuasaan. Hanya wanita
yang mampu mengamankan dan menyamankan sultan dari bayang-bayang kudeta.

Riayatsyah adalah tokoh pembagi kekuasaan antara lelaki dengan wanita.
Sebab, selain untuk jabatan laksamana, sultan juga mengangkat Po Cut Limpah
menjadi Ketua Dewan Rahasia. Tugas Dewan Rahasia -yang mirip dewan penasihat
sekaligus badan intelijen negara-- memberi informasi penting kepada sultan.
Keputusan-keputusan strategis kerajaan bermula dari dewan yang dipimpin Po
Cut Limpah ini. Mitos bahwa pada wanita tak boleh disimpan rahasia, dengan
sendirinya terbantahkan.

Sebetulnya teramat panjang daftar perempuan Aceh yang berperan di berbagai
sektor, sebagai pertanda bahwa tidak ada persoalan jender dalam budaya Aceh.
Tampilnya Safiatuddin - putri Iskandarmuda-- memimpin Aceh setelah mangkat
Iskandar Thani (suaminya), semakin mempertegas kedudukan dan integritas
perempuan - apalagi ketika Riayatsyah -seperti dikatakan
tadi--berkesimpulan: bahwa lelaki tidak bisa dipercaya, sehingga dia memilih
Keumalahayati sebagai laksamana.

Safiatuddin yang memerintah dari tahun 1614 sampai 1675, dilukiskan sebagai
ratu yang cerdas, malah lebih cerdas dari para pendahulunya -termasuk dari
kalangan pria. Di zaman Safiatuddin berkembang ilmu pengetahuan yang
ditandai oleh terbitnya buku-buku penting karya para ulama, setelah mereka
dikirim ke India dan Timur Tengah. Nuruddin Ar Raniry yang terkenal itu
berkarya di masa sang ratu. Yang lebih penting, masa kekuasaan wanita ini
jauh lebih lama dibandingkan dengan para sultan sebelum dan sesudahnya.
Dengan masa berkuasa selama 34 tahun, bahkan Safiatuddin melebihi Soeharto.

Bertahannya di tampuk pemerintahan, antara lain karena dia tahu menjaga
keseimbangan semua komponen masyarakat, terutama para elitnya. Dia
melibatkan ulama menjadi penasihat istana, yang tradisi ini sampai kini
masih berlangsung di Aceh. Sekarang ini, Pemerintahan Aceh memasukkan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai anggota Muspida, yang tidak ada
di provinsi, atau kabupaten/kota di luar Aceh. Inilah konsep gagasan seorang
wanita yang berawal dari adanya ketulusan menempatkan wanita di pusat-pusat
kekuasaan.

Dalam masa sekarang ini, wanita Aceh juga selalu mendapat tempat yang layak
di masyarakat bersama lelaki, baik dalam strata kehidupan maupun dalam
tatacara bekerja. Karena sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai
petani, maka apa yang terjadi dalam kegiatan bercocok tanam di sawah dapat
menjadi cermin dari kesetaraan jender. Ureueng agam mu-ue umong, ureueng
inong jak seumula. (Orang lelaki membajak sawah, kaum perempuan yang menanam
padi).

Benda purbakala seperti Gunongan dan Pinto Khop di sisi Krueng Daroy Banda
Aceh juga bisa memberi kesaksian tentang posisi wanita. Kedua benda sejarah
itu dibangun Iskandarmuda atas permintaan istrinya Putroe Phang. Sebagai
first lady Aceh, sang permaisuri menginginkan sarana rekreasi dan tempat
bersenang-senang agar betah tinggal di Aceh sehingga tidak lagi rindu
kampung halamannya di Pahang, Semenanjung Melayu.

Pada penyapaan resmi juga dapat dilihat bagimana wanita mendapatkan tempat
atau prioritas, seperti halnya dalam masyarakat Barat yang giat
memperjuangkan hak-hak wanita. Dalam bahasa Indonesia, bila seorang
berbicara secara resmi atau pidato, sapaannya berbunyi; Bapak-bapak dan
ibu-ibu! Atau Saudara saudari, -- lebih dulu lelaki yang mendapat sapaan,
baru wanita. Tetapi untuk maksud yang sama akan kita temukan kalimat sapaan
yang sebaliknya dalam masyarakat Aceh: Kawom mak nyang meutuah, kawom ayah
yang meubahgia (Kamum ibu yang bertuah, kaum bapak yang berbahagia). Sama
dengan sapaan masyarakat Barat: Ladies and gentlemen!

Bagi kalangan yang kurang mengerti, sering bertanya bahkan
memperolok-olokkan kebiasaan yang dilihat secara sepintas. Misalnya di
kampung-kampung, jika berjalan kaki, selalu saja suami di depan dan istri di
belakang, lalu mereka mengatakan bahwa lelaki Aceh meremehkan perempuan
sehingga tega ditinggalkan di belakang. Padahal itu dilakukan karena
semangat melindungi perempuan, yaitu sikap satria yang seharusnya dimiliki
oleh lelaki agar wanita terlindungi, sehingga dia bisa terus bersama-sama
menjalani hidup ini.

Jalan berbanjar bukan beriring ini bermula ketika situasi alam masa dulu
yang penuh tantangan. Karena berbagai ancaman dijumpai sepanjang perjalanan
yang masih sepi dan penuh binatang buas atau onak duri yang berbahaya. Tugas
lelakilah menghadapi semua itu dengan cara berjalan di depan. Kecuali itu,
pada waktu tersebut tentu perjalanan jarak jauh pun ditempuh lewat jalan
setapak atau pematang sawah, yang tak mungkin berjalan secara bergandengan.

Dengan gambaran yang teramat jelas bagaimana struktur dan pembagian fungsi
serta simbol-simbol kulturalis, sebetulnya tidak banyak manfaat bagi
kalangan yang datang ke Aceh menceritakan kesetaraan jender. Tanyakan kepada
wanita Aceh, adakah mereka merasa dipinggirkan atau dimarjinalkan oleh
lelaki. Dengan latar keislamannya, masyarakat Aceh sangat mahfum apa yang
telah dilakukan, apa yang harus dilakukan, dan apa yang musti mereka
tinggalkan. Mereka amat sadar akan martabat dirinya dan martabat
keluarganya.

Tugas-tugas berat yang dipikul oleh perempuan Aceh tidak membebankan mereka
secara fisik dan psikis. Jangankan harus turun ke sawah bersama lelaki,
beban yang lebih berat pun telah dijalani dan dilakoni wanita Aceh. Mereka
pernah memegang kekuasaan, mulai Ratu Nahrasiah di Kerajaan Samudra Pasai
awal abad ke 15, sampai dengan Safiatuddin (1641 - 1678), serta para ratu
berikutnya: Nurul Alam (1675 - 1678), Inayat Zakiatuddin ( 1678 - 1688), dan
Kumalat Zainatuddin (1688 - 1699) di Kerajaan Aceh. Kecuali di singgahsana,
wanita Aceh juga ikut dalam peperangan, dari satu masa ke masa lainnya.

Dalam arsitektur rumah tradisional Aceh juga dapat kita lihat bagaimana
wanita (ureueng inong) mendapat tempat. Di antara ruang-ruang rumah
tersebut, yang namanya rumoh inong terletak di tengah-tengah dan lantainya
lebih tinggi dari bagian lain seperti seuramoe (serambi) dan seulasa atau
selasar. (Ada menerjemahkan rumoh inong sebagai rumah induk). Posisinya di
tengah-tengah bermakna wanita harus dilindungi, karena secara kodrati dia
makhluk yang lemah.

Struktur yang lebih tinggi menggambarkan penghargaan lebih yang diberikan
kepada perempuan.

Tanpa ingin menonjol salah satunya, yang perlu dicatat bahwa ketika Kartini
baru memperjuangkan hak-hak wanita pada akhir abad 19, lima abad (500 tahun)
sebelum itu wanita Aceh telah mendapatkannya. Atau mungkin, Kartini adalah
tokoh perempuan dalam sejarah modern Indonesia.

Lonceng Cakra Donya Sebagai Simbol Persahabatan Hubungan Sejarah Bangsa Aceh Dengan Tiongkok


Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra bagian utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha(sebelum masuknya agama Islam).Pada abad ke 13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Di dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai negara Aceh modern. Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, di mana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batutah/Batistuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Di kota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai.
Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis. Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat di seluruh Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
Kekuasaan Aceh pada saat itu meliputi Barus, Tiku, Pariaman(Minangkabau), Riau, Siak, sebagian Bangkahulu dan sebagia Semenanjung Malaya(Johor, Pahang, Perak). Aceh meluaskan kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll. Pada saat itu Aceh menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey Ottoman. Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampong Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Banda Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.
            Pada waktu itu orang Aceh telah menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa. Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Tsani (1636-41).
Periode pemerintahan Iskandar Tsani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.
Pada jaman Iskandar Tsani ini, di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri(orang Ranir, Gujarat, penasihat Sultan, ahli tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
Peranan orang Tionghoa di bidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).
Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual di depan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang
meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard).

Cakra Donya
Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama "Cakra Donya"
(Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.
Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (Teror Dunia). Kemudian Loncengyang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibac)
            lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Raya Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi yang disimpan di Museum Aceh. Lonceng raksasa Cakra Donya merupakan sebuah bingkisan Maharaja Cina yang diantar oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Di atas Lonceng tersebut tertera aksara Cina "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo".

Lamuri Cikal Bakal Kerajaan Aceh Darussalam


            Awal mula perkembangan kerajaan Lamuri dan letak Geografisnya.
Kerajaan Lamuri juga dikenal dengan banyak nama, antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Indra Purba
  2. Poli
  3. Lamuri ( seperti yang disebutkan oleh Marcopolo)
  4. Ramini/Ramni atau Rami ( seperti yang disebutkan oleh pedagang atau ulama Arab yaitu Abu Zayd Hasan,Sulayman ataupun Ibnu Batuthah )
  5. Lan-li, Lan-wuli dan Nanpoli ( seperti yang disebut oleh orang Tionghoa.
Berita tentang kerajaan Lamuri diperoleh dari suatu prasasti, yang di tulis pada masa raja Rajendra Cola I pada tahun 1030 di Tanjore ( India Selatan ) serangan Rajendra Cola I, mengakibatkan beberapa kerajaan di Sumatera dan semenanjung Melayu menjadi lemah (1023/1024) dan disebutkan bahwa Rajendra Cola I mengalahkan Ilmauridacam ( Lamuri ) yang telah memberikan perlawanan yang hebat dan dapat dikalahkan dalam suatu pertempuran habis-habisan. Penyerangan terhadap Lamuri di ujung pulau Sumatera dilakukan karena kerajaan Lamuri merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya juga mendapatkan serangan dari kerajaan Cola pada tahun 1017M  dan tahun 1023/1024M. maka dapat disimpulkan bahwa kerajaan ini diperkirakan sudah mulai berdiri pada abad ke IX dan sudah mempunyai angkatan perang yang kuat dan hebat, dibuktikan ketika dengan susah payah diserang oleh kerajaan Cola barulah dapat dikalah kan oleh prajurit kerajaan Cola. Ini membuktikan bahwa kerajaan Lamuri adalah suatu kerajaan yang mempunyai pemerintahan yang teratur dan kuat pada zamannya. Tentu saja untuk mengatur pemerintahan yang teratur dan kuat angkatan perangnya Lamuri memerlukan sumber-sumber kekayaan yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian,pertanian dan lain-lain.
Tentang nama Lamuri diperoleh banyak versi, ada Lamuri seperti yang disebutkan oleh Marcopolo, ada Ramini atau Ramni sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang Arab, sejarah Melayu pun menyebut Lamuri dan orang-orang Tionghoa menyebut Lan-li,Lan-wuli dan Nanpoli. Seorang saudagar Arab yang bernama Ibnu Khurdadbah (885) menyebutkan bahwa Ramni mempunyai hasil alam berupa kemenyan,bambu,kelapa,gula,beras,kayu cendana. Sedangkan saudagar Sulaiman (851) ketika setelah melewati lautan India bahwa daerah yang dikunjungi nya adalah Ramni. Abu Zayd Hasan (916) menyebut Rami,juga menceritakan tentang hasil alam dari Rami/Lamuri yaitu kapur barus dan kemenyan, demikian juga dengan Mas’udi (945) dia menyebut Al-Ramin, dimana didapati tambang emas dan letaknya dekat dengan daerah Fansur/Barus yang termasyur dengan kapurnya.  Seorang muslim Parsi yang bernama Buzurg ( 955). Tatkala menunjuk Sriwijaya menyebutkan letaknya di Selatan Lamuri. Dan menurut Buzurg, dari pantai Barus dapat dilakukan perjalanan darat ke Lamuri.
Dr. Solomon Muller menulis berita tertentu tentang suatu kerajaan di ujung pulau Sumatera, bersumber dari abad ke-9. dia mengutip Renaudot dalam “ Anciannes relations des Indes et de la Chine” Paris 1718. Dalam buku ini diperkenalkan nama dua pulau yaitu Ramni dan Fantsoer, dan diceritakan letaknya antara laut Harkand (India) dengan laut Sjalahath ( selat Malaka) di daerah Ramni juga terdapat binatang gajah, dan di perintah oleh berbagai kekuasaan. Sedangkan Fansur disebut kaya dengan kapurnya dan tambang emas. Telah diceritakan tentang Lamuri atau Lamri atau nama lain yang mirip,terletak di ujung Sumatera utara yaitu di Aceh Besar sekarang. Dan telah diceritakan bahwa Lamuri pun ikut terpukul oleh serangan dari Rajendra Cola I, walaupun tidak sampai runtuh pada tahun 1023 dan 1024.  Dan kira-kira 75 tahun kemudian kerajaan Majapahit melakukan serangan ke Sumatera, diantara yang diserang termasuk kerajaan Samudera Pasai dan Lamuri. Sesudah serangan Majapahit, Lamuri juga pernah didatangi oleh Laksamana Cheng Ho (1414 )
Dari akibat peristiwa yang berlangsung dalam lebih kurang tiga abad     ( serangan Cola,serangan Majapahit dan akhirnya Cheng Ho ) tentunya Lamuri pada akhirnya menjadi lemah. Timbullah di bekasnya beberapa kampong yang akhirnya bersatu atau disatukan kembali dibawah kekuasaan seorang raja, dan kemudian terdengarlah berbagai nama disamping akan lenyapnya Lamuri, diantaranya  Darul Kamal, Meukuta Alam, Aceh Darussalam dan juga disebut nama Darud Dunia.
Dan disekitar masa itu juga terdengar adanya  kerajaan Pedir ( di Pidie ). Menurut Veltman sumber Portugis mengatakan bahwa sultan Ma’ruf Syah Raja Pedir Syir Duli. Itu pernah menaklukkan Aceh Besar pada tahun 1497, dan diangkatnya dua orang wakil satu di Aceh Besar dan satu lagi di Daya.
Seorang Sejarahwan yang bernama Husein Djajadiningrat mengeluarkan pendapat yang berasal dari dua naskah hikayat tentang asal mula raja Lamuri dan raja kerajaan Aceh Darussalam.  Pertama (122) Hikayat yang dimulai asal raja Aceh ( Lamuri ) yang bernama Indra Syah ( mungkin yang dimaksud adalah Maharaja Indra Sakti ). Dan dikatakan bahwa raja Indra Syah pernah berkunjung ke Cina. Kemudian hikayatnya berhenti sampai disitu, dan tiba-tiba hikayat itu menceritakan Syah Muhammad dan Syah Mahmud, dua bersaudara putera dari raja, Syah Sulaiman kemudian mempunyai dua orang anak yaitu raja Ibrahim dan puteri Safiah. Sedangkan Syah Mahmud setelah menikah dengan bidadari Madinai Cendara juga mempunyai dua orang anak yaitu, raja Sulaiman dan puteri Arkiah, dan kemudian dikisahkan juga kalau Sulaiman di nikah kan dengan sepupunya Safiah dan Ibrahim dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Arkiah, pernikahan ini merupakan usulan dari kakek mereka yang bernama raja Munawar Syah.
Dikatakan pula raja Munawar Syah yang dimaksudkan memerintah di kerajaan Lamuri. Hikayat ini juga melanjutkan cerita tentang lahirnya dua orang putera yang bernama Musaffar Syah yang memerintah di Mekuta Alam dan Inayat Syah yang memerintah di Darul Kamal. Kedua raja ini tidak henti-hentinya salaing berperang, peperangan tersebut kemudian dimenangkan oleh raja Musaffar Syah yang kemudian menyatukan dinasti Meukuta Alam dengan dinasti Darul Kamal. Dan dikatakan juga bahwa Inayat Syah berputera Firman Syah Paduka Almarhum, kemudian Firman Syah berputera Said Al-Mukammil yang kemudian beberapa orang anak diantara nya Paduka Syah Alam Puteri Indra Bangsa bunda Sri Sultan perkasa Alam Johan Berdaulat ( Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam ). Jadi Said Al-Mukammil merupakan kakek sultan Iskandar Muda dari sebelah ibu. Selain itu Sultan Alaidin Al-Mukammil mempunyai beberapa orang putera, salah satunya adalah sultan Muda Ali Ri’ayat Syah (1604-1607 ), yang merupakan paman dari Sultan Iskandar Muda.
Naskah kedua (124) yang dimaksud dalam pembicaraan Husein Djajadiningrat mengenai hikayat raja-raja Lamuri ( Aceh ), dimana hikayat ini yang dibuat silsilah berpangkal pada Sultan Johan Syah ( mungkin maksudnya Meurah Johan atau Sultan Alauddin Johan Syah yang merupakan putera raja Lingge, Adi Genali. Dan kemudian menikah dengan Puteri Blieng Indra Kusuma).  Berbeda dengan hikayat yang pertama,hikayat ini menentukan hari,tanggal dan bulan tahunnya. Pada permulaan disebutkan bahwa Johan Syah memerintah dimulai pada tahun Hijrah 601 ( atau tahun 1205 M ), lamanya 30 tahun. Dia digantikan oleh anaknya yang tidak disebutkan namanya, sultan kedua meninggal dan digantikan oleh anakanya yang bernama Ahmad Syah yang memerintah selama 34 tahun 2 bulan 10 hari, hingga mangkat nya pada ( 885 Hijrah ). Kemudian kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang bernama sultan Muhammad Syah yang memerintah selama 43 tahun. Pada masa itu sultan Muhammad Syah menceritakan pemindahan kota dan pembangunan kota baru yang diberi nama Darud Dunia, sultan ini meninggal pada tahun 708 Hijrah. Berpegang pada tahun ini maka pembangunan Darud Dunia adalah sekitar tahun 700 Hijrah atau kira-kira tahun 1260 Masehi.
Sesudah sultan Muhammad Syah meninggal, maka yang naik tahta menjadi raja  adalah Mansur Syah yang memerintah selama 56 tahun 1 bulan 23 hari. Ia kemudian digantikan oleh anakanya yang bernama raja Muhammad pada tahun 811 Hijrah yang memerintah selama 59 tahun 4 bulan 12 hari dan meninggal pada tahun 870 Hijrah. Raja Muhammad kemudian digantikan oleh Husein Syah selama 31 tahun 4 bulan 2 hari untuk kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama sultan Ali Ri’ayat Syah yang memerintah selama 15 tahun 2 bulan 3 hari, meninggal pada tanggal 12 Ra’jab 917 Hijrah ( atau tahun 1511 Masehi ).
Atas dasar hikayat-hikayat yang di telitinya itu, Husein Djajadiningrat telah membuat rentetan nama raja-raja Aceh ( Lamuri ). Yang memerintah semenjak Johan Syah (1205 Masehi ) sebagai berikut;
  1. Sultan Johan Syah                               Hijrah  -601-631
  2. Sultan Ahmad                                                 -631-662
  3. Sri Sultan Muhammad Syah, anak
Sultan ke-2,  berumur setahun ketika
Mulai naik tahta pergi dari Kandang
Dan membangun kota Darud Dunia   Hijrah  -665-708
4.   Firman Syah, anak Sultan ke-3                       -708-755
5.   Mansur Syah                                                   -755-811
6.   Alauddin Johan Syah, anak sultan ke-5,
Mulanya bernama Mahmud                            -811-870
7.   Sultan Husin Syah                                          -870-901
8.   Ri’ayat Syah ( Mughayat Syah?-MS)             -901-907
9.   Salahuddin, digantikan oleh no.10
(adiknya)                                                         -917-946
10. Alau’ddin ( Alkahar?-MS) adik no.9.             -946-975.
Sebagai yang dapat diperhatikan dari ke 10 nama raja-raja diatas, tidak ada didapati nama sultan yang bernama Musaffar Syah, tidak pula ada nama Inayat Syah dan Syamsu Syah. Padahal nama-nama itu dapat dibuktikan adanya dari nukilan pada makam mereka yang dijumpai kemudian.
Nama Musaffar Syah terdapat dalam naskah yang tersebut lebih dulu, sementara nama Mahmud Syah sebagai pembangun kota Darud Dunia terdapat pada naskah yang tersebut ke-2.  Suatu penemuan penting adalah makam sultan Musaffar Syah, didapati tidak di Meukuta Alam, ditempat dimana dia pernah bertahta,akan tetapi disuatu kampung bernama Biluy,IX mukim,termasuk wilayah Aceh Besar juga. Pada batu nisannya ternukil tahun meninggalnya yaitu 902 Hijrah atau 1497 Masehi.
B. Lamuri Hingga ke Aceh Darussalam
Sekitar tahun 1059-1069 Masehi, kerajaan Tiongkok yang berada di Cina menyerang kerajaan Lamuri ( Indra Purba ), yang pada masa itu diperintah oleh maharaja Indra Sakti yang waktu itu masih memeluk agama Hindu. Tetapi tentara Tiongkok dapat dikalahkan oleh sebanyak 300 orang dibawah pimpinan Syaikh Abdullah Kan’an ( bergelar Syiah Hudan,turunan Arab dari Kan’an ) dari kerajaan Peurlak. Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya akhirnya masuk agama Islam. Maharaja Indra Sakti mengawinkan puterinya, Puteri Blieng Indra Kusuma dengan Meurah Johan yang ikut menyerang tentara Tiongkok, yang merupakan putera Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yang menjadi raja Lingge. Dua puluh lima tahun kemudian,maharaja Indra Sakti meninggal dunia, dan diangkatlah menantunya Meurah Johan menjadi raja dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah, dimana kerajaan Indra Purba atau Lamuri menjadi kerajaan Islam, dan ibu kota kerajaan dibuat yang baru yaitu di tepi sungai krueng Aceh sekarang dan dinamai dengan Bandar Darussalam.
Pada masa sultan Alaiddin Ahmad Syah yang memerintah dari tahun 1234-1267 Masehi, baginda berhasil merebut kembali kerajaan Indra Jaya dari kekuasaan tentara Tiongkok. Pada masa Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309 Masehi. Beliau berhasil mengislamkan daerah Indrapuri dan Indrapatra. Dan sultan Alauddin Johan Mahmud Syah juga membangun dalem atau keraton ( Istana) yang di namai dengan Darud Dunia ( Rumah dunia ). Dan mesjid raya Baiturrahman di Kutaraja ( Banda Aceh ) pada tahun 1292 Masehi. Istana adalah lambang rumah dunia,sementara mesjid adalah lambang rumah akhirat. Keseimbangan atau harmoni inilah yang menandai system nilai sosial budaya  masyarakat Aceh yang terkenal sangat religius. Pada masa sultan Alaiddin Husain Syah yang memerintah dari tahun 1465-1480 Masehi, beberapa kerajaan kecil dan Pidie bersatu dengan kerajaan Lamuri yang sudah berganti nama menjadi kerajaan Darussalam, dan dalam sebuah  federasi yang kemudian diberi nama kerajaan Aceh, sedangkan ibu kota kerajaan dirubah menjadi Bandar Aceh Darussalam. Pada masa sultan Alaiddin Syamsu Syah yang memerintah dari tahun 1497-1511,ia membangun istana baru yang dilengkapi dengan sebuah mesjid yang diberi nama mesjid Baiturrahman.
Pada permulaan abad ke-16,sebagian besar kerajaan Islam telah berada dibawah genggaman kekuasaan imperialisme dan kolonialisme Barat. Daratan Aceh,yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam, juga tidak terlepas dari pendudukan dan pengaruh Barat. Kekuasaan imperialisme kolonialis Barat ini bisa bertahan karena kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam di Aceh terpencar dengan sejumblah kerajaan-kerajaan kecil, diantara nya adalah sebagai berikut:
  1. Kerajaan Aceh ( gabungan dari Lamuri, Meukuta Alam dan Darul Kamal ) di Aceh Besar sekarang.
  2. Kerajaan Peurlak di Aceh Timur
  3. Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara.
  4. Kerajaan Pedir di Pidie
  5. Kerajaan Lingge di Aceh Tengah
  6. Kerajaan Meuruhom Daya di Aceh Barat ( sekarang masuk wilayah Aceh Jaya)
  7. Kerajaan Benua Teumiang di Aceh Tamiang.
Pemikiran untuk bersatu, menjadi besar dan disegani lawan, baru muncul dari panglima angkatan perang kerajaan Aceh pada waktu itu. Yaitu Ali Mughayat Syah (1511-1530), mengingat semakin besarnya peran Portugis di wilayah sekitar selat Malaka. Sebagai panglima angkatan perang kerajaan Aceh, yang juga adalah seorang putera mahkota dan anak dari Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang memerintah dari tahun 1497-1511 Masehi. Ali Mughayat Syah meminta kepada ayahnya untuk meletakkan jabatan dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepadanya. Pada saat itu sultan Alaiddin Syamsu Syah memang sudah cukup tua untuk memimpin perlawanan melawan Portugis, Ali Mughayat syah menyadari untuk melawan Portugis diperlukan kekuatan yang besar, selama kerajaan-kerajaan kecil masih tetap berdiri sendiri dan tidak bergabung didalam suatu kekuatan kerajaan besar yang kuat dan bersatu maka tetap saja perlawanan pun tidak memiliki banyak arti. Selain menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dibawah payung kerajaan Aceh, Ali Mughayat Syah juga berpikir bahwa kerajaan juga harus memiliki angkatan darat dan laut. Maka kemudian sultan Ali Mughayat pun mendeklarasikan berdirinya kerajaan Aceh Darussalam hingga pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda Meukuta Alam ( 1607-1636 M). yang merupakan raja terkenal dari kerajaan Aceh Darussalam. Semenjak itu berdirilah kerajaan Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam terhebat dan terkuat di Asia Tenggara yang berdiri sejajar dengan kerajaan Islam lainnya di dunia seperti kerajaan Turki Usmani di Turki, kerjaan Safawi atau Ishafan di Persia dan kerajaan Mughal di India.