28 November 2013

Acheh Bukan Milik RI Dan Rakyat Indonesia Melainkan Milik Rakyat Acheh

“PBB sebagai organisasi negara-negara yang merdeka, mengakui wilayah NKRI meliputi Wilayah Hindia Belanda termasuk Aceh. Sebagai negara merdeka dan berdaulat berdasarkan pengakun negara-negara Dunia, NKRI dapat menentukan sistem pemerintahannya, termasuk menetapkan Pimpinan negeri Aceh apakah setingkat Gubernur/Propinsi atau digabung dalam propinsi Sumatera Utara, atau menjadikan Aceh daerah istimewa sebagaimana kesepakatan Rakyat Aceh dengan Rakyat Indonesia lainnya di dalam sebuah parlemen. Bpk Ahmad berupaya untuk meyakinkan bahwa Aceh itu terpisah dari NKRI, tetapi factnya dan berdasarkan penjelasan Bapak memberikan pemahaman bahwa Aceh itu secara hukum berada dalam NKRI. Dipeta UMUM baik yang dikeluarkan oleh RI atau pun terbitan luar negeri, tentu Pak Ahmad Sudirman tidak dapat membantah bahwa Aceh merupakan Wilayah RI. Oknum/organisasi yang mencoba memisahkan Aceh dari NKRI, maka ia akan berhadapan tidak saja dengan Rakyat Aceh, tetapi juga Rakyat Indonsia. Kalau fact sudah terbentang jelas, apa yang dapat diputar balikkan, kecuali mereka yang tidak dapat melihat. Yang atas tetap atas yang bawah tetap bawah meskipun ia terbalik (namanya terbalik).” Tutur Rasjid Prawiranegara.

Terimakasih saudara Rasjid Prawiranegara di Jakarta, Indonesia.

Setelah saya membaca dan mendalami tanggapan dari saudara Rasjid Prawiranegara yang disampaikan hari ini. Ternyata saudara Rasjid berusaha untuk mengerti dan menyimpulkan apa yang Ahmad Sudirman tampilkan, tetapi dalam bentuk kesimpulan yang dipaksakan dari uraian Ahmad Sudirman yang tidak menunjang dan tidak membenarkan hasil kesimpulan saudara Rasjid itu.

Mari perhatikan apa yang ditulis saudara Rasjid: “Membaca tulisan Pak Ahmad Sudirman sebelumnya dan jawaban yang Bpk berikan memberikan bukti bahwa Bapak secara tidak langsung mengatakan bahwa Negara RI itu ada, yang meliputi wilayah Hindia Belanda yang berada di Nusantara (dari Sabang sampai Marauke). Meskipun Bpk berupaya untuk menolaknya, tetapi secara de facto dan de yure Bpk mengakui bahwa Aceh berada dalam Wilayah RI. Rakyat Indonesia memperjuangkan NKRI yang meliputi Sabang s/d Marauke.

Dari apa yang ditulis saudara Rasjid ada kepingan proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan Negeri Acheh yang dikaburkan. Kepingan proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan Negeri Acheh yang mana yang dikaburkan saudara Rasjid ?

Kepingan proses itu dalam bentuk ungkapan: “bahwa Bapak secara tidak langsung mengatakan bahwa Negara RI itu ada, yang meliputi wilayah Hindia Belanda yang berada di Nusantara. (dari Sabang sampai Marauke). Meskipun Bpk berupaya untuk menolaknya, tetapi secara de facto dan de yure Bpk mengakui bahwa Aceh berada dalam Wilayah RI.”

Dari ungkapan saudara Rasjid tentang proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan Negeri Acheh ini terlihat seperti adanya satu kontradiksi dari apa yang dijelaskan oleh Ahmad Sudirman. Padahal Ahmad Sudirman telah menjelaskan dalam tulisan sebelum ini bahwa Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 telah menyerahkan dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dimana anggota Negara bagian RIS itu adalah terdiri dari Negara Republik Indonesia (menurut perjanjian Renville 17 Januari 1948), Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Daerah Banjar, Bangka, Belitung, Dayak Besar, Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Negara Pasundan, Riau, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Sumatra Timur. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.243-244).

Nah itulah secara de-facto dan de-jure RIS yang diakui dan diserahkan kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda.

Jadi yang namanya wilayah Hindia Belanda yang ditulis oleh saudara Rasjid ternyata dalam fakta dan buktinya adalah Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari 16 Negara Bagian RIS.

Kemudian kalau ditelusuri dan diteliti lebih kedalam untuk melihat Negara-negara Bagian RIS ini, ternyata yang namanya Negeri Acheh tidak termasuk dalam Negara bagian RIS. Tidak juga dalam tubuh Negara RI (menurut Perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang berada di Yogyakarta dan daerah sekitarnya) yang merupakan Negara Bagian RIS.


Dengan tidak adanya Negeri Acheh secara de-facto dan de-jure dalam RIS dan juga dalam Negara RI, maka itu membuktikan bahwa Negeri Acheh adalah berada diluar wilayah de-facto dan de-jure RIS dan juga RI (menurut Perjanjian Renville 17 Januari 1948).

Sampai disini, sudah jelas apa yang ditulis oleh Ahmad Sudirman adalah bahwa sampai tanggal 27 Desember 1949 secara de-facto dan de-jure Negeri Acheh berada diluar wilayah kekuasaan RIS, dan juga diluar wilayah kekuasaan de-facto dan de-jure RI. Artinya Negeri Acheh secara de-facto dan de-jure berdiri sendiri.

Jadi apa yang dijelaskan oleh Ahmad Sudirman itu jelas berbeda sekali dan bertolak belakang dengan apa yang ditulis oleh saudara Rasjid yang berbunyi: “bahwa Bapak secara tidak langsung mengatakan bahwa Negara RI itu ada, yang meliputi wilayah Hindia Belanda yang berada di Nusantara. (dari Sabang sampai Marauke). Meskipun Bpk berupaya untuk menolaknya, tetapi secara de facto dan de yure Bpk mengakui bahwa Aceh berada dalam Wilayah RI.”

Kemudian pernyataan yang dibuat oleh saudara Rasjid yang berbunyi: “Mengapa Aceh menjadi wilayah RI karena Rakyat Aceh menginginkan untuk bersama-sama mencapai kemakmuran di dalam NKRI dan karena Aceh merupakan Bagian dari Hindia Belanda. Dan itu bukan kehendak Bung Karno. Pada saat Aceh bergabung dalam NKRI Sukarno dipercayakan oleh Rakyat Indonesia termasuk Aceh, untuk memimpin perjuangan kemerdekaan RI dari Sabang s/d Marauke.

Dari pernyataan saudara Rasjid diatas ternyata fakta, bukti, dan dasar hukumnya tidak ada. Mengapa ?

Karena fakta, bukti, dan dasar hukumnya yang telah disepakati antara Kerajaan Belanda dengan pihak Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 dalam bentuk penyerahan dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS, ternyata itu Negeri Acheh tidak termasuk dalam dasar hukum penyerahan dan pengakuan kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda.

Kemudian saudara Rasjid menyatakan: “Pada saat Aceh bergabung dalam NKRI Sukarno dipercayakan oleh Rakyat Indonesia termasuk Aceh, untuk memimpin perjuangan kemerdekaan RI dari Sabang s/d Marauke.”

Pernyataan saudara Rasjid inipun lemah dasarnya. Mengapa ?

Karena Soekarno setelah Negara RI menurut Perjanjian Renville 17 Januari 1948 masuk menjadi anggota Negara Bagian RIS dengan menandatangani Piagam Konstitusi RIS pada tanggal 14 Desember 1949, dan setelah RIS diakui dan diserahkan kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, itu Soekarno tidak lagi membawa nama atas nama Presiden Negara RI, karena Pejabat Presiden RI telah diserahkan oleh Soekarno kepada Mr Saat pada tanggal 27 Desember 1949. Soekarno berkuasa atas nama Presiden RIS.

Dan ketika Soekarno menjadi Presiden RIS tidak “dipercayakan oleh rakyat Indonesia termasuk Acheh untuk memimpin perjuangan kemerdekaan RI dari Sabang s/d Marauke.” RI yang dipimpin oleh pejabat Presiden Mr Saat justru merupakan salah satu Negara Bagian RIS dibawah Presiden RIS Soekarno. Kemudian itu Negeri Acheh dimasukkan oleh Presiden RIS Soekarno melalui PP RIS No.21/1950 pada tanggal 14 Agustus 1950 melalui Sumatera Utar tanpa adanya persetujuan, keridhaan, dan keikhlasan seluruh rakyat Acheh dan pemimpin rakyat Acheh.

Nah proses pemasukan Negeri Acheh oleh Presiden RIS Soekarno kedalam tubuh Negara RI yang merupakan Negara Bagian RIS inilah yang dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan sekaligus tindakan kejahatan dari pihak Presiden RIS Soekarno. Dimana tindakan ilegal pemasukan, penelanan, pencaplokan Negeri Acheh melalui Sumetara Utara ini yang merupakan dimulainya area pendudukan dan penjajahan yang dilakukan oleh RIS dilanjutkan oleh RI yang menjelma menjadi NKRI terhadap Negeri Acheh sampai detik sekarang ini. Dan inilah merupakan penyebab utama timbulnya konflik Acheh.

Seterusnya saudara Rasjid masih juga membolak balik tentang pengakuan PBB terhadap RI yang menjelma menjadi NKRI, dengan menyatakan: “PBB sebagai organisasi negara-negara yang merdeka, mengakui wilayah NKRI meliputi Wilayah Hindia Belanda termasuk Aceh. Sebagai negara merdeka dan berdaulat berdasarkan pengakun negara-negara Dunia, NKRI dapat menentukan sistem pemerintahannya, termasuk menetapkan Pimpinan negeri Aceh apakah setingkat Gubernur/Propinsi atau digabung dalam propinsi Sumatera Utara, atau menjadikan Aceh daerah istimewa sebagaimana kesepakatan Rakyat Aceh dengan Rakyat Indonesia lainnya di dalam sebuah parlemen.”

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ahmad Sudirman dalam tulisan sebelum ini yaitu DK PBB pada tanggal 26 September 1950 melalui Resolusi DK PBB No. 86 tahun 1950 menyatakan “The Security Council. Finds that the Republic of Indonesia is a peace-loving State which fulfils the conditons laid down in Article 4 of the Charter of the United Nations, and therefore recommends to the General Assembly that the Republic of Indonesia be admitted to membership of the United Nations. Adopted at the 503rd meeting by 10 voters to none, with 1 abstention (China). Dan dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 27 September 1950 diterima RI sebagai anggota PBB ke-60.

Penerimaan DK PBB dan Sidang Umum PBB atas keanggotaan RI sebagai anggota PBB ke-60 tidak menjadi dasar hukum pencaplokan dan Penjajahan RI terhadap Negeri Acheh yang sebelumnya dilakukan oleh Presiden RIS Soekarno diakui oleh PBB.

Justru proses pencaplokan dan penjajahan pihak RI terhadap NegeriAcheh inilah yang tidak tampak oleh PBB karena memang disembunyikan dan tidak dijelaskan prosesnya oleh pihak RI kepada pihak DK PBB dan SU PBB. Kalau ternyata dikemudian hari digugat kembali proses penelanan, pencaplokan, pendudukan dan penjajahan yang dilakukan oleh RIS, RI terhadap Negeri Acheh, maka tindakan penggugatan itu adalah suatu hal yang wajar. Karena memang itulah akar utama penyebab timbulnya konflik Acheh ini. Yaitu pihak RI yang menjajah Negeri Acheh.

Penggugatan dan pembongkaran kembali proses penelanan dan pecaplokan Negeri Acheh melalui mulut Sumatera Utara inilah yang memang masuk diakal dan suatu kewajaran dilihat dari sudut hukum.Mengapa ? Karena memang masuknya Negeri Acheh kedalam RI tidak melalui perundingan atau perjanjian, sebagaimana yang dilakukan antara Negara-Negara Bagian RIS dengan pihak RI. Inilah kepingan proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan negeri Acheh yang oleh pihak RI kalau bisa dihilangkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Negara RI.

Terakhir saudara Rasjid Prawiranegara menulis: “Bpk Ahmad berupaya untuk meyakinkan bahwa Aceh itu terpisah dari NKRI, tetapi factnya dan berdasarkan penjelasan Bapak memberikan pemahaman bahwa Aceh itu secara hukum berada dalam NKRI. Dipeta UMUM baik yang dikeluarkan oleh RI atau pun terbitan luar negeri, tentu Pak Ahmad Sudirman tidak dapat membantah bahwa Aceh merupakan Wilayah RI. Oknum/organisasi yang mencoba memisahkan Aceh dari NKRI, maka ia akan berhadapan tidak saja dengan Rakyat Aceh, tetapi juga Rakyat Indonsia. Kalau fact sudah terbentang jelas, apa yang dapat diputar balikkan, kecuali mereka yang tidak dapat melihat. Yang atas tetap atas yang bawah tetap bawah meskipun ia terbalik (namanya terbalik).”

Kembali disini saudara Rasjid masih tetap berusaha menyamarkan atau mengkaburkan apa yang telah diterangkan oleh Ahmad Sudirman.

Ahmad Sudirman bukan meyakinkan, tetapi Ahmad Sudirman mengemukakan dan menampilkan fakta, bukti, dasar hukum dan sejarah tentang Negeri Acheh yang ditelan oleh pihak Presiden RIS Soekarno dengan memakai PP RIS No.21/1950 dan PERPPU No.5/1950 melalui mulut Sumatera Utara. Itulah fakta yang sebenarnya. Bukan hanya sekedar keyakinan, tanpa fakta dan bukti, dasar hukum, dan sejarah.

Kemudian itu menyinggung soal peta umum RI. Jelas peta umum tentang RI itu lahir setelah Negeri Acheh ditelan masuk kedalam tubuh Sumatera Utara yang berada dalam RIS yang melebur jadi RI yang menjelma menjadi NKRI. Dan soal peta umum itu bisa berobah setiap saat, tergantung pada perobahan politik yang terjadi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan RI dan Negeri Acheh. Jadi tidak berarti peta umum itu konstan, artinya tidak berobah. Melainkan itu peta umum bisa berobah setiap saat, tergantung pada perobahan geograpi RI.

Karena Negeri Acheh itu memang bukan milik RI, maka sewajarnya dan sebaiknya itu Negeri Acheh dikembalikan lagi kepada rakyat Acheh. Tidak bisa rakyat Indonesia mengklaim itu Negeri Acheh milik rakyat Indonesia. Itu Negeri Acheh adalah barang rampokan yang dilakukan oleh Presiden RIS Soekarno. Tidak bisa barang rampokan diakui sebagai barang milik pribadi rakyat Indonesia. Itu berarti rakyat Indonesia menyetujui kejahatan yang dilakukan oleh Presiden RIS Soekarno menjajah Negeri Acheh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar