Indonesia yang
menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah di proklamirkan
oleh Soekarno dan Hatta, yang telah membuat bangsa ini begitu gemuruh untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tentu saja berita ini langsung disambut
dengan segenap hati serta suka cita oleh masyarakat Indonesia terutama bagi
para pejuang. Namun dipihak lain, berita tentang kemerdekaan ini nyaris membuat
Belanda dengan tekat bulat ingin merebut dan menguasai kembali seluruh
Nusantara ini yang pernah mereka jajah.
Kabar kemerdekaan yang
diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, ternyata terlambat sampai di Aceh.
Berita merdeka baru diterima pada 14-15 Oktober 1945. Mendengar kemerdekaan
yang sudah mutlak, semangat perjuangan Tengku Daud
Beureueh kian meledak. “Aceh juga harus merdeka” pekiknya membangkitkan
semangat Rakyat Aceh untuk mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia
serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar Rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun
seperti kita ketahui “air susu dibalas dengan air tuba.”
Pada zamannya, bersama dengan
seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah
para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama
organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan
penjajah Belanda. Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para
ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama
di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA
akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan
Rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah.
Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA
menjadi gerakan bawah tanah.
Tengku Muhammad Daud Beureueh?
Apa yang terbayang dan terekam dalam benak kita bila mendengar nama pelopor
DI/TII Aceh tersebut? Daud Beureueh tidak lebih digambarkan sebagai
“Pemberontak dan Teroris.” Mengapa demikian? Inilah fakta sebuah sejarah yang
telah dibelokan oleh pendahulu kita, sehingga generasi bangsa ini dengan mudah
mengatakan bahwa tokoh sekaligus ulama yang berasal dari Aceh itu adalah
sekelompok pemberontak pada zaman Presiden Soekarno.
Bangsa ini telah menganggap Daud
Beureueh sebagai “pemberontak”, tentu saja seorang pemberontak tidak akan
mendapatkan gelar pahlawan nasional Indonesia. Pemberontak tidak akan mendapatkan
sebuah tempat istimewa di dalam pembukuan sejarah. Pemberontak juga tidak akan
diperhitungkan jasa dan perjungannya. Pemberontak tidak akan dikenang di negeri
ini walaupun si pemberontak telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Dan
pemberontak akan selalu mendapatkan celaan maupun anggapan-anggapan miring,
baik itu di dalam buku-buku sejarah maupun sekilas tentang pemberontakan.
Apakah ini bisa diterima dan tidak perlu di luruskan?
Pandangan
kebanyakan orang bahwa Teungku Daud Beureueh dan pengikutnya sebagai
“pemberontak” tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan
a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa Rakyat Aceh dan
Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah
setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku
mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi setiap gempuran para musuhnya.
Mengungkapkan sejarah perjuangan
Darul Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan mengungkapkan kebenaran. Sebab
perjalanan sejarah umat Islam Indonesia telah banyak dimanipulasi, bahkan
berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim orde lama dan kemudian orde baru,
mengalami sukses besar dalam membohongi serta menyesatkan kaum muslimin
khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya kurang mengerti dalam memahami sejarah
masa lalu negeri ini. Entalah?????
Selama ini kita telah tertipu
membaca buku-buku sejarah serta berbagai publikasi sejarah perjuangan umat
Islam di Indonesia. Sukses besar yang diperoleh dua rezim penguasa di Indonesia
dalam mengaburkan sejarah Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di
kalangan umat Islam. Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki
semangat untuk memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi perdebatan di
ruang diskusi maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba
memasuki pembicaraan menyangkut tentang perlunya mendirikan Negara Islam, kita
akan menyaksikan segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam seribu
bahasa. Mengapa, tanyakan ini???
Di masa akhir-akhir ini dan yang
telah berlalu, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang menampakan
ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua Umum PBNU, K.H.
Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan rnengatakan: “Musuh
utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia
berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya syari’at Islam”. (Republika, 22
September 1998, hal. 2 kolom 5). Selanjutnya ia katakan: “Kita akan menerapkan
sekularisme, tanpa mengatakan hal itu sekularisme.”
Sejak berdirinya Republik Indonesia,
rakyat negeri umumnya telah ditipu oleh penguasa hingga saat sekarang. Umat
Islam Indonesia yang menduduki jumlah mayoritas telah disesatkan pemahamannya
mengenai sejarah perjuangan Islam itu sendiri. Sudah seharusnya, umat Islam
menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha
membangun supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil
diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya
hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang berkuasa telah
memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga umat Islam sendiri
tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.
Sebagai contoh misalnya Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan Tengku Muhammad Daud Beureueh adalah sebuah nama
yang cukup problematis dan kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga
saat ini. Bahwa mereka dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan. Bukan
saja demi membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan,
tetapi juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut terhadap seseorang
tokoh yang seharusnya dihormati. Maka dari itu perlunya bedah buku sangat
penting terhadap buku-buku yang mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan
perbuatan luhur dalam meluruskan distorsi sejarah yang selama bertahun-tahun
menjadi bagian dari khazanah sejarah bangsa.
Sebuah pernyataan yang sungguh
menyesakkan dada. “Sejarah tentang
perjuangan umat Islam Indonesia di masa kemerdekaan kita, menuliskan bahwa umat
Islam Indonesia tidak lebih sebagai para pemberontak. Ada NII Kartosuwiryo dan DI/TII Aceh, Daud Beureueh, Kahar Muzakar, Gerombolan Imron ‘Woyla’, peledakan
Borobudur, dan sebagainya. Umat Islam Indonesia dilukiskan sebagai
teroris. Tidak lebih.”
Siapa pun takkan bisa menolak fakta bahwa perjuangan umat Islam-lah
yang menjadikan Nanggroe Aceh dan bangsa ini merdeka serta mampu
mempertahankannya. Semangat jihad-lah yang membakar dan membuat Rakyat Aceh dan
negara Indonesia kuat menghadapi berbagai gempuran para musuhnya. Tetapi apakah
hal ini ditulis dengan benar dan apa adanya dalam sejarah kita? Sama sekali
tidak!”
Sepertinya kita harus berani
mengkritik diri sendiri dan membongkar topeng-topeng palsu bangsa kita dengan
melihat sejarah masa lalu kita. Dari situ kita bisa memulai untuk bercermin
diri, untuk mengetahui dengan yakin apakah kita ini bangsa yang bobrok atau
bangsa yang baik? Perjuangan dan jasa tak selamanya
berbalas budi. Perjuangan Mujahidin Indonesia menuntut syariat Islam, menuai
khianat.
Ketika
Soekarno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Muhammad
Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk
menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam di Aceh. Namun kenyataannya,
Soekarno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama kekecewaan bukanlah
pemberontak Rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh menelan
waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati Rakyat Aceh.
“Wallah,
Billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya
sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar Rakyat
Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?”
ujar Soekarno yang saat itu sedang berada di Aceh menjumpai Daud Beureueh dan
Rakyat Aceh.
Sebutan “kakak” yang diucapkan oleh
Soekarno tak lain tak bukan hanya untuk seorang yang ditujukan kepada Daud
Beureueh. Sumpah yang diucapkan oleh Soekarno tersebut tidak langsung diterima
oleh Daud Beureueh, beliau meminta sebuah perjanjian tertulis sebagai tanda dan
bukti keseriusan Soekarno terhadap Aceh.
Ketika Daud Beureueh meminta
perjanjian hitam diatas putih, Soekarno langsung mengeluarkan air mata palsunya
dan menangis terisak-isak sambil berkata “Apakah kakak tidak percaya dan masih
ragu? Buat apa saya menjadi Presiden, bila saya tidak dipercaya.” Mendengar
ucapan tersebut, Tgk. M. Daud Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu.
Hal ini menjadi bukti tentang bahwa besarnya peranan seorang ulama dalam
masyarakat Aceh. Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah
Pusat menetapkan Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan
Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26
Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47. Keputusan inilah yang pada awalnya merupakan
titik pertama Pusat untuk menipu Aceh.
Namun, tuntutan untuk hidup di bawah
syari’at Islam belum juga terwujud. Bahkan Rakyat Aceh cenderung menjadi anak
tiri oleh pemerintah Republik Indonesia ketika Sukarno membubarkan provinsi
Aceh dan meleburnya menjadi ke dalam bagian dari Sumatera Utara. Ketika
tuntutan Daud Beureueh tak tercapai dan merasa telah tertipu oleh ucapan
Soekarano atas permintaan melaksanakan syari’at Islam, hasilnya, tentu saja hal itu
menimbulkan kemarahan bagi Rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi Gubernur
Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila
tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun
negara dengan cara kita sendiri.”
Tuntutan Daud Beureueh, hanya satu
“Rakyat Aceh hidup di bawah syariat Islam.” Hal ini sejalan dengan yang
dituturkannya ketika diwawancarai oleh Boyd R. Compton, “Anda harus tahu, kami
di Aceh ini punya sebuah mimpi dan impian. Kami sangat merindukan dan
mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara
Islam. Di zaman itu pemerintahan mempunyai dua cabang, sipil dan militer.
Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan
semacam itu memenuhi kebutuhan zaman modern. Sekarang kami ingin kembali ke
sistem pemerintahan itu. Sayangnya tuntutan itu tak pernah terwujud. Janji
tinggal janji, penerapan syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang
diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara.
Merasa dikhianati, maka muncullah
gerakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DII/TII) yang sebetulnya
telah terbentuk di Jawa Barat. Namun, di Aceh gerakan serupa disebut NBA
(Negara Bagian Aceh). Akibatnya, Aceh
Diserang. Puncaknya adalah pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh
memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Negara Islam Indonesia yang
telah diproklamirkan oleh Kartosoewiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa
Barat, sedangkan di Aceh terkenal dengan sebutan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII Aceh). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan
kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Replublik Indonedia,
lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Sayangnya, pemerintah menganggap apa
yang dilakukannya adalah sebuah pemberontakan sehingga harus ditumpas habis.
Untuk meredam gejolak tersebut, Pemerintah Pusat mengirim M. Natsir ke Aceh,
dengan disepakati tuntutan Rakyat Aceh. Aceh pun diberikan otonomi
khusus. Meskipun demikian, masa tenang tersebut tak berlangsung lama,
penangkapan-penangkapan terhadap anggota DI/TII Aceh terus berlanjut karena
isu-isu rapat antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo. Pada bulan Desember
1962 Daud Beureueh turun gunung dan berdamai kepada Penguasa Daulah Pancasila
setelah dilakukan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atas prakarsa Panglima Kodam
I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin.
Daud Beureueh dan juga Aceh
mempunyai sumbangsih yang sangat besar bagi Republik Indonesia. Sumbangsihnya
tersebut, diantaranya adalah menyerukan seluruh ulama Aceh untuk mendukung
Soekarno ketika dia memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, membangaun
dua pemancar radio untuk berhubungan dengan dunia luar pada saat Yogyakarta
yang ketika tersebut menjadi ibukota Republik Indonesia dikuasai oleh Belanda,
dan juga sebagai perintis penerbangan Indonesia dengan pesawat Seulawah I dan
II yang disumbangkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Sayangnya, bukan
bintang tanda jasa yang diberikan. Bukan piagam penghargaan yang Daud Beureueh
terima. Tetapi, sebuah cap pemberontak dan pengkhianatan. Ya, Penghianatan yang
membuat Aceh terluka sampai sekarang. Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan
kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Nusantara, terutama Tanah
Jawa yang salah satunya Emas di Monas, maka sekarang sudah saatnya “Jawa”
membangun dan memperhatikan Aceh secara khusus.
Ketulusan jiwa raga para muslimin
Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh harapan menjadi negara yang
berdasarkan syari’at Islam telah dikhianati dan dipermainkan penguasa Indonesia
semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya, para mujahidin Aceh di periode
awal dapat mengawal keutuhan aqidah dan kemantapan syari'ah, namun generasi
Aceh hari ini telah gagal mempertahankan keutuhan aqidah dan kesempurnaan
syari'ahnya.
Tapi sungguh, gerakan
memperjuangkan hakikat kebenaran memang tak pernah sepi dari aral. Tapi juga
tak pernah sepi dari para pejuang yang mengharap ridha Allah. Kartosoewirjo dan
Ibnu Hajar memang telah dijatuhi hukuman mati. Kahar Muzakkar pun telah pula
diekskusi dan Daud Beureueh telah lama tutup mata. Namun perjuangan menegakkan
syariat Islam dan meretas jalan menuju
kebaikan, selalu menawarkan undangan dan peminat tak pernah sepi untuk datang.
Tidak selalu dalam bentuk yang sama. Tapi selalu punya tujuan yang satu. Menuju
ridha-Nya.
Hari ini
kami menghormatimu, besok kami bersamamu! Insya allah. Itulah barangkali makna
dari firman Allah Swt: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang
gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu
hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (qs. 2:154).
Oleh: Chaerol Riezal
pemberontakan Daud Beureueh diakhiri dengan musyawarah damai
BalasHapusSangat disayangkan ajaran agama seringkali disalahgunakan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi melalui jalan kekerasan, komentar juga dong ke blog saya www.goocap.com
BalasHapusSeluruh bemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII adalah bentuk kekecewaan mereka terhadap pemerintah karena suatu hal simak kisah kahar muzakkar disni http://transparan.id
BalasHapus