12 Juni 2013

Kandasnya Imajinasi Politik Islam

Oleh: Saidiman Ahmad

Yang menarik dari perubahan pola pemikiran ini adalah bahwa meski memiliki cara pandang yang berbeda, sebenarnya semua yang terbahas dalam buku ini berasal dari kelompok yang sama, yakni Islam. Assyaukanie memperlihatkan optimisme terhadap masa depan demokrasi liberal di Indonesia. Optimisme itu sangat beralasan karena pendukung utamanya tidak lagi hanya berasal dari kalangan nasionalis, melainkan juga dari kalangan santri yang kental dengan tradisi keilmuan Islam.

Soeharto paling sering dianggap sebagai penyebab utama perubahan orientasi politik masyarakat Muslim Indonesia. Represi Orde Baru terhadap gerakan politik Islam ditengarai mematikan imajinasi Islam politik hingga kini. Tahun 1955, partai-partai Islam berhasil meraup dukungan 43% suara. 40 tahun kemudian, kekuatan-kekuatan politik Islam hanya meraih suara sekitar 15% (Pemilu 1999, 2004, dan 2009).

Luthfi Assyaukanie, melalui buku Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, memiliki pandangan berbeda. Memang benar Soeharto dan Orde Barunya memiliki andil besar dalam perubahan itu. Namun itu bukan faktor tunggal. Faktor yang jauh lebih penting, menurut Assyaukanie, adalah perubahan argumen yang terjadi pada kelompok-kelompok Islam sendiri.


Islam politik masa Orde Lama begitu kuat karena saat itu hampir tidak ada kelompok Islam yang memiliki imajinasi lain tentang sistem politik di luar negara Islam. Perdebatan sengit hanya terjadi antara kelompok Islam dan nasionalis. Pada sidang-sidang Konstituante, misalnya, agenda-agenda politik Islam terus didesakkan. Kalau saja tidak ada kepentingan persatuan yang lebih mendesak, barangkali agenda-agenda politik Islam itu sudah lama terimplementasi.

Muslim Demokratis

Pada masa Orde Lama partai-partai politik Islam memang memiliki kekuatan signifikan yang mampu mengimbangi partai-partai politik nasionalis dan komunis. Assyaukanie menunjukkan bahwa bukan berarti saat itu masyarakat Muslim Indonesia benar-benar merindukan suatu sistem politik teokratis yang totalitarian. Ini yang menarik.

Panjang lebar Assyaukanie menguraikan apa yang dibayangkan para pengusung negara Islam saat itu. Kelompok ini lebih banyak tergabung dalam partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Di antara tokoh utamanya adalah Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Abu Hanifah, Hamka, dan Mohammad Rasjidi. Ketika bicara tentang negara Islam, para tokoh ini ternyata tidak sedang membayangkan Arab Saudi, Pakistan, Iran, atau negara Muslim manapun di Timur Tengah. Model ideal bagi pembentukan negara Islam, bagi mereka, justru adalah beberapa negara Barat “Kristen.” Natsir membayangkan Inggris yang religius sebagai model negara Islam. Abu Hanifah membayangkan Belanda dan Swiss patut ditiru untuk pembentukan negara Islam Indonesia (hlm. 83).

Meski mereka menolak sekularisme, tapi mereka juga tidak bisa disebut sebagai penganut teokrasi. Bagi mereka, pemisahan agama dan negara dalam Islam adalah sesuatu yang mustahil. Mereka mempersatukan agama dan negara dengan cara-cara demokratis. Penyatuan agama dan negara tidak serta merta berarti teokrasi. Mereka percaya bahwa negara-negara seperti Inggris dan Amerika adalah negara-negara demokratis tapi tetap memasukkan beberapa unsur agama dalam urusan negara. Sangat mungkin suatu negara menerima penyatuan dengan agama tapi tetap demokratis (hlm. 85).


Natsir menyatakan bahwa negara bukanlah tujuan akhir seorang Muslim. Ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Memposisikan negara sebagai alat, dan bukan tujuan, menurut Assyaukanie, adalah pandangan yang progressif di kalangan pemikir Islam. Implikasi dari pernyataan bahwa negara bukan tujuan akhir adalah fleksibilitas konsep negara. Itu sebabnya negara mesti dicapai melalui cara-cara rasional. Di sini tampak mereka menggunakan argumen pemikir Islam Mesir, Ali Abd. Raziq, yang menyatakan bahwa konsep negara sepenuhnya berasal dari diskursus rasional. Ia tidak memiliki basis doktrin agama.

Meski mereka menghendaki penyatuan agama dan negara, tapi dengan tegas mereka menolak menyerahkan urusan negara kepada tokoh agama. Karena ia produk rasional, negara harus dikelola secara rasional pula dengan cara memberi pilihan dan peran kepada rakyat seluas-luasnya untuk menentukan bentuk dan sistem politik terbaik (hlm. 88).

Data-data ini menunjukkan bahwa isu negara Islam yang dikampanyekan Masyumi dan partai-partai Islam lain hanyalah retorika politik. Tujuan utama mereka adalah demokrasi. Kesimpulan ini diperkuat oleh praktik demokrasi liberal pada Orde Lama yang justru mencapai puncaknya di tangan perdana menteri-perdana menteri Masyumi: Mohammad Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Herbert Feith (1962) menyebut pemerintahan Natsir adalah yang terbaik pada masa demokrasi konstitusional di era Orde Lama. Pemilihan Umum bahkan dilakukan pertama kali pada masa pemerintah Burhanuddin Harahap.

Demokrasi pada masa Orde Lama sesungguhnya menghadapi dua ancaman terbesar: kediktatoran Soekarno dan totalitarianisme partai komunis. Kampanye populis yang dibawa oleh kelompok nasionalis Soekarnois dan komunisme PKI hanya mungkin diimbangi dengan retorika agama oleh kelompok Islam. Assyaukanie menulis, “kalau anggota Masyumi ditanya kenapa mereka mendukung demokrasi, jawabannya hampir pasti adalah Islam” (hlm. 94). Islamlah yang membuat mereka demokratis.

Tiga Model

Argumentasi demokrasi dalam Islam menjadi semakin kuat pasca Masyumi. Assyaukanie menulis munculnya dua model orientasi politik Islam demokratis lain selain negara demokrasi Islam, yakni negara demokrasi agama dan negara demokrasi liberal.

Kedua model terakhir ini sama-sama mendukung eksistensi negara yang netral agama. Bedanya adalah bahwa model kedua masih menginginkan keterlibatan agama dalam politik, sementara yang terakhir sama sekali mendambakan suatu model negara demokrasi yang sepenuhnya sekuler.

Yang menarik dari perubahan pola pemikiran ini adalah bahwa meski memiliki cara pandang yang berbeda, sebenarnya semua yang terbahas dalam buku ini berasal dari kelompok yang sama, yakni Islam. Assyaukanie memperlihatkan optimisme terhadap masa depan demokrasi liberal di Indonesia. Optimisme itu sangat beralasan karena pendukung utamanya tidak lagi hanya berasal dari kalangan nasionalis, melainkan juga dari kalangan santri yang kental dengan tradisi keilmuan Islam.


Tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid adalah sarjana-sarjana Indonesia garda depan dalam pemikiran Islam (baik Islam klasik maupun ilmu-ilmu sosial modern). Di hadapan para sarjana pendukung demokrasi liberal ini, para pendukung negara Islam tampak sama sekali tak punya pijakan. Hilangnya argumentansi di kalangan pengusung negara Islam secara langsung menjatuhkan perolehan suara partai-partai Islam dalam beberapa Pemilu terakhir. Sementara tokoh-tokoh Islam pro-demokrasi itu telah melahirkan demikian banyak kader yang tersebar di seluruh tanah air dan terus menerus memproduksi gagasan Islam progressif-liberal-demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar