Apa itu sastra Aceh? Karya sastra yang mana saja yang
layak disebut sebagai karya sastra Aceh? Apakah hanya karya-karya sastra yang
berbahasa Aceh saja? Apa saja ciri dan bentuknya? Dan bagaimana perkembangannya
dari zaman ke zaman? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini yang ingin saya
bahas secara sepintas.
Ketika berbicara tentang sastra Aceh, orang pasti akan
langsung teringat akan Hamzah Fansuri dengan Syair Perahu yang sufi atau
Hikayat Prang Sabil-nya Tgk Chik Pante Kulu yang mampu membakar semangat rakyat
Aceh untuk mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan Belanda.
Padahal sastra Aceh tidak hanya itu. Ada banyak karya
sastra yang bertebaran di Aceh. Baik itu dalam bahasa Aceh ataupun dalam
bahasa-bahasa lain yang ada di Aceh .(Ada sekitar sepuluh bahasa dan suku
bangsa di Aceh. Aceh adalah suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir. Selain
itu ada suku Gayo, Aneuk Jamee, Tamiang, Kluet dan seterusnya). Bahasa Aceh
adalah bahasa yang paling banyak penggunanya. Sayangnya, hanya sedikit
karya-karya dalam bahasa daerah ini yang terekspos atau terpublikasi.
Bentuk karya yang ada juga bermacam-macam. Ada
hikayat, syair, pantun, dan prosa. Namun dari semua bentuk karya sastra
tersebut, karya yang paling dominan dan ada dalam semua bahasa di Aceh adalah
Hikayat. Hikayat bisa ditemui dalam karya sastra lisan maupun tulisan, mulai
dari dulu sampai sekarang. Jadi tidak salah, kalau kita menyebut bahwa hikayat
adalah nafas sastra aceh.
Keberadaan sastra di Aceh bisa dibagi dalam beberapa
periode, yaitu zaman kerajaan dan perang Aceh, zaman kemerdekaan, masa konflik,
dan pasca tsunami.
Sastra Aceh Pada Zaman Kerajaan dan Perang Belanda Di
Aceh
Awal keberadaan sastra di Aceh bisa dilihat jauh
sebelum Indonesia ada, yaitu sekitar abad ke-13, pada saat Aceh masih dalam
bentuk kerajaan. Ada banyak karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat dan sastra
tutur. Karya tulisan umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu dan Arab.
Sedangkan sastra lisan umumnya menggunakan bahasa daerah karena lebih
komunikatif saat berkomunikasi langsung dengan pendengarnya.
Pada zaman ini, ada beberapa karya legendaris dari
Aceh yang mendunia. Karya-karya ini punya kekuatan dan ciri khas tersendiri. Hikayat
adalah karya yang menonjol pada zaman ini.
Hikayat-hikayat yang memiliki kekuatan dan bertahan
sampai sekarang, antara lain adalah Syair perahu (Hamzah Fansuri), Bustanul as
salatin (Nuruddin Arraniry), dan Hikayat Prang Sabil (Tgk Chik Pante Kulu).
Selain itu juga ada Hikayat Malem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat
Putroe Bungsu dan beberapa hikayat yang tidak diketahui penulisnya.
Karya sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan
karya sastra tutur. Karya sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat.
Hikayat yang tidak ditulis tetapi dituturkan secara spontan dan dihafalkan
cukup banyak. Hampir semua orang di Aceh pandai bertutur secara spontan.
Seorang ibu bersyair atau membacakan hikayat saat
menidurkan anaknya, penari menyanyikan syair dan hikayat secara spontan saat
menari, para pedagang obat keliling bersyair saat menjual obatnya di depan
umum, shalawat-shalawat dan hikayat para Rasul diajarkan oleh para teungku
(ulama, guru agama, pemimpin pasantren) saat mengajarkan para santri. Hikayat
dan sastra tutur tumbuh dan berkembang begitu saja di mana-mana di Aceh.
Penyebab lain, mengapa sastra tulisan lebih sedikit
adalah karena orang Aceh lebih suka bertutur daripada menulis. Juga pada masa
itu, walaupun semua orang bisa membaca tulisan Arab atau Melayu Jawi, hanya
kalangan yang berpendidikan saja yang bisa menulis dalam huruf latin di Aceh.
Ini salah satu penghambat sedikitnya karya berbentuk tulisan di Aceh.
Para sastrawan legendaris pada masa ini, memiliki
kekuatan dan karakter tersendiri. Hamzah Fansuri (1575-1625), misalnya. Seorang
penyair sufi yang karya-karyanya jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap
sesat oleh mereka-mereka yang menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak
karya-karyanya yang dibakar atas perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada
masa itu. Salah satu kitab yang ditulisnya “Syarab al-asyiqin” atau “Minuman
segala orang yang berahi”
Tengku Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih dikenal
dengan sebutan Tengku Syiah Kuala (yang namanya kemudian dijadikan nama
universitas negeri di Aceh, Unsyiah) juga banyak menuliskan kitab-kitab
pendidikan dan agama yang berisikan syair-syair ma’rifat.
Tengku Chik Pante Kulu, juga seorang ulama besar.
Beliau menuliskan Hikayat Prang Sabil. Hikayat ini cukup dikenal dan merakyat
dalam bentuk tutur. Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk
mati syahid melawan kaphe Beulanda.
Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar
belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa. Mereka juga
berasal dari kalangan keluarga yang berpendidikan dan semuanya laki-laki. Pada
masa ini, tidak ditemukan karya sastra yang ditulis perempuan (kalaupun ada,
belum terekspos).
Sastra Aceh Pada Zaman Kemerdekaan
Dua abad terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan
hikayat terus lahir di mana-mana. Bentuk sastra modern yang berasal dari barat
juga mulai menampakkan pengaruhnya dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan
yang melahirkan karya tulisan. Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak
ada satu pun karya yang mendunia yang lahir pada saat ini.
Ada beberapa sastrawan yang cukup dikenal di nusantara
(Indonesia dan dunia melayu). Salah satu yang paling menonjol dan banyak
berkarya dan berperan dalam membangkitkan sastra dan pendidikan di Aceh adalah
A Hasjmy. Berikut kutipan puisi tersebut:
Pagiku hilang tinggal melayang
Hari mudaku sudah pergi
Kini petang tinggal membayang
Batang usiaku sudah tinggi
….
Puisi “Menyesal” karyanya masih dihafal dengan baik
oleh anak-anak sekolah sampai ke pelosok Aceh. Beliau tidak hanya berkarya,
namun juga sangat aktif dalam mengumpulkan karya-karya sastra dan budaya yang
ada di Aceh. Beliau menulis buku “Aceh
dalam sejarah” dan mendirikan museum A. Hasjmy. Apa yang dikumpulkannya sangat
membantu bahan kajian sastra dan budaya yang dilakukan oleh para peneliti.
Para sastrawan yang menonjol pada zaman ini antara
lain TA Talsya, A Rivai Nasution, Agam Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan PMTOH, Mak
Lapee dan lain-lain. Dua nama yang terakhir Tgk. Adnan PMTOH dan Mak Lapee
adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan PMTOH, sang troubadour,
menggabungkan kemampuannya berhikayat, monolog, musik dan teater. Ketika ia
bertutur, orang sanggup duduk sampai pagi mendengarkan kisahnya. Cerita yang
paling sering disajikannya adalah Hikayat Malem Dagang.
Angkatan saat ini cukup banyak. Karya yang dihasilkan
tidak hanya sebatas hikayat dan syair, tetapi juga sudah mulai lahir novel,
puisi modern, dan essai. Hanya saja pada masa ini, publikasi sangat lemah,
sehingga karya-karya yang ada, walaupun banyak yang bagus, namun tidak dikenal
luas.
Angkatan setelah ini yang banyak berkarya dan dikenal,
antara lain: Hasyim KS, Ibrahim Kadir, Nurdin AR, LK Ara, Maskirbi, Tjoet
Sofyan, Syamsul Kahar, Barlian AW, Rosni Idham dan lain-lain. Karya-karya
mereka juga sudah mulai dikenal di luar Aceh.
Sastra Aceh Masa Konflik
Angkatan setelah ini atau angkatan 80-an, Helmi hass,
Doel CP Allisah, Fikar W Eda, Wiratmadinata, Nurdin F Joes, Sulaiman Tripa, Mustafa
Ismail, Arafat Nur, Harun Al Rasyid, Saiful Bahri, Musmarwan Abdullah, M Nasir
AG, AA Manggeng, Agus Nur Amal,. Pada era ini, sastrawan perempuan mulai
bermunculan. Sebut saja D Kemalawati, Nani HS, Wina SW1, Faridha, Faridah,
Rianda dan Virsevenny.
Sebelum konflik memuncak, potret tanah kelahiran dan
nafas alam banyak terekam dalam karya-karya sastra yang ada. Ketika konflik
memuncak, rekaman tangis, amarah, pemberontakan dan semangat mengalir dalam
syair-syair ataupun karya-karya yang ada. Hikayat dan pengaruh hikayat masih
terasa, namun karya-karya sastra modern lebih mendominasi.
Cerita-cerita hikayat juga banyak yang
di-Indonesiakan. Hanya sangat sulit menerbitkan karya-karya yang ada. Sehingga
karya-karya tersebut beredar dalam bentuk kopian ataupun beredar di kalangan
terdekat saja. Ada beberapa lembaga kesenian, seperti Dewan Kesenian Aceh,
Lembaga Adat dan Kebudayaan (LAKA) dan Lembaga Penulis Aceh (LAPENA) sempat
mencetak dan menerbitkan beberapa karya.
Aktivitas sastra juga sangat variatif dan mulai sering
diadaakan. Misalnya Pengadilan Puisi, Lomba Musikalisasi Puisi, Lomba Penulisan
Puisi, Bedah Buku, dan seminar. Hanya sayang, tidak ada karya legendaris pada
masa ini.
Sastra Aceh pascatsunami dan sekarang Bencana tsunami
pada 26 Desember 2004 tidak hanya menghancurkan Aceh, namun juga membawa pergi
sejumlah besar asset budaya dan seniman di Aceh. Maskirbi, M Nurgani Asyik,
Virsevenny, Siti Aisyah dan beberapa nama lain ikut hilang bersama ombak.
Begitu juga Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh
(PDIA) yang menyimpan dokumen-dokumen sastra dan budaya, Kantor DKA dan LAKA
ikut lenyap dibawa tsunami. Aceh dan Indonesia kehilangan banyak. Namun bencana
ini juga membawa perubahan besar bagi perkembangan sastra di Aceh. Orang-orang
mulai melirik dan ingin tahu lebih banyak tentang karya-karya sastra di Aceh.
Apalagi setelah banyak dari karya-karya tersebut dipublikasikan. Penerbit lokal
pun mulai bermunculan. Kehausan para penulis Aceh untuk menerbitkan karyanya,
akhirnya terobati juga.
Penyair, budayawan dan sastrawan muda pun mulai
bermunculan. Mereka punya gaya lebih berani dan bebas serta usianya berkisar
antara 17-30 tahun. Keberadaannya juga dikenal sampai tingkat dunia. Ada
Azhari, Reza, Fauzan, Salman Yoga, Cut Januarita,. Sebenarnya mereka sudah
mulai berkarya di awal tahun 2000-an.
Mereka tidak hanya berkarya, tetapi juga menerbitkan
karya-karya sastra lokal dalam bentuk buku dan memotivasi calon-calon penulis
muda dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dan aneka lomba.
Mengapa Tidak Ada Lagi Karya Sastra Aceh Yang Legendaris
Sekarang Ini, Apakah Sedang Sakit?
Jalan untuk menuju sastra yang lebih baik mulai terbuka lebar di Aceh. Bakat-bakat muda yang potensial bermunculan. Namun, mengapa tidak ada karya-karya legendaris yang lahir saat ini? Karya-karya besar yang mampu melampaui zamannya? Apakah karya itu sudah lahir namun belum tersentuh publikasi? Bagaimana pula dengan keberadaan hikayat yang telah menjadi nafas sastra Aceh dari zaman ke zaman? Ada apa dengan sastra Aceh sekarang? Apakah sedang tidur ataukah sedang sakit?. Karya-karya hikayat masih terus lahir dan dipublikasi. Tetapi dibandingkan karya-karya sastra lain, hikayat seperti dinomorduakan. Pengenalan hikayat di sekolah-sekolah hampir tidak ada, para penulis hikayat sulit sekali mempublikasikan karyanya. Akhirnya mereka mempublikasikannya sendiri dan mengedarkannya dalam kalangan terbatas.
Namun, di hati masyarakat, hikayat tetap mendapat tempat walaupun tidak sekuat di masa lalu. Hikayat yang dituturkan secara lisan terus tumbuh di seluruh pelosok Aceh. Ada banyak hikayat baru yang dilahirkan, namun kurang mendapat perhatian dari peneliti, padahal mungkin di antaranya ada hikayat-hikayat bagus yang punya kekuatan seperti yang dituliskan Hamzah Fansuri.
Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh
sastrawan Aceh. Agar karyanya mendapat tempat di daerahnya sendiri, khususnya
di kalangan generasi penerus, para sastrawan mulai turun ke sekolah-sekolah dan
memperkenalkan karya-karyanya. Buku-buku pun mulai dijadikan bacaan di sekolah.
Untuk mendapatkan tempat yang mendunia, para sastrawan
Aceh sekarang yang jumlahnya cukup banyak, mungkin perlu bekerja lebih keras
untuk menunjukan jati diri dalam karyanya, sehingga punya sesuatu yang berbeda.
Tidak ada salahnya berkaca dari masa lalu untuk melahirkan karya agung yang
besar di masa depan.
Jika ingin sastra Aceh terus berkembang dan semakin
kuat, maka, hikayat yang sudah mendarah daging di Aceh harus lebih diperhatikan
dan dikembangkan. Karena nafas sastra Aceh ada di sana. Bukankah sastra itu
adalah identitas dan cermin budaya suatu bangsa?
Jadilah perubahan yang anda inginkan dan disaksikan oleh dunia. Terlepas
dari semua khayalan tentang masa silam, tentang Hamzah Fansuri yang agung,
simpanlah Ephoria jaya itu. Kini pikirkanlah yang sedang terjadi dan menuju ke
arah manakah sastra di Aceh. Menuju pluralisme ke Acehan ataukah menuju pada
kejumudan yang picik?
Dapat dibanggakan dengan munculnya lembaga menulis lepas seperti Sekolah
Menulis Dokarim, Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, yang melahirkan beberapa
penulis muda yang bertalenta dan berbakat. Mereka menulis berdasarkan bimbingan
yang akhirnya bisa mencari karakter tulisannya sendiri walau tidak mudah
sehingga belum ada yang menemukannya.
Hadirnya media masa yang sedemikian rubrik sastra membuat sebagian
teman-teman muda sekarang kian bersemangat, berlomba-lomba mengirim karya atau
tulisannya untuk dimuat. Dan setiap karya atau tuliusan yang dimuat adalah
kebanggaaan bagi setiap penulis. Namun belum tentu yang dimuat adalah karya
yang terbaik
Sebagian karya fiksi, seperti Opini, Puisi, Cerpen dll, yang bertebaran
di halaman media masa di Aceh belum berkualitas, bahkan sebagian belum layak
disebut karya sastra, namum apa boeh buat hanya itu yang ada di antara kita.
Maka kini perkuatkanlah mutu karya anda wahai kawan, jangan hanya menulis kisah
cinta muram yang pesimis, mengapa tak menulis yang bikin orang bersemangat.
Untuk apa berkarya jikalau hanya menumpahkan air mata.
Setiap karya tentu berpengaruh, baik kecil maupun besar, tergantung
kekuatan si penulis sendiri. “Anda tak bisa menyentuh kelopak mata bunga tanpa
menyebabkan bintang bergetar” makanya penulis harus berhati-hati melahirkan
karya atau tulisan, karena ia bertanggung jawab terhadap isi tulisannya.
Namun dibalik keprihatinan para pencinta sastra pada kesastraan di Aceh,
kalangan akademis malah mengesampingkan sastra. Sebagian akademis, bahkan di
FKIP Bahasa dan Sastra Unsyiah sendiri mereka mengklaim bahwa mereka hanya
memproduksi para guru bukan sastrawan. Nah Paradigma yang jumud dan kuno ini
membuat kesusastraan jadi hal tak penting, yang pada kenyataan dunia sastra
adalah cermin budaya sebuah bangsa. Berhubung saya mahasiswa Sejarah. Lalu
bagaimana dengan FKIP Sejarah kita kawan? Apakah jurusan kita tidak membutuhkan
media masa atau sejenisnya untuk memuatkan kepada publik bahwa masih banyak
disana Sejarah yang belum bisa terungkap dan misteri lainnya? Kita jangan hanya
bergantung pada para Sejarahwan, ingat mereka juga manusia sama seperti kita
punya kelebihan juga punya kekurangan. Di luar sana masih banyak sejarah yang
sampai sekarang belum bisa di buktikan dan layak untuk dipertanyakan. Apakah
kita hanya diam dan menerima begitu saja tanpa harus mempelajari dengan ilmu
yang ada? Mulai sekarang ayoo sama-sama kita sembuhkan sastra Aceh dengan cara
menulis karya berkualitas untuk Aceh masa kini dan masa yang akan datang. Mari
kita semua mulai saat ini banyak-banyak menulis tentang Aceh di media masa atau
Internet baik tentang karya sendiri, budaya, adat istiadat maupun tentang
Sejarah Aceh masa lau, kini dan kelak.
Sebagai bangsa yang mengagungkan Hamzah Fansuri sebagai Bapak
Kesusastraan Dunia Melayu, seharusnya disetiap Universitas di Aceh khususnya
Universitas Syiah Kuala mempunyai fakultas sastra. Dengan bahasa sederhana,
para pelaku pendidikan dan kaum intelektual dan sebagainya. Di Aceh, kita telah
lama durhaka kepada endatunya. Untuk mengatasi masalah ini sebagai pemberian
atau dosa terhadap endatu kita, yang perlu dilakukan hanya mencari solusi agar
fakultas sastra ada di setiap universitas di Aceh.
Inilah tugas para guru besar dan para master, yakni mewujudkan fakultas
sastra di setiap universitas di Aceh, sebagai penghargaan kepada endatu
sekaligus melahirkan para sastrawan yang berkualitas. Kalau selama ini
anda-anda tidur, maka kini bangunlah dari mimpi panjang yang indah itu, ini
telah kami bangunkan, dan lihatlah kenyataan bahwa kesusastraan di Aceh sedang
sakit.
Sembuhkanlah dunia kesusastraan kita, lahirkanlah karya yang bermutu dan
berguna bagi bangsa kita dan pencerahan generasi, jangan hanya mendongeng
tentang cinta yang siapa saja pernah merasakannya, tapi buktikanlah kepada
bangsa dan dunia bahwa kami dan mereka punya karya, tulisan dan cerita yang
bisa dibanggakan. “Jadilah perubahan yang anda inginkan dan disaksikan oleh
dunia.”
Gubernur, Wakil Gubernur, DPRA, MPD, KADISDIK, Para Rektor dan Dekan dan
sebagainya yang mempunyai kekuasaan di Aceh, harus bertanggungjawab penuh untuk
mengadakan fakultas sastra di Aceh. Kalau tidak, jangan sebut-sebut Aceh pernah
gemilang pada masanya, jangan sebut-sebut Hikayat Prang Sabil sebagai puisi
panjang yang berkualitas dunia. Kalau tuan-tuan tidak mau melakukannya, maka
berikan kewenangan itu pada kami, dan lihatlah kami bisa melakukannya lebih cepat
dari yang tuan-tuan bayangkan.
Lihatlah, Taman Budaya dan Dewan Kesenian yang telah ada itu dijadikan
barang panjangan. Taman Budaya hanya jadi tempat seremoni yang sering sepi.
Bagaimana kalau Tamana Budaya di Banda Aceh, kita jadikan pasar seni tradisional
saja agar ia ramai dan lebih menarik para pengunjung walaupun di malam hari
listriknya mati. Tapi kalau kita hidupkan Taman Budaya pasti ada yang ingin
membantu kita. Mari menghidupakan Taman yang telah kita bangun dan rehap dengan
uang jenazah.
Maka lahirkanlah karya dan tulisan yang bermutu dan berguna bagi bangsa
kita. Kepada tuan-tuan yang berwenang, adakanlah fakultas sastra di setiap
universitas di Aceh agar kembali ruh kajayaan sastra di ujung Sumatera ini
seperti endatu kita Hamzah Fansuri telah melakukannya. Jadi cucu yang berguna
bagi bangsa dan negara. Amien Ya Allah. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat begi
pembaca dan tentunya bagi penulis sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar