Demi menangani
serangan gajah liar terhadap permukiman warga, sejumlah dokter hewan spesialis
gajah dari beberapa negara Asia berkumpul di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
Banda Aceh – Darussalam. Di Aceh serangan gajah liar meningkat berkelindan
dengan meluasnya perambahan hutan. Konflik manusia dengan gajah tak
terhindarkan. Gajah diburu dan dimusuhi. Akibatnya, populasi gajah di Aceh
menurun. Pada 2011, menurut Badan Konservasi Sumber Daya Aceh, hanya tersisa
540 ekor. Padahal, pada zaman Kesultanan Aceh Darussalam abad ke-16-17, gajah
memenuhi rimba dan menjadi simbol keagungan.
Sebelum Kesultanan
Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatra telah menjadikan gajah
sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan. Menurut M. Junus Djamil, seorang
raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya. “Dalam tahun 500 masehi
didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama
Buddha, rajanya mengendarai gajah,” tulis Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda.
Sultan Perlak pada
1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas, sebagaimana dikutip Djamil dari
Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany. Sementara Marcopolo menyebut
Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar
kepunyaan raja.
Dalam Rihlah Ibnu Batutah, Ibnu Batutah memberikan
deskripsi lebih lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki
Raja, gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300
gajah. Meski untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias. Menurutnya,
kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh
Kerajaan Delhi (India).
Ketika Kesultanan
Aceh berdiri pada paruh pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi hewan andalan, selain
kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir.
Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu simbol keagungan Sultan.
Gajah-gajah pun dirawat dengan baik.
Gajah-gajah liar di
pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya, melainkan untuk dijinakkan.
Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik dan terbesar akan dijadikan gajah Sultan.
Sisanya untuk armada perang Aceh. Gajah-gajah perang itu dihias seindah mungkin
dengan emas dan permata. Suatu pemandangan yang dapat ditemukan di India.
Kebanggaan Kesultanan
Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17. Iskandar Muda, calon Sultan,
akrab dengan gajah sejak kecil. Indra Jaya, seekor anak gajah, menjadi teman
bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya, Sultan Alau’ddin Riayat Syah, memberikan
gajah itu saat Iskandar berumur 5 tahun. Iskandar senang menerimanya.
Dia menghabiskan
sebagian besar waktu bermainnya dengan anak gajah itu. Menginjak usia 7 tahun,
dia mulai berburu gajah liar yang berada dalam hutan. Saat beranjak dewasa,
Iskandar Muda telah mahir menunggangi gajah. Mengutip Hikayat Aceh, Anthony Reid
dalam “Elephants and Water in The Feasting of Seventeenth Century Aceh,” dimuat
dalam An Indonesian Frontier, menyebut Sultan muda itu berlatih
menunggang gajah tiap Senin dan Kamis. Sultan muda itu meneruskan tradisi
kemahiran Sultan Aceh dalam menunggangi gajah.
Tamu-tamu asing
Kesultanan Aceh terpukau dengan gajah-gajah di sana. Sebaliknya, Aceh
membanggakan gajah-gajahnya pada tamu-tamu asing. Untuk menyambut tamu asing,
gajah dipersiapkan sebaik mungkin, baik perangai, kesehatan maupun
perhiasannya. John Davies, navigator Inggris, mengungkapkan pengalamannya
mengunjungi istana Sultan pada 1599. “Saya berkendara ke istananya dengan
seekor gajah,” tulis Davies dalam “Kunjungan Pertama Belanda Berakhir Buruk,
1599,” dimuat dalam Sumatera
Tempo Doeloe.
Dia juga menyebut
gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Gajah bisa merobek
badan orang hingga pecah berkeping-keping. Catatan Francois Martin, pedagang Prancis,
pada 1602 menguatkan cerita Davies. Hukuman mati dengan gajah dikenakan pada
pezina dan pembunuh.
Meski gajah sempat
menjadi alat eksekusi, fungsi utama gajah sebagai simbol kebesaran kesultanan
Aceh tak terbantahkan. Augustin de Beaulieu, pedagang Prancis, menyaksikan
bagaimana Aceh merupakan panggung teater besar para gajah pada 1621. Dalam
catatannya, “Kekejaman Iskandar Muda”, dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dia
menyebut Aceh memiliki 900 ekor gajah. Karena melimpahnya armada gajah, Aceh tak
memerlukan benteng kota. “Gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota
sesungguhnya,” tulis Denys Lombard dalam Kerajaan
Aceh.
Gajah-gajah itu
dilatih berperang sehingga tak takut ketika suara senapan yang memekakkan
berbunyi disamping telinga besarnya. Sultan memberikan gajah-gajah itu nama
sedangkan rakyat memberi penghormatan kepada gajah-gajah yang Sultan gunakan.
Ketika parade, gajah-gajah itu diiringi bunyi-bunyian yang membahana dari
alat-alat musik seperti terompet, tamborin, dan simbal.
Catatan lain mengenai
gajah Aceh berasal dari Peter Mundy, pelancong Inggris. Meski hanya mengunjungi
Aceh selama 10 hari, dia melihat upacara besar yang menyertakan banyak gajah
pada 1637. Dia mendeskripsikan dengan sangat jelas upacara yang digelar saat perayaan
Idul Adha. Upacara itu dihadiri khalayak termasuk orang asing. Sultan
mengundang semua rakyat hadir, dari jelata hingga bangsawan.
Dalam upacara itu, 30
gajah berhias terbagi dalam beberapa baris. Ada empat gajah tiap barisnya.
Sebagian gajah ditutupi kain sutra sehingga hanya terlihat kaki, telinga, mata,
dan belalai mereka. Gajah Raja terlihat mencolok. Dengan hiasan kain mewah yang
menutupi hampir seluruh tubuh dan menara setinggi satu meter di punggungnya,
gajah itu berada paling belakang. Menurut Takeshi Ito dalam The World of The Adat Aceh,
tesis pada Australian National University, “dalam masa damai, gajah menjadi
bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam kitab Adat Aceh.”
Takeshi Ito
menambahkan Aceh tak hanya mengoleksi gajah tapi juga mengeskpor atau
membarternya dengan sejumlah kuda atau hewan lain ke beberapa wilayah seperti
Srilanka. Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675), kepemilikan gajah tak
terbatas lagi pada Sultan. Orang kaya oleh memilikinya. Seiring meredupnya
Kesultanan Aceh, gajah tak lagi menempati posisi penting dalam upacara
keagamaan atau armada perang. Memasuki abad ke-20, nasibnya semakin naas; hanya
menjadi barang buruan dan dagangan. Bahkan menjadi musuh warga.
Informasi menarik, thanks ya., infonya! Saya minta izin untuk mengambil foto gajah di blog ini ya! Silahkan berkunjung ke blogku wwww.yellsaints.com
BalasHapus