28 November 2013

Ali Hasjmy, Seorang Ulama, Politikus dan Sastrawan Aceh

Nama aslinya Muhammad Ali Hasyim Alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun. Anak kedua dari 8 orang bersaudara. Ayahnya, Teungku Hasyim, pensiunan pegawai negeri. Tahun 1975 diangkat sebagai guru besar (Prof) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ali Hasjmy dikenal sebagai sastrawan, ulama, dan tokoh daerah. Dalam usaha memulihkan keamanan daerah, Pemerintah pernah mengangkatnya sebagai gubernur Aceh periode 1957-1964 dan Gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri Jakarta periode 1964-1968.

Ali Hasjmy gemar membaca dan mendengarkan musik. Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5 terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya. Beberapa karya sastranya, Kisah Seorang Pengembara (sajak, 1937); Dewan Sajak (sajak, 1938). Beberapa novel ciptaannya; Bermandi Cahaya Bulan (1938). Cetak ulang oleh Bulan Bintang 1979), Dewi Fajar (1943), Nona Press Room (1963), Meurah Johan (1977), Tanah Merah (1977). Buku lainnya bersifat analisa sastra seperti Rubai Hamzah Fansury karya Sastra Sufi Abad XVII (Kuala Lumpur, 1976), Hikayat Perang Sabil Jiwanya Perang Aceh (1970), Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun (Jakarta, Bulan Bintang 1978). Sebuah naskah yang akan diterbitkan adalah Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa (sastra). Karya tulis lainnya antara lain, Di Mana Letaknya Negara Islam (Singapura, 1976), Yahudi Bangsa Terkutuk (1970), Dustur Dakwah Menurut Al Quran (1973), Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta 1973), Iskandar Muda Meukuta Alam (Biografi, Jakarta, 1976), 59 (1977), Sejarah Perkembangan Hukum Islam (1970), Cinta Sepanjang Jalan (kumpulan cerpen, 1980). Pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Aceh. Selain itu ia juga pernah memangku jabatan Rektor Institut Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Hasjmy pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Penahanan berlangsung dari September 1953 sampai Mei 1954. Tapi tahanan ini istimewa. Antara lain boleh bawa makanan dari luar. Banyak orang tahanan dan petugas penjara beroleh kopi, rokok dari Hasjmy. Yang paling menyenangkan mendengar berita akan dibebaskan. Seorang hukuman, bernama Bedjo menceritakan mimpinya semalam bahwa Hasjmy akan dibebaskan. Kendati mimpi dianggap Hasjmy bohong, ia senang sekali. Sehingga Hasjmy dengan senang hati memberinya rokok, kopi dan bahkan uang. Suatu pagi Pak Bedjo bercerita lagi, bahwa dalam mimpinya ia melihat Hasjmy menjadi Raja Aceh. Saya tak percaya, tapi senang, tulis Hasjmy. Sebulan kemudian, Hasjmy dikirim ke Jakarta atas permintaan Jaksa Agung. Di Jakarta dia dibebaskan dan dipindahkan ke Departemen Sosial. Januari 1957, ia diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Riwayat Hidup
Siapa yang tidak mengenal A. Hasjmy? Tokoh Aceh ini dikenal sebagai ulama, sastrawan, dan politikus. Ia lahir di Lampaseh, Aceh, pada tanggal 28 Maret 1914. Nama kecilnya adalah Muhammad Ali Hasjim. Ia juga memiliki sejumlah nama samaran yang digunakan dalam berbagai karangannya tentang puisi dan cerpen, seperti nama al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara Hakiki.


Ali Hasjmy merupakan anak kedua Teungku Hasyim dari delapan bersaudara. Ayahnya merupakan pensiunan pegawai negeri. A. Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz pada tanggal 14 Agustus 1941. Ketika itu A. Hasjmy berumur 27 tahun, sedangkan istrinya berumur 15 tahun (lahir pada Agustus 1926). Mereka dikaruniai tujuh putra-putri, yaitu: (1). Mahdi A. Hasjmy (lahir pada tanggal 15 Desember 1942); (2). Surya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 11 Februari 1945); (3). Dharma A. Hasjmy (lahir pada tanggal 9 Juni 1947); (4) Gunawan A. Hasjmy (lahir pada tanggal 5 September 1949 dan meninggal pada tanggal 12 September 1949); (5) Mulya A. Hasjmy (lahir pada tanggal 23 Maret 1951); (6) Dahlia A. Hasjmy (lahir pada tanggal 14 Mei 1953); (7) Kamal A. Hasjmy (lahir pada tanggal 21 Juni 1955).
Hasjmy menempuh pendidikan formal pertamanya di Government Inlandsche School Montasie Banda Aceh, sebuah lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar (SD). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Thawalib di Padang Panjang, baik pada jenjang pendidikan tsanawiyah (menengah tingkat pertama) maupun jenjang ‘aliyah (menengah tingkat atas). Sekolah ini telah mendidiknya jiwa patriot, cinta tanah air yang kuat, dan menanamkan nasionalisme yang mendasar. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di al-Jami‘ah al-Qism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang. Sekembalinya dari Padang Panjang dan Padang, A. Hasjmy menjadi guru dan pendidik di Aceh. Ketika umurnya menginjak usia 50-an, ia pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Pada masa mudanya, A. Hasjmy dikenal sangat aktif ikut serta dalam berbagai kegiatan organisasi kepemudaan. Tercatat, antara tahun 1932 hingga tahun 1935, ia menjadi anggota Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), dan antara tahun 1933 hingga tahun 1935 ia menjadi Sekretaris HPII Cabang Padang Panjang. HPII merupakan sebuah organisasi underbow partai politik Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), sebuah partai radikal yang menganut sistem nonkooperasi terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1935, A. Hasjmy mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam Aceh) bersama dengan sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang. Sepia kemudian berubah menjadi Peramiindo (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), dan ia menjadi salah seorang pengurus besarnya. Paramiindo merupakan organisasi kepemudaan radikal yang giat melakukan gerakan politik untuk menentang penjajahan Belanda. Sejak tahun 1939, A. Hasjmy aktif sebagai anggota Pengurus Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Aceh Besar, serta menjadi Wakil Kwartir Kepanduan KI (Kasysyafatul Islam) Aceh Besar. PUSA merupakan organisasi non-partai politik yang kegiatannya lebih pada gerakan menentang penjajahan Belanda.
Pada tahun 1941, bersama sejumlah teman di PUSA, ia mendirikan suatu gerakan rahasia bawah tanah, yaitu Gerakan Fajar. Tujuan gerakan ini mengorganisir pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Sejak awal tahun 1942, gerakan ini melakukan kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan cara perlawanan fisik. A. Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan ini. Karena keterlibatan itu, ayahnya, Teungku Hasjim ditangkap Belanda dan baru bisa bebas setelah Belanda meninggalkan Aceh.
Pada awal tahun 1945, bersama sejumlah pemuda yang bekerja pada Kantor Aceh Sinbun dan Domei, A. Hasjmy mendirikan organisasi IPI (Ikatan Pemuda Indonesia), suatu organisasi rahasia yang bertujuan melakukan persiapan untuk melawan kekuasaan Belanda yang pada saat itu kembali ke Aceh karena kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan terhadap para pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Lambat laun, IPI berubah menjadi BPI (Barisan Pemuda Indonesia), dan kemudian berubah lagi menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Dalam perkembangan selanjutnya, Pesindo Aceh memisahkan diri dari DPP Pesindo karena pada saat itu DPP telah dipengaruhi oleh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan menjadikan Islam sebagai dasarnya. Organisasi ini mendirikan sebuah divisi laskar bernama Divisi Rencong. Sejak masih di IPI hingga di divisi ini, A. Hasjmy bertindak sebagai pemimpinnya.
Ali Hasjmy pernah juga aktif di sejumlah partai politik lain, yaitu Permi (Persatuan Muslim Indonesia) dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Ketika masih di Aceh, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII. Ia bahkan pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, dalam kurun waktu September 1953 sampai Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Ketika pindah ke Jakarta, ia menjadi Ketua Departemen Sosial Lajnah Tanfiziyah DPP PSII.

Selain aktif di berbagai kegiatan organisasi, A. Hasjmy juga aktif memegang sejumlah jabatan pemerintahan. Pada masa awal Indonesia merdeka, ia aktif sebagai pegawai negeri dan memegang jabatan-jabatan sebagai berikut: Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947); Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949); Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950); Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957); Gubernur Aceh (1957-1964); dan diperbantukan sebagai Menteri Dalam Negeri (1964-1968). Pada tahun 1966, ia pensiun dari pegawai negeri sebelum masanya (52 tahun) karena atas permintaannya sendiri. Penunjukan A. Hasjmy sebagai Gubernur Aceh disebabkan karena pada saat itu Aceh sedang dalam masa krisis, di mana sering terjadi konflik bersaudara. Masyarakat Aceh menilai penunjukan dirinya tepat, terbukti ia berhasil memulihkan keamanan Aceh pada saat itu. Apalagi, sejak masa pemulihan itu, ia beserta beberapa kawan seperjuangannya mulai memikirkan dan memusatkan perhatian pada pengembangan dunia pendidikan di berbagai wilayah di Aceh. Pengabdiannya terhadap dunia pendidikan berhasil mengangkat Aceh sebagai Kopelma (Kota Pelajar dan Mahasiswa) Darussalam. Kopelma merupakan pusat pendidikan untuk tingkat provinsi (Aceh). Di Aceh terdapat dua buah perguruan tinggi yang terkenal, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Di samping itu, berdiri sejumlah perkampungan pelajar di beberapa kabupaten dan juga berdiri sejumlah taman pelajar di beberapa kecamatan di seluruh Aceh (yang kini bernama Pusat Pendidikan Tinggi Darussalam Mini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar