Penemuan
koin emas bertuliskan nama Sultan Aceh dan Sultan Ottoman menandakan hubungan
antara kedua kerajaan Islam itu. Ratusan keping koin emas kuno peninggalan
Kesultanan Aceh ditemukan penduduk di Gampong Pande, Aceh, pada 11 November
2013. Beberapa koin bertuliskan nama Alaudin Riayat Syah Al-Kahar, sultan Aceh,
berdampingan dengan Sulaiman I, sultan Ottoman Turki. Penemuan ini bukti
penting yang menegaskan hubungan diplomatik antara Aceh dan Ottoman sejak abad
ke-16.
Sultan Al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang berasal dari Dinasti Meukuta Alam, dinasti pendiri Kerajaan Aceh. Dia berkuasa antara tahun 1537 sampai 1571. Pada masanya, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Sumatra dan Semenanjung Malaka.
Sultan Al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang berasal dari Dinasti Meukuta Alam, dinasti pendiri Kerajaan Aceh. Dia berkuasa antara tahun 1537 sampai 1571. Pada masanya, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Sumatra dan Semenanjung Malaka.
Portugis,
yang menguasai Malaka sejak tahun 1511, menjadi rival Aceh dalam meluaskan
pengaruhnya di Selat Malaka, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Karena
itu, Aceh menjalin kontak dengan Kesultanan Ottoman untuk menjajaki kerjasama
menghadapi Portugis.
“Setelah
tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya, Kesultanan Ottoman menjelma menjadi
tempat bagi kerajaan-kerajaan Islam di Timur (India dan Kepulauan Nusantara)
yang baru berkembang menaruh harapan dalam menghadapi Portugis,” tulis
Giancarlo Casale dalam The Ottoman: Age of Exploration.
Utusan Aceh
kali pertama datang ke Istanbul pada 1562. Mereka meminta bantuan senjata
berupa meriam. Terkesan dengan utusan Aceh ini, sultan yang berkuasa saat itu,
Sulaiman I, mengirimkan meriam beserta teknisinya serta seorang diplomat
bernama Lutfi Bey.
Kedatangan
Lutfi Bey ke Aceh menjadi penting karena berdasarkan laporannya, orang-orang
Turki menjadi paham posisi strategis Aceh sebagai pusat perdagangan dan garis
terdepan umat Islam dalam menghadapi Kristen Portugis di Nusantara. Aceh
sendiri antusias menjadi bawahan Kesultanan Ottoman.
“Surat
diplomatik yang Lutfi Bey bawa ketika dia kembali ke Istanbul pada 1566,
menyatakan bahwa Sultan Al-Kahar tidak lagi ingin sekadar meminta senjata
kepada Sultan Sulaiman I. Tidak pula ingin menjalin hubungan politik antar dua
kerajaan yang berdiri sama sejajar. Melainkan dia ingin agar dirinya dan
negerinya, Aceh, diperintah secara langsung oleh Sultan Sulaiman I sebagai
ganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis,” lanjut Casale.
Antusiasme
Aceh ditanggapi positif oleh Sultan Sulaiman I sebelum akhirnya dia mangkat dan
digantikan Sultan Selim II. Dia memerintahkan angkatan lautnya untuk mengirim
armada sebanyak 15 kapal layar ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat
militer, teknisi meriam, juga tukang-tukang seperti penambang, pandai besi, dan
pandai emas.
Sayangnya,
armada yang dijadwalkan tiba di Aceh pada 1568 terpaksa mengalihkan perjalanan
ke Yaman, Arab Selatan, untuk memadamkan sebuah pemberontakan. Hanya dua buah
kapal yang tiba di Aceh tanpa membawa senjata. Kedua kapal itu membawa
sekelompok pedagang dan teknisi meriam, yang tidak cukup untuk memuluskan
rencana Sultan Al-Kahar menyerang Portugis di Malaka pada 1570.
Penambangan
dan penempaan bijih besi bukan barang baru di Aceh. Sejak zaman Samudra Pasai
pada abad ke-14, timah dan emas telah ditemukan, bahkan dijadikan satuan mata
uang dengan ukiran nama raja yang berkuasa di kedua sisinya. Mereka menempa
mata uang timah yang bernama cash dan mata uang dari emas yang
bernama mas. Sistem ini kemudian diadopsi raja-raja Aceh.
Menurut
Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Sultan Al-Kahar-lah yang memperkenalkan mata uang Aceh
pertama, yakni dirham.
“1 pardew (mata
uang Portugis yang ditempa di Goa, India) sama dengan 4 dirham Aceh,” tulis
Lombard. “Namun nilai mata uang itu sendiri sering mengalami perubahan yang
besar sekali. Para penjelajah selalu memberi nilai yang berbeda-beda,
kadang-kadang bahkan dalam jarak waktu yang hanya beberapa bulan.”
Nama Sultan
Sulaiman I yang terukir bersanding dengan Sultan Al-Kahar dalam beberapa koin
emas Aceh merupakan bukti pengakuan Kesultanan Aceh atas kekuasaan Kesultanan
Ottoman sebagai pemegang inti dunia Islam saat itu. Nama Sultan Ottoman juga
selalu disebutkan dalam tiap khotbah Jumat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar