4 Februari 2014

Hamzah Fansuri Bapak Bahasa Dan Kesusastraan Aceh Malaya



Oleh :

Oga Umar Dhani

Meri Andriani

Pasti semua orang akan mengenal dengan Syehk Hamzah Fansuri dan bagi kalangan orang yang mengkaji sejarah sastra dan islam di kawasan Asia Tenggara pasti tidak dapat menyampingkan tokoh ini.Ia adalah sosok sufi dan penyair Melayu yang sangat berpengaruh pada masanya dan bahkan sampai beberapa abad setelahnya.Ia juga merupakan sosok ulama dan birokrat yang kritis terhadap penguasa.Namun sejarah kehidupan tokoh ini masih diliputi oleh misteri.namun para peneliti terus melakukan penelitian mengenai Hamzah Fansuri dikarenakan ada asumsi yang kuat bahwa tokoh sufi dan penyair ini telah memiliki peran dan pengaruh yang besar di kawasan Asia tenggara,Khususnya di Aceh.Sejarah Aceh bila dipelajari sangat unik dan menarik karena selain Aceh dikenal dalam sejarah sebagai negeri yang suka berperang namun juga Aceh merupakan Negeri yang menghasilkan  seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka bahkan pemikiran dan syair-syairnya dikenal di berbagai negeri beliau adalah Syekh Hamzah Fansuri yang masa hidupnya yaitu pada masa Aceh dibawah kesultanan Iskandar Muda.

Riwayat Hidup Syekh Hamzah Fansuri

Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara abad ke-16 sampai awal ke-17.Tahun lahir dan wafat Syekh tak diketahui dengan pasti.Riwayat hidup Syekhpun sedikit sekali diketahui.Sekalipun demikian, dipercaya bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17.Kejian terbaru dari Bargansky menginformasikan bahwa Syekh hidup hingga akhir masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniry yang keduakalinya di Aceh pada tahun 1637.Sebelumnya, Syed Muhammad Naguib al-Attas berpendapat bahwa Syekh hidup sampai masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.Barginsky mengutip laporan laksamana Perancis Bealeu yang telah dua kali mengunjungi Aceh.Kungjungan kedua dilakukan pada tahun 1620 semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.Dalam laporannya, Bealeu antara lain mengatakan; ketika melewati istana dia melihat Sultan Aceh murka kepada seorang tokoh kerohanian yang berwajah kenabian dengan menutup pintu keras-keras. Seandainya tokoh ini seorang pejabat istana seperti Syamsuddin Pasai, sudah tentu tak akan dimurkai oleh Sultan. Selain itu, dia tentu tak akan berani menegur Sultan yang sedang menyiapkan upacara meditasi menyambut datangnya bulan purnama. Bargansky memastikan bahwa tokoh kerohanian itu adalah Syekh Hamzah Fansuri, sedang pejabat keagamaan yang tampak bersama Sultan adalah Syekh Syamsuddin Pasai yang ketika itu menjabat perdana menteri.Keberanian tokoh kerohanian itu untuk menegur Sultan sejalan dengan keberanian Syekh Hamzah Fansuri menyampaikan kritik yang ditujukan kepada Sultan, khususnya sehubungan dengan penyimpangan praktek keagamaan dan kerohanian yang dilakukan para pembesar istana Aceh termasuk Sultan.


Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham.Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga.Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di Fansur.Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang berbunyi:

Hamzah nin asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi

Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”.Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.


Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab.Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab.Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya.Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel.Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud).Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini,


Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis.Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.


Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dengan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa. Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:

“Asalnya manikan tiada kan layu

Dengan ilmu dunia dimanakan payu

Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa.Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis.Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang sejati.Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.


Hamzah Fansuri telah berhasil mengukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan keislaman di dunia Islam.Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya.Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad.Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansuri mengutuk fenomena ini sebagai tercermin sebagai berikut:

“Aho segala kamu anak ‘alim

Jangan bersbubhat dengan yang zalim

Karena Rasul Allah sempurna hakim

Melarang kita sekalian khadim

Kepedulian Hamzah terhadap kelas sosial dapat dipahami sebagai akibat dari sebuah kenyataan dimana perbudakan merupakan hal yang lazim dikalangan masyarakat Islam saat itu.Di Aceh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bealeu, “penguasa menggunakan mereka untuk memotong kayu, menggali batu, membuat senjata mortir dan bengunan”. Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa.Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani dimasanya.Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktek yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.

Kepenyairan Syekh Hamzah Fansuri

Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru

Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor.Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra.Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru.Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.


Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian.Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara.Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetik.

Hamzah Fansuri Sebagai Bapak Bahasa Melayu

Dalam hal ini Hamzah Fansuri,masih menurut Al-Attas punya jasa besar dalam memajukan bahasa melayu.Pengaruhnya luar biasa dikalangan cendikiawan Melayu.Ia banyak menambah pembendaharaan kata-kata Melayu sekian banyaknya karena pengatahuannya yang luas dalam bahasa Arab dan Persia.Dengan sendirinya ia juga membawa pembaharuan di bidanglogika dan ilmu mantiq. Dalam hal ini tidak mengejutkan bila Naguib Al-Attas dalam bukunya “The Mysiccism Of Hamzah Fansuri” mengatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah pujangga Melayu terbesar dalam abad ke 17.Bahkan menurutnya Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu.Dan juga merupakan penyair sufi yang tidak ada taranya pada masa itu.

Kesimpulan

Hamzah Fansuri adalah ulama sufi, sastrawan dan cendekiawan yang hidup pada pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 di Fansur, meninggal dan dikuburkan di Desa Oboh Kecamatan Rundeng Kabupaten Aceh Singkil.Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas dari proses alur sejarah secara langsung maupun tidak langsung terikat dengan perjalanan agama Islam di Nusantara. Aliran tasawuf berdasarkan faham wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan dipaparkan dengan lirik sastra Melayu merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di Nusantara.Membicarakan Hamzah Fansuri sebagai tokoh fenomenal, baik sebagai penyair, ulama dan sekaligus intelektual maka tidak akan habis-habis untuk mengurai segi-segi kehidupan maupun karya-karyanya. Sebagai penyair Melayu klasik namanya tetap abadi. Ia adalah seorang penyair besar, sekaligus seorang ulama yang mengemukakan ide-idenya melalui puisi maupun prosa. Pikiran-pikiranya tentang masalah keagamaan terutama tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam faham keagamaan pikiran-pikiran Hamzah Fansuri dimasukkan dalam kategori wujudiyah.

Karya tulis Hamzah Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki Usmani pada waktu itu. Karya-karya Hamzah Fansuri tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitab karya Hamzah Fansuri antara lain ke Melaka, Kedah, Sumatra Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, dan Ternate.

Sumber:

Hadi, Amirul. (2010). Aceh Sejarah,Budaya,dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Abdullah, M Adli . (2011). Membedah Sejarah Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing.


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Sejarah Universitas Syiah Kuala Angkatan 2012 Banda Aceh – Darussalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar