Oleh: Saidiman Ahmad
Yang menarik
dari perubahan pola pemikiran ini adalah bahwa meski memiliki cara pandang yang
berbeda, sebenarnya semua yang terbahas dalam buku ini berasal dari kelompok
yang sama, yakni Islam. Assyaukanie memperlihatkan optimisme terhadap masa
depan demokrasi liberal di Indonesia. Optimisme itu sangat beralasan karena
pendukung utamanya tidak lagi hanya berasal dari kalangan nasionalis, melainkan
juga dari kalangan santri yang kental dengan tradisi keilmuan Islam.
Soeharto paling
sering dianggap sebagai penyebab utama perubahan orientasi politik masyarakat
Muslim Indonesia. Represi Orde Baru terhadap gerakan politik Islam ditengarai
mematikan imajinasi Islam politik hingga kini. Tahun 1955, partai-partai Islam
berhasil meraup dukungan 43% suara. 40 tahun kemudian, kekuatan-kekuatan politik Islam hanya meraih suara
sekitar 15% (Pemilu 1999, 2004, dan 2009).
Luthfi Assyaukanie, melalui buku Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model
Negara Demokrasi di Indonesia, memiliki pandangan berbeda. Memang benar
Soeharto dan Orde Barunya memiliki andil besar dalam perubahan itu. Namun itu
bukan faktor tunggal. Faktor yang jauh lebih penting, menurut Assyaukanie,
adalah perubahan argumen yang terjadi pada kelompok-kelompok Islam sendiri.
Islam politik masa Orde Lama begitu kuat karena saat itu hampir tidak ada
kelompok Islam yang memiliki imajinasi lain tentang sistem politik di luar
negara Islam. Perdebatan sengit hanya terjadi antara kelompok Islam dan
nasionalis. Pada sidang-sidang Konstituante, misalnya, agenda-agenda politik
Islam terus didesakkan. Kalau saja tidak ada kepentingan persatuan yang lebih
mendesak, barangkali agenda-agenda politik Islam itu sudah lama
terimplementasi.
Muslim Demokratis
Pada masa Orde Lama partai-partai politik Islam memang memiliki kekuatan
signifikan yang mampu mengimbangi partai-partai politik nasionalis dan komunis.
Assyaukanie menunjukkan bahwa bukan berarti saat itu masyarakat Muslim
Indonesia benar-benar merindukan suatu sistem politik teokratis yang
totalitarian. Ini yang menarik.
Panjang lebar Assyaukanie menguraikan apa yang dibayangkan para pengusung
negara Islam saat itu. Kelompok ini lebih banyak
tergabung dalam partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Di antara
tokoh utamanya adalah Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Sjafruddin
Prawiranegara, Mohamad Roem, Abu Hanifah, Hamka, dan Mohammad Rasjidi. Ketika
bicara tentang negara Islam, para tokoh ini ternyata tidak sedang membayangkan
Arab Saudi, Pakistan, Iran, atau negara Muslim manapun di Timur Tengah. Model ideal bagi pembentukan negara Islam,
bagi mereka, justru adalah beberapa negara Barat “Kristen.” Natsir membayangkan Inggris yang religius sebagai model negara
Islam. Abu Hanifah membayangkan Belanda dan Swiss patut ditiru untuk
pembentukan negara Islam Indonesia (hlm. 83).
Meski mereka
menolak sekularisme, tapi mereka juga tidak bisa disebut sebagai penganut
teokrasi. Bagi mereka,
pemisahan agama dan negara dalam Islam adalah sesuatu yang mustahil. Mereka
mempersatukan agama dan negara dengan cara-cara demokratis. Penyatuan agama dan
negara tidak serta merta berarti teokrasi. Mereka percaya bahwa negara-negara
seperti Inggris dan Amerika adalah negara-negara demokratis tapi tetap
memasukkan beberapa unsur agama dalam urusan negara. Sangat mungkin suatu
negara menerima penyatuan dengan agama tapi tetap demokratis (hlm. 85).
Natsir
menyatakan bahwa negara bukanlah tujuan akhir seorang Muslim. Ia hanyalah alat
untuk mencapai tujuan. Memposisikan negara sebagai alat, dan bukan tujuan,
menurut Assyaukanie, adalah pandangan yang progressif di kalangan pemikir
Islam. Implikasi dari
pernyataan bahwa negara bukan tujuan akhir adalah fleksibilitas konsep negara.
Itu sebabnya negara mesti dicapai melalui cara-cara rasional. Di sini tampak
mereka menggunakan argumen pemikir Islam Mesir, Ali Abd. Raziq, yang menyatakan
bahwa konsep negara sepenuhnya berasal dari diskursus rasional. Ia tidak
memiliki basis doktrin agama.
Meski mereka menghendaki penyatuan agama dan negara, tapi dengan tegas
mereka menolak menyerahkan urusan negara kepada tokoh agama. Karena ia produk
rasional, negara harus dikelola secara rasional pula dengan cara memberi
pilihan dan peran kepada rakyat seluas-luasnya untuk menentukan bentuk dan
sistem politik terbaik (hlm. 88).
Data-data ini menunjukkan bahwa isu negara Islam yang dikampanyekan Masyumi
dan partai-partai Islam lain hanyalah retorika politik. Tujuan utama mereka
adalah demokrasi. Kesimpulan ini diperkuat oleh praktik demokrasi liberal pada
Orde Lama yang justru mencapai puncaknya di tangan perdana menteri-perdana
menteri Masyumi: Mohammad Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Herbert
Feith (1962) menyebut pemerintahan Natsir adalah yang terbaik pada masa
demokrasi konstitusional di era Orde Lama. Pemilihan Umum bahkan dilakukan
pertama kali pada masa pemerintah Burhanuddin Harahap.
Demokrasi pada masa Orde Lama sesungguhnya menghadapi dua ancaman terbesar:
kediktatoran Soekarno dan totalitarianisme partai komunis. Kampanye populis
yang dibawa oleh kelompok nasionalis Soekarnois dan komunisme PKI hanya mungkin
diimbangi dengan retorika agama oleh kelompok Islam. Assyaukanie menulis,
“kalau anggota Masyumi ditanya kenapa mereka mendukung demokrasi, jawabannya
hampir pasti adalah Islam” (hlm. 94). Islamlah yang membuat mereka demokratis.
Tiga Model
Argumentasi demokrasi dalam Islam menjadi semakin kuat pasca Masyumi.
Assyaukanie menulis munculnya dua model orientasi politik Islam demokratis lain
selain negara demokrasi Islam, yakni negara demokrasi agama dan negara
demokrasi liberal.
Kedua model terakhir ini sama-sama mendukung eksistensi negara yang netral
agama. Bedanya adalah bahwa model kedua masih menginginkan keterlibatan agama
dalam politik, sementara yang terakhir sama sekali mendambakan suatu model
negara demokrasi yang sepenuhnya sekuler.
Yang menarik dari perubahan pola pemikiran ini adalah bahwa meski memiliki
cara pandang yang berbeda, sebenarnya semua yang terbahas dalam buku ini
berasal dari kelompok yang sama, yakni Islam. Assyaukanie memperlihatkan
optimisme terhadap masa depan demokrasi liberal di Indonesia. Optimisme itu
sangat beralasan karena pendukung utamanya tidak lagi hanya berasal dari
kalangan nasionalis, melainkan juga dari kalangan santri yang kental dengan
tradisi keilmuan Islam.
Tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo,
dan Abdurrahman Wahid adalah sarjana-sarjana Indonesia garda depan dalam
pemikiran Islam (baik Islam klasik maupun ilmu-ilmu sosial modern). Di hadapan
para sarjana pendukung demokrasi liberal ini, para pendukung negara Islam
tampak sama sekali tak punya pijakan. Hilangnya argumentansi di kalangan
pengusung negara Islam secara langsung menjatuhkan perolehan suara
partai-partai Islam dalam beberapa Pemilu terakhir. Sementara tokoh-tokoh Islam
pro-demokrasi itu telah melahirkan demikian banyak kader yang tersebar di
seluruh tanah air dan terus menerus memproduksi gagasan Islam
progressif-liberal-demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar