Nama aslinya Muhammad Ali Hasyim
Alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun. Anak kedua dari 8 orang
bersaudara. Ayahnya, Teungku Hasyim, pensiunan pegawai negeri. Tahun 1975
diangkat sebagai guru besar (Prof) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda
Aceh. Ali Hasjmy dikenal sebagai sastrawan, ulama, dan tokoh daerah. Dalam
usaha memulihkan keamanan daerah, Pemerintah pernah mengangkatnya sebagai
gubernur Aceh periode 1957-1964 dan Gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri
Jakarta periode 1964-1968.
Ali Hasjmy gemar membaca dan
mendengarkan musik. Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5
terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya. Beberapa karya sastranya, Kisah
Seorang Pengembara (sajak, 1937); Dewan Sajak (sajak,
1938). Beberapa novel ciptaannya; Bermandi Cahaya Bulan (1938).
Cetak ulang oleh Bulan Bintang 1979), Dewi Fajar (1943), Nona
Press Room (1963), Meurah Johan (1977), Tanah
Merah (1977). Buku lainnya bersifat analisa sastra seperti Rubai
Hamzah Fansury karya Sastra Sufi Abad XVII (Kuala Lumpur, 1976), Hikayat
Perang Sabil Jiwanya Perang Aceh (1970), Apa Sebab Rakyat Aceh
Sanggup Berperang Puluhan Tahun (Jakarta, Bulan Bintang 1978). Sebuah
naskah yang akan diterbitkan adalah Hikayat Pocut Muhammad dalam
Analisa (sastra). Karya tulis lainnya antara lain, Di Mana
Letaknya Negara Islam (Singapura, 1976), Yahudi Bangsa
Terkutuk (1970), Dustur Dakwah Menurut Al Quran (1973), Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta 1973), Iskandar Muda Meukuta Alam (Biografi,
Jakarta, 1976), 59 (1977), Sejarah Perkembangan Hukum Islam (1970), Cinta
Sepanjang Jalan (kumpulan cerpen, 1980). Pernah menjabat sebagai ketua
Majelis Ulama Aceh. Selain itu ia juga pernah memangku jabatan Rektor Institut
Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Hasjmy pernah
ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, karena dituduh terlibat dalam
pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Penahanan berlangsung dari September 1953
sampai Mei 1954. Tapi tahanan ini istimewa. Antara lain boleh bawa makanan dari
luar. Banyak orang tahanan dan petugas penjara beroleh kopi, rokok dari Hasjmy.
Yang paling menyenangkan mendengar berita akan dibebaskan. Seorang hukuman,
bernama Bedjo menceritakan mimpinya semalam bahwa Hasjmy akan dibebaskan.
Kendati mimpi dianggap Hasjmy bohong, ia senang sekali. Sehingga Hasjmy dengan
senang hati memberinya rokok, kopi dan bahkan uang. Suatu pagi Pak Bedjo
bercerita lagi, bahwa dalam mimpinya ia melihat Hasjmy menjadi Raja Aceh. Saya
tak percaya, tapi senang, tulis Hasjmy. Sebulan kemudian, Hasjmy dikirim ke
Jakarta atas permintaan Jaksa Agung. Di Jakarta dia dibebaskan dan dipindahkan
ke Departemen Sosial. Januari 1957, ia diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Riwayat Hidup
Siapa yang tidak mengenal A. Hasjmy?
Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama, sastrawan, dan politikus. Ia lahir di
Lampaseh, Aceh, pada tanggal 28 Maret 1914. Nama kecilnya adalah Muhammad Ali
Hasjim. Ia juga memiliki sejumlah nama samaran yang digunakan dalam berbagai
karangannya tentang puisi dan cerpen, seperti nama al-Hariry, Aria Hadiningsun,
dan Asmara Hakiki.
Ali Hasjmy merupakan anak kedua
Teungku Hasyim dari delapan bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan pegawai
negeri. A. Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941.
Ketika itu A. Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun
(lahir pada Agustus 1926). Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu: (1).
Mahdi A. Hasjmy (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya A. Hasjmy
(lahir pada tanggal 11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy (lahir pada
tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan A. Hasjmy (lahir pada tanggal 5 September
1949 dan meninggal pada tanggal 12 September 1949); (5) Mulya A. Hasjmy (lahir
pada tanggal 23 Maret 1951); (6) Dahlia A. Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei
1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir pada tanggal 21 Juni 1955).
Hasjmy menempuh pendidikan formal
pertamanya di Government Inlandsche School Montasie Banda Aceh, sebuah lembaga
pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Madrasah Thawalib di Padang Panjang, baik pada jenjang pendidikan tsanawiyah
(menengah tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah (menengah tingkat atas).
Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta tanah air yang kuat, dan
menanamkan nasionalisme yang mendasar. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di
al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi
Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang. Sekembalinya dari Padang
Panjang dan Padang, A. Hasjmy menjadi guru dan pendidik di Aceh. Ketika umurnya
menginjak usia 50-an, ia pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Pada masa mudanya, A. Hasjmy dikenal
sangat aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan organisasi kepemudaan.
Tercatat, antara tahun 1932 hingga tahun 1935, ia menjadi anggota Himpunan
Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan antara tahun 1933 hingga tahun 1935 ia
menjadi Sekretaris HPII Cabang Padang Panjang. HPII merupakan sebuah organisasi
underbow partai politik Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), sebuah partai
radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1935, A. Hasjmy
mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh) bersama dengan sejumlah pemuda
yang baru pulang dari Padang. Sepia kemudian berubah menjadi Peramiindo
(Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), dan ia menjadi salah seorang
pengurus besarnya. Paramiindo merupakan organisasi kepemudaan radikal yang giat
melakukan gerakan politik untuk menentang penjajahan Belanda. Sejak tahun 1939,
A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh
Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir Kepanduan KI (Kasysyafatul
Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan organisasi non-partai politik yang
kegiatannya lebih pada gerakan menentang penjajahan Belanda.
Pada tahun 1941, bersama sejumlah
teman di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah tanah, yaitu Gerakan
Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan terhadap kolonialisme
Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan kegiatan sabotase di
seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik. A. Hasjmy ikut memimpin
kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan itu, ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap
Belanda dan baru bisa bebas setelah Belanda meninggalkan Aceh.
Pada awal tahun 1945, bersama
sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh Sinbun dan Domei, A. Hasjmy
mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda Indonesia), suatu organisasi rahasia
yang bertujuan melakukan persiapan untuk melawan kekuasaan Belanda yang pada
saat itu kembali ke Aceh karena kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus
1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan terhadap para pemuda
untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Lambat laun, IPI berubah menjadi BPI
(Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi menjadi PRI (Pemuda
Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).
Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo Aceh memisahkan diri dari DPP Pesindo
karena pada saat itu DPP telah dipengaruhi oleh ideologi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan menjadikan Islam sebagai
dasarnya. Organisasi ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi
Rencong. Sejak masih di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai
pemimpinnya.
Ali Hasjmy pernah juga aktif di
sejumlah partai politik lain, yaitu Permi (Persatuan Muslim Indonesia) dan PSII
(Partai Syarikat Islam Indonesia). Ketika masih di Aceh, ia pernah menjadi
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah ditahan dalam penjara Jalan
Listrik, Medan, dalam kurun waktu September 1953 sampai Mei 1954 karena dituduh
terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Ketika pindah ke Jakarta,
ia menjadi Ketua Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.
Selain aktif di berbagai kegiatan
organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang sejumlah jabatan pemerintahan. Pada
masa awal Indonesia merdeka, ia aktif sebagai pegawai negeri dan memegang
jabatan-jabatan sebagai berikut: Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja
(1946-1947); Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala
Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi
Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial
Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964); dan
diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun 1966, ia
pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena atas
permintaannya sendiri. Penunjukan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan
karena pada saat itu Aceh sedang dalam masa krisis, di mana sering terjadi
konflik bersaudara. Masyarakat Aceh menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti
ia berhasil memulihkan keamanan Aceh pada saat itu. Apalagi, sejak masa
pemulihan itu, ia beserta beberapa kawan seperjuangannya mulai memikirkan dan
memusatkan perhatian pada pengembangan dunia pendidikan di berbagai wilayah di
Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan berhasil mengangkat Aceh sebagai
Kopelma (Kota Pelajar dan Mahasiswa) Darussalam. Kopelma merupakan pusat
pendidikan untuk tingkat provinsi (Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan
tinggi yang terkenal, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Di samping itu, berdiri sejumlah
perkampungan pelajar di beberapa kabupaten dan juga berdiri sejumlah taman
pelajar di beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang kini bernama Pusat
Pendidikan Tinggi Darussalam Mini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar