Oga Umar Dhani
Meri
Andriani
Pasti
semua orang akan mengenal dengan Syehk Hamzah Fansuri dan bagi kalangan orang
yang mengkaji sejarah sastra dan islam di kawasan Asia Tenggara pasti tidak
dapat menyampingkan tokoh ini.Ia adalah sosok sufi dan penyair Melayu yang
sangat berpengaruh pada masanya dan bahkan sampai beberapa abad setelahnya.Ia
juga merupakan sosok ulama dan birokrat yang kritis terhadap penguasa.Namun
sejarah kehidupan tokoh ini masih diliputi oleh misteri.namun para peneliti
terus melakukan penelitian mengenai Hamzah Fansuri dikarenakan ada asumsi yang
kuat bahwa tokoh sufi dan penyair ini telah memiliki peran dan pengaruh yang
besar di kawasan Asia tenggara,Khususnya di Aceh.Sejarah Aceh bila dipelajari
sangat unik dan menarik karena selain Aceh dikenal dalam sejarah sebagai negeri
yang suka berperang namun juga Aceh merupakan Negeri yang menghasilkan seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan
dan budayawan terkemuka bahkan pemikiran dan syair-syairnya dikenal di berbagai
negeri beliau adalah Syekh Hamzah Fansuri yang masa hidupnya yaitu pada masa
Aceh dibawah kesultanan Iskandar Muda.
Riwayat Hidup Syekh Hamzah
Fansuri
Syekh
Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan
budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara abad ke-16 sampai awal
ke-17.Tahun lahir dan wafat Syekh tak diketahui dengan pasti.Riwayat hidup
Syekhpun sedikit sekali diketahui.Sekalipun demikian, dipercaya bahwa Hamzah
Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17.Kejian
terbaru dari Bargansky menginformasikan bahwa Syekh hidup hingga akhir masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan mungkin wafat beberapa tahun
sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniry yang keduakalinya di Aceh pada tahun
1637.Sebelumnya, Syed Muhammad Naguib al-Attas berpendapat bahwa Syekh hidup
sampai masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.Barginsky
mengutip laporan laksamana Perancis Bealeu yang telah dua kali mengunjungi
Aceh.Kungjungan kedua dilakukan pada tahun 1620 semasa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda.Dalam laporannya, Bealeu antara lain mengatakan; ketika melewati
istana dia melihat Sultan Aceh murka kepada seorang tokoh kerohanian yang
berwajah kenabian dengan menutup pintu keras-keras. Seandainya tokoh ini
seorang pejabat istana seperti Syamsuddin Pasai, sudah tentu tak akan dimurkai
oleh Sultan. Selain itu, dia tentu tak akan berani menegur Sultan yang sedang
menyiapkan upacara meditasi menyambut datangnya bulan purnama. Bargansky
memastikan bahwa tokoh kerohanian itu adalah Syekh Hamzah Fansuri, sedang
pejabat keagamaan yang tampak bersama Sultan adalah Syekh Syamsuddin Pasai yang
ketika itu menjabat perdana menteri.Keberanian tokoh kerohanian itu untuk
menegur Sultan sejalan dengan keberanian Syekh Hamzah Fansuri menyampaikan
kritik yang ditujukan kepada Sultan, khususnya sehubungan dengan penyimpangan
praktek keagamaan dan kerohanian yang dilakukan para pembesar istana Aceh
termasuk Sultan.
Tempat
lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham.Pada umumnya para
sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar
yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga.Ia
berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di
Fansur.Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi
menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri
Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad
al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri
yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah
Syahr Nawi”
Terdapat
beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu
“wujud” dan “Syahr Nawi”.Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan
(laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun
orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua
dari kota Ayuthia.
Professor
Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes,
mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada
paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang
Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal
di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah
yang kemudian dikembangkannya di Aceh.Ia banyak melakukan perjalanan, antara
lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkah dan Madinah.
Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah
SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat
lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan
Arab.Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab.Dipelajari
ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan
sastranya.Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya
di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel.Beliau membangun dan memimpin
pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri
membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan
merupakan lanjutan dari Simpangkiri.Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin
as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul
Wujud).Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan
muridnya ini,
Hamzah
Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama
yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.Ar-Raniry menyatakan
didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis.Ribuan buku karangan
penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai
musnah.
Hamzah
Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan
dengan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan
mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad,
kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah
dan Madinah, serta Kudus di Jawa. Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:
“Asalnya manikan tiada
kan layu
Dengan ilmu dunia
dimanakan payu”
Syekh
Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh
menguasai bahasa Jawa.Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke
Kudus bukan sekedar bermakna simbolis.Drewes membantah pendapat diatas yang
menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus.
Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh
perjalanan dari Barus ke Kudus.Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya
dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu
selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung
ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami
keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan
kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai
anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.Pada zaman Sultan Alauddin
Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis
karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup
masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat
pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang
agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih
dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir
anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata
maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja
karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang
sejati.Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga
dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki
jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.
Hamzah
Fansuri telah berhasil mengukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan
keislaman di dunia Islam.Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas
wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang
dikuasainya.Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui
karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat
mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar
Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa
Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau
melalui syair-syairnya.Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko
falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam
ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat
paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut
itthad.Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya
yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan
mereka. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansuri mengutuk fenomena ini sebagai
tercermin sebagai berikut:
“Aho segala kamu anak
‘alim
Jangan bersbubhat
dengan yang zalim
Karena Rasul Allah
sempurna hakim
Melarang kita sekalian
khadim”
Kepedulian
Hamzah terhadap kelas sosial dapat dipahami sebagai akibat dari sebuah kenyataan
dimana perbudakan merupakan hal yang lazim dikalangan masyarakat Islam saat
itu.Di Aceh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bealeu, “penguasa menggunakan
mereka untuk memotong kayu, menggali batu, membuat senjata mortir dan
bengunan”. Kehadiran
Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan
sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam
bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa.Kritik-kritik Syekh Hamzah
Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya
yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang
intelektual yang berani dimasanya.Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada
ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktek yoga yang sesat dan jauh dari amalan
syari’at.
Kepenyairan Syekh
Hamzah Fansuri
Hazmah Fansuri Sebagai
Pembaru
Syekh
Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan
terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor.Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan
kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan
sastra.Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan
pembaru.Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral
raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai
seorang intelektual yang berani pada zamannya.Karena itu, tidak mengherankan
apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para
pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan
as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan
Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual
maupuan sastra.
Dibidang
keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang
demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat
muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui
kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh
mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam.
Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang
sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18
kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah
Fansuri.Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah
pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika
kerohanian.Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar
al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh
ahli tasawuf nusantara.Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya
sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas
mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetik.
Hamzah Fansuri Sebagai
Bapak Bahasa Melayu
Dalam
hal ini Hamzah Fansuri,masih menurut Al-Attas punya jasa besar dalam memajukan
bahasa melayu.Pengaruhnya luar biasa dikalangan cendikiawan Melayu.Ia banyak
menambah pembendaharaan kata-kata Melayu sekian banyaknya karena pengatahuannya
yang luas dalam bahasa Arab dan Persia.Dengan sendirinya ia juga membawa
pembaharuan di bidanglogika dan ilmu mantiq. Dalam hal ini tidak mengejutkan
bila Naguib Al-Attas dalam bukunya “The Mysiccism Of Hamzah Fansuri” mengatakan
bahwa Hamzah Fansuri adalah pujangga Melayu terbesar dalam abad ke 17.Bahkan
menurutnya Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa
Melayu.Dan juga merupakan penyair sufi yang tidak ada taranya pada masa itu.
Kesimpulan
Hamzah Fansuri adalah ulama sufi,
sastrawan dan cendekiawan yang hidup pada pertengahan abad ke-16 dan awal abad
ke-17 di Fansur, meninggal dan dikuburkan di Desa Oboh Kecamatan Rundeng
Kabupaten Aceh Singkil.Kehidupan Hamzah Fansuri tidak
terlepas dari proses alur sejarah secara langsung maupun tidak langsung terikat
dengan perjalanan agama Islam di Nusantara. Aliran tasawuf berdasarkan faham
wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan dipaparkan dengan lirik sastra
Melayu merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di
Nusantara.Membicarakan Hamzah Fansuri sebagai tokoh fenomenal, baik sebagai
penyair, ulama dan sekaligus intelektual maka tidak akan habis-habis untuk
mengurai segi-segi kehidupan maupun karya-karyanya. Sebagai penyair Melayu
klasik namanya tetap abadi. Ia adalah seorang penyair besar, sekaligus seorang
ulama yang mengemukakan ide-idenya melalui puisi maupun prosa.
Pikiran-pikiranya tentang masalah keagamaan terutama tentang hubungan manusia
dengan Tuhannya, yang dalam faham keagamaan pikiran-pikiran Hamzah Fansuri
dimasukkan dalam kategori wujudiyah.
Karya tulis Hamzah Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki Usmani pada waktu itu. Karya-karya Hamzah Fansuri tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitab karya Hamzah Fansuri antara lain ke Melaka, Kedah, Sumatra Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, dan Ternate.
Sumber:
Hadi, Amirul. (2010). Aceh Sejarah,Budaya,dan
Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Abdullah,
M Adli . (2011). Membedah Sejarah Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Program Studi Sejarah Universitas Syiah Kuala Angkatan 2012
Banda Aceh – Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar