Kontroversi
soal bendera dan lambang baru Aceh terus berlanjut. Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menilai, Aceh berhak memiliki
lambang dan bendera baru tersebut sesuai Perjanjian Helsinki.
Tetapi pemerintah pusat menilai,
bendera dan lambang baru tersebut, yang diadopsi dari bendera dan lambang
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bertentangan dengan Perjanjian Helsinki. Bagaimana
sebenarnya bunyi Nota Kesepahaman Helsinki tersebut?
Kalau
melihat butir-butir Perjanjian Helsinki, Aceh memang berhak memiliki lambang,
bendera, dan himne sebagai simbol wilayah. Masalahnya, aturan tersebut tidak
merinci lambang, bendera, dan himne yang dimaksud seperti apa.
Walaupun
demikian, di ketentuan yang lain, ada larangan buat GAM untuk memakai seragam
maupun menunjukkan emblem atau simbol setelah penandatanganan perjanjian.
Artinya, keberatan pemerintah pusat juga beralasan.
Ini baru ketentuan yang
menyangkut bendera dan simbol. Kalau melihat butir kesepakatan yang lain,
kemungkinan beda tafsir akibat ketidakjelasan juga sangat mungkin terjadi.
Misalnya, ketentuan yang
menyatakan Aceh berhak menentukan suku bunga sendiri, berbeda dari Bank
Indonesia (BI). Pertanyaannya, tentu saja, siapa yang akan menentukan suku
bunga di Aceh? Apa ini artinya Aceh berhak memiliki bank sentral dan otoritas
moneternya sendiri? Bagaimana dengan ketentuan lain yang membolehkan Aceh
mencari pendanaan lewat utang dari luar negeri? Ini baru contoh kecil.
Lantas bagaimana sebenarnya
bunyi Perjanjian Helsinki? Berikut rincian nota kesepahaman yang membawa
perdamaian di Aceh tersebut.
Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Pemerintah RI dan Gerakan Aceh
Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara
terhormat bagi semua pihak, dengan solusi yang damai, menyeluruh, dan
berkelanjutan.
Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui
suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi
Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian
damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh
pascatsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.
Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling
percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan
prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.
Untuk maksud ini, Pemerintah RI
dan GAM menyepakati hal-hal berikut:
1. Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1.1. Undang-undang baru
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai
berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh
akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan
diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam
bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal
moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana
kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan
internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan
hal ihwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan
legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan
dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan
administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan
dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar
pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah
pemilihan umum yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk
pada perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk
menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun
kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat
Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe
akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.
1.2. Partisipasi Politik
1.2.1. Sesegera mungkin, tetapi
tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini,
Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai
politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami
aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam
tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian
partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi
sumbangan positif bagi maksud tersebut.
1.2.2. Dengan penandatanganan
Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon
untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada
bulan April 2006 dan selanjutnya.
1.2.3. Pemilihan lokal yang
bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan
pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota
legislatif Aceh pada tahun 2009.
1.2.4. Sampai tahun 2009
legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan
perundang-undangan apa pun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.2.5. Semua penduduk Aceh akan
diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April
2006.
1.2.6. Partisipasi penuh semua
orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional akan dijamin sesuai dengan
Konstitusi Republik Indonesia.
1.2.7. Pemantau dari luar akan
diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan
dengan bantuan teknis dari luar.
1.2.8. Akan adanya transparansi
penuh dalam dana kampanye.
1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh
dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga
berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank
Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan
dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang
resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan
internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke
Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki
kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.
1.3.4. Aceh berhak menguasai 70
persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang
ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial
sekitar Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan
pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam
wilayah Aceh.
1.3.6. Aceh akan menikmati
perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak,
tarif, ataupun hambatan lainnya.
1.3.7. Aceh akan menikmati akses
langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing melalui laut dan udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad
untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan
antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan
verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala
Pemerintah Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan
wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam
komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pascatsunami (BRR).
1.4. Peraturan
Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan
antara badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif akan diakui.
1.4.2. Legislatif aceh akan
merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan
yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh
di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
1.4.4. Pengangkatan Kepala
Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota
kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan
atas persetujuan Kepala Pemerintah Aceh, sesuai dengan standar nasional yang
berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil
yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil
di Aceh.
2. Hak Asasi Manusia
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi
Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan
Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi
Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
3. Amnesti dan
Reintegrasi ke dalam Masyarakat
3.1. Amnesti
3.1.1. Pemerintah RI, sesuai
dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang
telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari
sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan
politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat
mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman
ini.
3.1.3. Kepala Misi Monitoring
akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari
penasihat hukum Misi Monitoring.
3.1.4. Penggunaan senjata oleh
personel GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai
pelanggaran Nota Kesepahaman ini dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan
memperoleh amnesti.
3.2. Reintegrasi ke
dalam Masyarakat
3.2.1. Sebagai warga negara
Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan
dari lembaga pemasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua
hak-hak politik, ekonomi, dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara
bebas dalam proses politik, baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama
konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk
mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.
3.2.3. Pemerintah RI dan
Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat
dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.
Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan
pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti, dan masyarakat yang
terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan
dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan
mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang
hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.
3.2.5. Pemerintah RI akan
mengalokasikan tanah pertanian dan dana memadai kepada Pemerintah Aceh dengan
tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat
dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.
Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
a) Semua
mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan
atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu
bekerja.
b) Semua
tahanan politik yang telah memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah
pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah
Aceh apabila tidak mampu bekerja.
c) Semua
rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan
menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial
yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan
Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani
klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki
hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa
diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.
4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara
pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota
Kesepahaman ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi
atas semua 3.000 personel pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai
seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan
Nota Kesepahaman ini.
4.3. GAM melakukan
decommissioning semua senjata, amunisi, dan alat peledak yang dimiliki oleh
para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM
sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.
4.4. Penyerahan persenjataan GAM
akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat
tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik
semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.
4.6. Relokasi tentara dan polisi
non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan
dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap
tahap diperiksa oleh AMM dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang
tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan
polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
4.8. Tidak akan ada pergerakan
besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua
pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya
kepada Kepala Misi Monitoring.
4.9. Pemerintah RI melakukan
pengumpulan semua senjata ilegal, amunisi, dan alat peledak yang dimiliki oleh
setiap kelompok dan pihak-pihak ilegal mana pun.
4.10. Polisi organik akan
bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.
4.11. Tentara akan bertanggung
jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal,
hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
4.12. Anggota polisi organik
Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan
penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.
5. Pembentukan Misi
Monitoring Aceh
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM)
akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan
mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a) Memantau
demobilisasi GAM dan decommissioning persenjataannya.
b) Memantau
relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) Memantau
reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d) Memantau
situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) Memantau
proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) Memutuskan
kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) Menyelidiki
dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) Membentuk
dan memelihara hubungan dan kerja sama yang baik dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi
(SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota
Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa,
dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta
yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis
penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
5.4. Pemerintah RI akan
memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini,
Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang
ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.5. GAM akan memberikan semua
dukungan bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat
kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen
dan dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga, dan stabil bagi AMM dan
menyatakan kerja samanya secara penuh dengan AMM.
5.7. Tim monitoring memiliki
kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang
tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para
pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan
operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung
jawab atas keamanan semua personel AMM di Indonesia. Personel AMM tidak membawa
senjata. Bagaimanapun, Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian
bahwa patroli tidak akan didampingi pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal
ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung
jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan
menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul
senjata bergerak (mobile team) bekerja sama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan
dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan
sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala
Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada
pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang
ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan
Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk
menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
dengan Kepala Misi Monitoring.
5.13. Para pihak bersepakat atas
suatu pemberitahuan prosedur tanggung jawab kepada AMM, termasuk isu-isu
militer dan rekonstruksi.
5.14. Pemerintah RI akan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis
darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personel AMM.
5.15. Untuk mendukung
transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media
nasional dan internasional ke Aceh.
6. Penyelesaian
Perselisihan
6.1. Jika terjadi perselisihan
berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera
diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai
suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring melalui musyawarah dengan para
pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala
Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
b) Jika
Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan
dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas
bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak.
Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat
para pihak.
c) Dalam
kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu
cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan
secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik
Indonesia, pimpinan politik GAM, dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management
Initiative, serta memberi tahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa.
Setelah berkonsultasi dengan
para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil
keputusan yang mengikat para pihak. Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil
tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman
ini.
Ditandatangani dalam rangkap
tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin tanggal 15 Agustus 2005. A.n.
Pemerintah Republik Indonesia Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM)
A.n. Gerakan Aceh Merdeka Malik
Mahmud (Pimpinan) Disaksikan oleh Martti Ahtisaari Mantan Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative (Fasilitator proses
negosiasi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar