Oleh:
Wan Dian Armando
Amul Huzni
Sejak
berabad-abad yang lalu, hubungan antara Aceh yang terletak di utara pulau
Sumatera, Indonesia dengan semenanjung Tanah Melayu(Malaysia Barat) sudah terjalin
sangat erat. Orang Aceh lebih senang
menyebut Malaysia dengan sebutan Malaya. Sejak dahulu, jika ada yang mengatakan baru pulang dari
Malaya adalah sesuatu yang menakjubkan dan dianggap sangat mulia. Namun
demikian, sejarah mencatat bahwa kedua wilayah ini menjalin hubungan yang lebih
erat, berkesan dan kadangkala tragis, disekitar abad 16-17 Masehi, yakni ketika
Aceh terkenal sebagai kerajaan islam yang besar dan berpengaruh di Nusantara
dan imperialisme Barat sedang giat
mengancam kerajaan-kerajaan islam di seluruh kawasan tersebut.
Oleh karena itu, untuk menilai hubungan antara Kerajaan Aceh dan Semenanjung Tanah Melayu, sangat relevan jika kita mengkaji tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi di masa itu akibat dari interaksi politik, ekonomi maupun agama di sekitar selat Melaka, tanpa , melupakan peranan para penjajah Barat dalam mewarnai suasana kala itu. Ujung dari semua itu, kita juga perlu mengkaji tentang motif yang tersirat dibalik hubungan antara kedua wilayah tersebut, bentuk-bentuk hubungan yang terjadi dan kesan-kesan yang timbul, baik positif maupun negatif.
Berdirinya
Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan
Aceh yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kerajaan islam yang didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah. Dengan usahanya yang gigih, Sultan telah
mempersatukan Daya, sebuah kerajaan di kawasan Aceh Barat, pada tahun 1520 M.
Setelah berhasil mempersatukan Daya, Sultan melanjutkan usahanya. Usaha
tersebut berhasil dengan ditaklukkannya Pidie pada tahun 1521 M dan Pasai serta
Aru pada 1524 M. Setelah kerajaan-kerajaan tersebut berhasil ditaklukkan, berdirilah sebuah kerajaan yang merdeka dan
berdaulat bernama Aceh Darussalam.
Dalam perjalanannya, kerajaan Aceh Darussalam mengalami
banyak peristiwa. Dari mulai peristiwa menyenangkan, seperti masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, sampai peristiwa-peristiwa tragis yang dialami
sultan-sultan Aceh disekitaran tahun1579-1589. Dalam satu dekade ini, terjadi
krisis politik yang serius hingga menyebabkan terbunuhnya 5 sultan yang
berkuasa saat itu.(Amirul Hadi, 2010)
Sultan
Ali Mughayat Syah tidak lama memerintah kerajaan tersebut. Namun, beliau
berhasil membebaskan seluruh bumi Aceh dari cengkraman penjajahan Portugis.
Selain itu, untuk melawan
misionaris Kristen Portugis, Sultan meniupkan semangat jihad yang membara
disanubari rakyat Aceh dengan memperkokoh pendidikan islam diseluruh wilayah
pemerintahannya. Usaha sultan dalam
memperluas Kerajaan Aceh dan memerangi penjajah atas nama islam,
diteruskan oleh beberapa sultan
berikutnya.(Muliadi Nurdin, wikipedia 2012).
Kerajaan
Aceh Darussalam dan Semenanjung Melayu (1537-1604 M)
Dalam
proses memperluas wilayah dan memerangi Portugis yang berpangkalan di Malaka
sejak 1511 M, mau tidak mau, Kerajaan Aceh telah menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu. Dialah Sultan Alauddin Riayat
Syah(1537-1568), yang kemudian digelar Al-Qahar(gagah perkasa) karena
ketangkasan dan kegigihannya dalam menentang penjajahan Portugis. Beliau
dilantik menjadi Sultan setelah menggulingkan saudaranya Sultan Salahuddin bin
Sultan Ali Mughayat Syah, karena mengabaikan tugas-tugas pemerintahan dan
terlalu lemah dalam menghadapi Portugis. Setelah berhasil mengalahkan Portugis,
Sultan berniat menguasai Malaka, namun tidak berhasil. Setelah beliau wafat,
daerah-daerah yang sudah dipersatukan mulai goyah, karena hasutan-hasutan
Portugis. Sebagaimana kita ketahui, Portugis tidak pernah menyia-nyiakan
kesempatan untuk mengadu domba penguasa-penguasa setempat. Kita mengenalnya
dengan politik ‘devide et impera’.
Untuk mengetahui alasan mengapa Portugis melakukan politik ini, alangkah
baiknya terlebih dahulu kita membahas motif kedatangan mereka ke belahan bumi
timur.
Sejak
awal, ketika mereka meninggalkan Liberia dan Tanjung Pengharapan(Cope Of Good Hope) di selatan Afrika,
semangat Perang Salib
telah berkobar di jiwa mereka. Keberhasilan mereka dalam membebaskan tanah air
dari penguasa islam, menimbulkan rasa bangga sekaligus ingin menaklukkan serta
mengkristenkan seluruh penduduk bumi Timur. Dan untuk
memenuhi semua tujuan itu, mereka menghalalkan berbagai cara, baik itu
merampok, menipu maupun mengadu domba antar penguasa setempat demi merampas
semua kekayaan di kawasan timur. Sehubungan dengan hal itu pula, Portugis
menghasut Aru agar memberontak terhadap pemerintah Aceh. Tetapi, Sultan
Al-Qahar bertindak tegas. Dengan alasan ingin mengislamkan Sumatera Timur dan
daerah Batak, Sultan menyerang Aru pada tahun 1579 M. Dalam penyerangan itu,
pasukan sultan berhasil menaklukkan Aru. Namun, Ratu Aru sempat melarikan diri
dan memohon perlindungan kepada Sultan Johor, setelah gagal memperoleh bantuan
dari Portugis di Malaka. Sejak saat itulah, persaingan antara Kerajaan Aceh dan
Johor memanas.
Perlu
disebutkan disini bahwa Johor merupakan lanjutan dari Kesultanan Malaka, yang
pernah berjaya disekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Pada masa itu,
menguasai Aru merupakan hal yang sangat penting bagi kedua kerajaan ini. Bagi
Aceh, Aru merupakan kawasan yang penting untuk memperluas wilayahnya ke Siak,
tanah Batak dan seterusnya untuk menyerang Malaka, karena letaknya berhadapan
langsung dengan Bandar perdagangan itu. Lagi pula, Aru harus ditaklukkan,
karena ia telah berkali-kali dijadikan
pangkalan oleh Johor, Portugis maupun Batak untuk menyerang Aceh.
Sedangkan bagi Johor, Aru merupakan ujung tombak dalam usahanya menguasai
Sumatera Timur yang kaya akan lada dan memperluas kekuasaannya sebagaimana yang
pernah dicapai oleh Malaka.
Pada
tahun 1540 M, berkat hasutan Ratu Aru, Johor dengan sekutunya Bintan, Siak,
Indragiri, Perak dan Pahang memulai serangan ke Kerajaan Aceh. Mereka bersekutu
karena merasa tidak sanggup jika harus menghadapi armada Aceh yang terkenal
dengan kehebatannya. Dalam satu pertempuran yang sengit di laut, Aceh berhasil
dikalahkan oleh pihak sekutu itu. Walaupun saat itu Aceh berhasil dikalahkan,
namun 7 tahun kemudian, Aceh berhasil membangun kembali armada yang kuat untuk
kembali menyerang Malaka. Sultan Al-Qahar hampir berhasil. Anehnya, Perak dan Pahang
yang sama-sama membenci Portugis karena telah merampas Malaka, tanah tumpah
darah nenek moyang mereka, justru membantu Portugis untuk mengalahkan angkatan
perang Aceh. Namun mereka terlambat, karena satu hari sebelumnya Portugis telah
berhasil mengusir armada Aceh dari perairan Malaka. Peristiwa ini sangat
penting, karena menggambarkan betapa takutnya kerajaan-kerajaan ini kepada
Aceh. Mereka rela membantu bangsa asing yang kejam dan berbeda keyakinan demi
mengalahkan Aceh yang masih seagama dan sebangsa. Hal ini juga membuktikan
bahwa penguasa-penguasa islam di Nusantara ketika itu lebih mementingkan
persoalan politik dan ekonomi masing-masing daripada kepentingan agama.(Muliadi Kurdi, 2003).
Bagi
sultan Al-Qahar, kekalahannya di Malaka tidak akan menyurutkan tekadnya untuk
terus merebut bandar itu dari Portugis. Sebelum beliau wafat, beliau telah
menyiapkan pasukan yang besar dan terstruktur. Ia membentuk suatu liga
bangsa-bangsa islam untuk mengusir Portugis dari Nusantara. Demi menambah
kekuatan liga itu, beliau mempererat hubungan diplomasi dengan negara-negara
islam, seperti Turki Utsmaniyah, Mughal di India, negeri-negeri Arab dan
beberapa kerajaan islam di Jawa. Menurut Bustanus
Shalatin, Sultan Turki Utsmaniyah
yang bernama Sultan Rum, mengirimkan beberapa orang pakar untuk merakit senjata
dan meriam ke Aceh. Dengan bantuan itu, Sultan mampu membentuk suatu angkatan
bersenjata yang besar, yang belum pernah dicapai oleh sultan-sultan sebelumnya.
Tindakan
pertama yang dilakukan Sultan Al-Qahar adalah menyerang Johor, sekutu Portugis,
agar tidak dapat membantu Malaka ketika
bandar itu diserang nanti. Ia memulainya dengan mengusir semua pembesar Johor
dari Aru. Kemudian ia menyerang Johor Lama, ibukota Johor saat itu. Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1564. Sultan Alauddin II beserta keluarga dan beberapa
pembesar Johor dibawa ke Aceh sebagai tawanan. Namun, Sultan Alauddin II
akhirnya dibunuh karena tidak mau tunduk kepada pemerintah Aceh dan membantu
memerangi Portugis. Jika kita amati,
Kerajaan Aceh lebih sering menggunakan kekerasan dalam menghadapi lawannya,
Namun demikian, Sultan Al-Qahar juga tidak kalah dalam hal diplomasi. Untuk
mengambil hati lawannya agar mau tunduk kepada Kerajaan Aceh dan bekerjasama
melawan Portugis, Sultan menikahkan putrinya dengan Raden Bahar, yaitu putera
Alm. Sultan Alauddin II. Setelah itu, Raden Bahar dikembalikannya ke Johor
untuk menjadi raja disana. Perkawinan yang didasarkan atas kepentingan politik
seperti ini bukanlah hal baru. Ini biasa dilakukan masyarakat zaman dahulu,
untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi.
Tetapi, perdamaian antara Aceh dan Johor tidak bertahan
lama karena Raden Bahar yang dinobatkan sebagai Sultan Muzaffar Syah menganggap
Aceh sebagai musuh yang merusak negerinya. Raden Bahar menanti saat yang tepat
untuk membalas dendam. Oleh karena itu, ketika Sultan Al-Qahar menyerang Malaka
pada tahun 1568 M, Raden Bahar berangkat ke Malaka untuk membantu Portugis
mematahkan serangan armada Aceh. Tapi, beliau terlambat. Angkatan laut Aceh
telah meninggalkan Malaka sehari sebelumnya. Keterlibatan Johor dalam konflik
antara Aceh dan Malaka, menyebabkan Sultan Al-Qahar marah besar. Karena itu,
Sultan mengirimkan armada Aceh untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun
1570 M.
Dari beberapa sumber yang kami amati, kesemuanya
menceritakan hal yang sama. Bagaimana Kerajaan Aceh dan kerajaan-kerajaan
Melayu Malaysia saling serang demi memperluas pengaruhnya kala itu. Tidak ada
yang secara jelas melukiskan hubungan dalam bidang ekonomi maupun sosial.
Karena keterbatasan kemampuan kami dalam menafsirkan maksud penulis
sumber-sumber yang kami kutip, maka kami hanya sempat menuliskan sampai tahun
1570. Untuk penjelasan lebih lanjut, kami berharap kita semua bisa bekerjasama
untuk lebih menggali lagi sumber-sumber yang ada. Namun ada satu hal yang
menarik dari hubungan ini, yaitu cerita tentang Putroe Phang.
Putri Pahang
dari Semenanjung Malaka Istri Sultan Iskandar Muda
Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, hubungan antara
Kerajaan Aceh dan Kerajaan di Semenanjung Malaya bertambah baik dan erat, karena
Kerajaan Aceh mengangkat Sultan Husein bin Sultan Ahmad Perak dengan gelar
Sultan Iskandar Tsani Alaiddin Mughayat Syah sebagai pengganti Sultan Iskandar
Muda. Beliau memerintah selama 5 tahun dari tahun 1636-1641 M. (M. Yunus Jamil, 2005). Hubungan antara Aceh dan Malaya terpelihara dengan baik
seiring berjalannya waktu. Di antaranya yang sangat menarik untuk
diperbincangkan adalah sumbangsih dan darmabakti dari budiwati Semenanjung
Malaya, yaitu Srikandi Istana Kraton Darud Dunia yang bernama asli Puteri
Djamilah. Beliau adalah permaisuri Sultan Iskandar Muda yang lebih dikenal
dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Puteri Pahang atau Putroe Phang. Atas
inisiatif Putroe Phang lah lahir suatu peraturan yang diberi nama Qanun Putroe
Phang. Qanun/peraturan ini berisi tata hidup dalam pergaulan dan kesejahteraan
kaum wanita. Qanun ini juga dilampirkan dalam Undang-undang Kerajaan
Aceh(Qanunul Asyi Alussunnah Wal Jama’ah) dan tetap diamalkan dalam kehidupan
masyarakat Aceh hingga saat ini. Keadaan tersebut diabadikan dalam pepatah
rakyat Aceh sebagai berikut:
Adat bak poteu
muereuhoom
Hukoom bak
syiah ulama
Qanun bak
putroe phang
Reusam bak
laksamana
Artinya:
Adat pada
sultan
Hukum pada
Syiah Kuala
Qanun pada
Putroe Phang
Reusam pada
Laksamana
Kesimpulan
Hubungan antara Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan
Melayu Malaysia telah terjalin sejak berabad-abad lalu. Hubungan itu lebih
kepada hasrat memperluas daerah kekuasaan. Terjadinya hubungan itu tidak
terlepas dari peran Portugis yang berusaha menguasai negeri-negeri islam di
kawasan timur ketika itu. Hubungan tersebut terus terjadi hingga hari ini.
Orang Aceh dan Orang Melayu Malaysia memiliki hubungan batin yang kuat. Sejak
dulu, orang Aceh sangat bangga jika baru kembali dari Malaya.
Sumber:
Djamil, M. Yunus. (2005). Gerak Kebangkitan Aceh.ed.Anas.
Jaya Mukti.
Hadi, Amirul. (2010). Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi.
Banda Aceh: Yayasan Obor Indonesia.
Kurdi, Muliadi. (2003). Aceh di Mata
Sejarawan:Rekonstruksi Sejarah Sosial dan Budaya. Banda Aceh.
http.www.wikipediaindonesia.co.id
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Program Studi Sejarah Universitas Syiah Kuala Angkatan 2012
Banda Aceh – Darussalam.
mohon izin bg khairol rizal, bahannya saya ambel untuk pembuatan makalah sejarah aceh membukan hubungan dengan luar.
BalasHapus