12 Juni 2013

Nahdhatul Ulama (NU)

Oleh: Widia Munira

Nahdhatul Ulama

Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Peperangan Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol (1821-1837) membuat Belanda menyadari bahwa gerakan pemurnian (Pembaharuan Islam) merupakan gerakan yang membahayakan bagi kedudukan Belanda di tanah air maka Belanda perlu memberi sokongan kepada organisasi yang menentang gerakan ini. Deliar Noer seorang penulis “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” memberikan catatan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang didirikan Belanda, sekurang-kurangnya sebagai organisasi yang disokong Belanda dalam melawan golongan pemurnian (pembaharu) atau dikenal dengan golongan anti bid’ah, khurafat, takhayul, dan kemusyrikan. Lihat umpamanya Oemar Amin Hoesin, “Sedjarah Perkembangan Politik Moderen di Indonesia, “ Hikmah, tahun VIII, No. Lebaran 20/21 (1955). Hoesin menyebut kahadiran Charles van der Plas pada Kongres al-Islam di Cirebon tahun 1922 sebagai bukti tuduhan tersebut. Penulis buku ini (Deliar Noer, pen) berpendapat bahwa kehadiran seorang pejabat seperti itu pada suatu kongres, Islam atau bukan Islam, merupakan suatu hal yang biasa semenjak masa permulaan Sarekat Islam. Tentang tuduhan ini, lihat juga Hindia Baru, 19 Februari 1926.

Latar Belakang Terbentuknya NU

Karel A. Steenbrink (peneliti Belanda) menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut. Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri.
Kemudian di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki. Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia. Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbulah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya:
“Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i.

Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut. Persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis: “Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.


Dr. Deliar Noer Menulis, Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah.
Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi. Tetapi kongres di Kairo itu ditunda karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.
Umat Islam di Jawa tertarik pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama yang tidak sesuai dengan ajaran islam (praktik Bid’ah, syirik dan Khurafat). Namum ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak.

Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.

Tujuan dan Usaha NU
v  Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

v  Usaha Organisasi

                  a.       Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

                  b.      Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.

                  c.       Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.

                  d.      Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu masyarakat.

                  e.       Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat.

Perkembangan NU

Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.

Kalangan pesantren merespon spirit ini dengan membentuk berbagai organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) pada 1918 yang bergerak di bidang pendidikan sosial politik, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Saudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. NU memang dikenal sebagai organisasi Muslim tradisional dan sejak awal anggotanya adalah laki-laki. Namun demikian, pemimpin NU sejak awal telah merespon isu-isu perempuan secara progresif. KH. Wahid Hasyim yang merupakan putera KH. Hasyim Asy’ari misalnya pernah membolehkan perempuan menjadi seorang hakim. Isu perempuan semakin mendapatkan perhatian ketika Kiai Dahlan mengusulkan berdirinya organisasi perempuan NU di Kongres NU ke XIII di Menes Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938.

Kongres ini sangat penting karena mulai membicarakan tentang perlunya perempuan mendapatkan kesamaan hak untuk mendapatkan didikan agama melalui NU. Ketika itu kongres baru menyetujui perempuan untuk menjadi anggota NU yang hanya bisa menjadi pendengar dan pengikut dan tidak boleh duduk dalam kepengurusan. Perkembangan penting kembali terjadi pada kongres NU ke XV di Surabaya pada tanggal 5-9 Desember 1940. Ketika itu, terjadi perdebatan sengit merespon usulan agar anggota perempuan NU mempunyai struktur pengurusnya sendiri di dalam NU. Kiai Dahlan termasuk mereka yang gigih memperjuangkan agar usulan tersebut diterima. Hingga sehari sebelum kongres berakhir, peserta tidak mampu memutuskan hingga akhirnya disepakati untuk menyerahkan keputusan akhirnya pada Pengurus Besar Syariah NU. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kiai Dahlan untuk mendapatkan persetujuan secara tertulis dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Setelah didapatkan, maka peserta kongres pun dengan mudah menyetujui perlunya anggota perempuan NU untuk memiliki struktur kepengurusannya sendiri di dalam NU.

Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsif dibanding seniornya dalam menghadapi modernitas.

Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”. Tradisionalisme itu di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apa pun upaya yang dilakukan untuk “mengubah wajah NU” harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri. Tradisionalisme itu biasanya ditandai beberapa hal. Pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meski belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elite pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan, tetapi mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan, dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas.

Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khairat. Ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah.

Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.
Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:
1.      Tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.

2.      Melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.

3.      Menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.

4.      Tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.

5.      Memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.

6.      Jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada…dan qubahnya aulia atau ulama…

7.      Mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus Madinah…

8.      Melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos…., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).

Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.
Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.

Pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja Ibnu Sa’ud. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.
Dalam jawabannya, berupa surat, Raja Ibnu Sa’ud mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat. Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU.

Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam. Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab.
Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta. Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab. Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua. Tanda tangan dan stempel.
Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346 H. Usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan Dalam sejarahnya Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat.

Perjuangan mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik/shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu. Ternyata balasan surat Raja Saudi, telah diputar balikkan sedemikian rupa yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU mau. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.
Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Ahlus Sunnah wal Jama’ah Versi NU sendiri yaitu memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat.

Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU.

Pergeseran NU

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dan dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.

NU di kabupaten Temanggung bermula dan para pengikut Toriqoh Naqshabandiyah yang berpusat di Sokaraja Banyumas. Kebetulan Temanggung termasuk wilayah Banyumas konsul yang diketuai oleh Raden Muhtar. Kota Parakan mulanya dijadikan badal mengingat cabang toriqoh Sukaraja berpusat di Parakan.

Kesimpulan

Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat dungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi.

Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Ahlus Sunnah wal Jama’ah Versi NU sendiri yaitu memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat.


Daftar Pustaka

Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Suryanegara Mansur Ahmad. 2009. Api Sejarah. Bandung: PT Salamadani Pustaka Semesta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar