Dipilihnya tanggal 20
Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan
terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh
Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat
Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun
1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan
mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan
nasional.
Mengapa Boedhi Oetomo
yang terang-terangan antek terhadap penjajah Belanda, mendukung penjajahan
Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia
merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini
jelas kesalahan yang teramat nyata.
Anehnya, hal
ini sama sekali tidak dikritisi secara serius oleh tokoh-tokoh Islam kita
maupun para pencinta sejarah. Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh
Islam dan para Ustadz selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari
Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah
melakukan sesuatu tanpa memahami esensi di balik hal yang dilakukannya.
Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu
sebelum mengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara
sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.
Bahkan
Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan
orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama
dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan
profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka)
terhadap kejahiliyahan.
Agar kita
tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, jatuh pada kesalahan
yang sama, sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali
pun, ada baiknya kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu?
Pendukung Penjajahan Belanda
Akhir
Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja
kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus
AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun
1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan
Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH.
Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara
dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum
tanggal 20. 2. 2003.
KH. Firdaus
AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan
dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan
beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadinya. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers
bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD
1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang
Boedhi Oetomo.
“Boedhi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun
unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji
Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia.
Dan Boedhi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan
bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
Boedhi Oetomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.
Boedhi Oetomo didirikan di Jakarta
tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan
kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai
negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedhi Oetomo pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo,
Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911.
Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam VIII
Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk
semangnya.
Di
dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar
organisasi, Boedhi Oetomo
menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
“Tidak
pernah sekali pun rapat Boedhi Oetomo
membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini
hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di
bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan
menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya
mereka, ” papar KH. Firdaus AN.
Di
dalam Pasal 2 Anggaran Dasar Boedhi
Oetomo tertulis “Tujuan
organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan
Madura secara harmonis.” Inilah tujuan Boedhi Oetomo, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan
kebangsaan.
Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedhi Oetomo, di dalam satu pidatonya
tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging
berkata: “Agama Islam merupakan batu
karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar
perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedhi Oetomo (BO) di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.
Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota Boedhi Oetomo (BO) yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar Boedhi Oetomo sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari Boedhi Oetomo.
Bukan
itu saja, di belakang Boedhi Oetomo
(BO) pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedhi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati
Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota
Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.
Sekretaris
BO (1916), Boediardjo, juga seorang
Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal
ini dikemukakan dalam buku “Tarekat
Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th.
Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi
anggota Mason Indonesia.
Dalam
tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia,
Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan perbandinganya
dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai bahwa Hari
Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada tanggal 16
Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908.
(Bersambung/Chaerol
Riezal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar