Pergerakan Nasional Indonesia; Suasana
Baru Sesudah Tahun 1926 Dan Gaya Baru Dalam Pergerakan Nasional
Abad
ke-20 bagi indonesia merupakan periode mobilisasi politik massa yang bercorak
radikal serta penuh kekerasan. Kalau mobilisasi yang dijalankan oleh Sarekat
Islam (SI) pada tahun awal-awal eksistensinya lebih dijiwai oleh revivalisme
agama, sehingga oleh PKI lebih diarahkan ke suatu revolusi sebagai pemenuhan
doktrin Marxisme dengan perjuangan kelas yang terkenal itu. Pada masa itu
memang jelas kecenderungan struktural tampak memberi angin kepada gerakan
komunis, tidak lain karena kalau pada satu pihak ada pertumbuhan ekonomi
perkebunan yang luar biasa maka pada pihak lain kehidupan rakyat kecil semakin
merana. Di sini masalah eksploatasi dengan jelas dapat ditonjolkan sehingga
mudah mendorong ke arah aksi penuh kekerasan. Meskipun di beberapa tempat
mobilisasi rakyat berhasil, namun sifatnya tetap merupakan segmentasi dan
terisolasi satu sama lain sehingga dengan mudah dapat ditindas oleh penguasa
kolonial.
Kecuali
kejutan politik, rupanya dampak pemberontakan PKI tahun 1926 itu tidak banyak
artinya. Di kalangan kaum moderat dari pergerakan nasional timbul sikap mencela
tindakan keras itu, sedang di kalangan kaum nasionalis berhaluan radikal
diusahakan mencari alternatif bentuk perjuangan yang lain dalam menghadapi
kolonialisme yang semakin gigih dipertahankan oleh Belanda seperti yang
disuarakan oleh Colijn dan Treub. Dalam rangka mencari alternatif itu, beberapa
konsiderasi historis menunjukkan orientasi politik yang jelas, yaitu: (1)
Garis-garis pokok manifesto politik PI memberi pegangan yang fundamental. (2)
Secara berturut-turut para anggota PI pulang ke Indonesia. (3) Munculnya
kepemimpinan kaum inteligensia yang bukan anggota PI. (4) Mobilisasi rakyat
telah mengarak ke suatu momentum, sehingga perlu diteruskan dengan kepemimpinan
baru. (5) Tampuk pimpinan kekuasaan kolonial yang dipegang oleh Gubernur
Jenderal de Graeff masih memberi ruang gerak politik bagi kegiatan kaum
nasionalis.
Meskipun
sumber-sumber daya pergerakan nasional telah tersedia, seperti kepemimpinan,
ideologi massa sebagai pendukung, organisasi-organisasi sebagai wahana
komunikasi, namun ada faktor-faktor minus yang menghambatnya, antara lain
konflik antar dan dalam organisasi, rivalitas antara pemimpin, pluralitas
masyarakat Indonesia dengan golongan-golongan politiknya, kesenjangan antara
elite dan massa. Jelaslah bahwa faktor-faktor itu kontra produktif dan hanya
mempunyai akibat saling melemahkan belaka. Dalam menghadapi proliferasi
kekuatan nasional itu, pemerintah kolonial dengan mudah mempergunakan situasi
penuh konflik itu untuk menempuh politiknya yang semakin reaksioner.
Dipandang
dalam konteks itu, maka pembentukan PNI (Partai Nasional Indonesia) merupakan
jawaban tepat terhadap tantangan zaman serta yang optimal dapat diusahakan
untuk memakai sumberdaya yang tersedia. Secara eksplisit dinyatakan bahwa di
dalam PNI tidak ada diskriminasi menurut ras, suku, agama, golongan sosial, dan
lain sebagainya. Prinsip-prinsip PI pada umumnya dipakai sebagai pokok-pokok
asas tujuan, meskipun para pendiri tidak menerima ide PI secara keseluruhannya
dengan alasan bahwa organisasi politik Indonesia perlu mengadakan penyesuaian
terhadap lingkungan sosialnya yang nyata sekali berbeda dengan lingkungan di
negeri Belanda. Itulah pula sebabnya mengapa konsep Serikat Rakyat Nasional
Indonesia (SRNI) seperti yang diajukan oleh Soedjadi sebagai perantara PI di
Indonesia tidak dapat diterima. PNI mempunyai pendukung-pendukung seperti
Sartono, Soekarno, Soenarjo, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, Maskun,
Gatot Mangkupraja, dan lain-lain. Berbeda dengan PI, PNI tidak menegaskan
perjuangan kelas tetapi lebih menekankan perjuangan melawan kolonialisme; jadi,
lebih merupakan perjuangan rasial. Jiwa populistisnya kemudian lebih dikenal
sebagai marhaenisme.
Suatu
dampak yang menonjol dari politik konservatif Gubernur Jenderal Fock ialah
pergerakan nasional menempuh jalan makin radikal dalam memperjuangkan tujuannya
yang semakin berubah menjadi politik murni. Lokasi sosial golongan yang
mendukung suatu organisasi pergerakan akan sangat menentukan derajat
radikalismenya. Kalau ternyata PKI menyediakan suatu alternatif yang kemudian
menemui kegagalan, kaum inteligensia sejak pertengahan tahun 1920-an berusaha
membentuk organisasi politik berdasarkan prinsip-prinsip seperti yang telah
digariskan oleh PI. Manifesto politiknya sebagai hasil pemikiran di kalangan PI
dapat dipandang sebagai ekspresi jiwa nasionalisme yang telah mengalami
pemekaran sepenuhnya.
Sesuai
dengan kedudukannya, kaum inteligensia telah mengadakan interpretasi yang tepat
mengenai situasi sosial-politik di Indonesia dalam tahun 1920-an itu serta
secara tepat pula merumuskan diagnosis sosial untuk dapat mengatasi
permasalahannya. Pandangan PI yang bersifat global dapat menunjukkan
pokok-pokok hakiki dalam situasi kolonial, dan oleh karenanya prinsip-prinsip
demokrasi, swadaya, dan persatuan merupakan soko
guru pergerakan nasional di masa-masa kemudian. Idealisme politik yang
berkembang di kalangan PI mencerminkan lokasi sosial-histori para pendukungnya
yang mengandung antara lain faktor-faktor seperti: (1) Suasana politik bebas di
negeri Belanda dengan kebebasan berkumpul dan berbicara; (2) Para anggota PI
sebagai mahasiswa pada umumnya tidak mempunyai ikatan dengan kepentingan
tertentu; (3) Solidaritas antaretnik mudah terpuruk, lebih-lebih di kalangan
kecil sesama golongan akademik. Meskipun manifesto politik tersebut memberi
orientasi tujuan yang jelas bagi bagi perjuangan politik dengan Indonesia serta
sebagai idealisme sangat meningkatkan aspirasinya, namun dalam kehidupan
politik praktis di Indonesia sering dirasakan kurang sesuai dengan situasi yang
sebenarnya, dan ada kalanya disambut dengan kritik tajam sebagai hal yang tidak
realitis, lagi pula terlalu lepas dari rakyat.
Ada
faktor lain yang menimbulkan dugaan bahwa konsepsi PI tidak dapat begitu saja
diterima dan dipraktekkan di Indonesia, ialah adanya kecurigaan pada pihak
Belanda bahwa konsep PI itu sebenarnya berasal dari konsepsi Semaoen. Bantahan
Moh. Hatta mengenai tuduhan itu tidak berdaya menghilangkan kecurigaan itu.
Di
samping itu muncullah kontroversi besar antara konsepsi Hatta-Sjahrir dengan
konsepsi Soekarno. Yaitu pihak pertama mengarahkan perjuangan politik sebagai
pelaksanaan melawan kapitalisme sebagai biang keladai kolonialisme Belanda,
sedang pihak kedua lebih mengarah pada konfrontasi “front cokelat” melawan
“front putih”. Tambahan pula pihak pertama menghendaki pendidikan kader sebelum
memobilisasi rakyat, sedang yang kedua langsung mengutamakan mobilisasi rakyat.
Kontroversi ini akan mengakibatkan keretakan serta perpecahan di kalangan
inteligensia sebagai pemimpin pergerakan nasional.
Dengan
demikian, sejak awal usaha melancarkan perjuangan politik dengan gaya baru
telah terkandung benih-benih faksionalisme secara konflik intern sehingga
prinsip persatuan menghadapi hambatan yang besar. Tambahan pula dilancarkan
kritik tajam dari PSI, khususnya kelompok H.A Salim, yang mencap gerakan PI
bersikap terlalu negatif, ialah merangsang perasaan anti-Belanda, sedangkan
sebaliknya sama sekali tidak ada kesediaan berkorban untuk rakyat. Kecuali itu
kaum inteligensia itu sudah terasing dari rakyatnya sendiri.
Dirasakan
oleh H.A Salim bahwa perkembangan gerakan nasionalis di luar PSI akan semakin
meningkatkan gerakan sekuler, suatu kecenderungan yang pasti semakin merongsong
PSI yang telah mengalami kemunduran itu. Jelaslah pula bahwa gerakan SI (PSI)
telah kehilangan momentum, dan tahun 1920-an ditandai oleh nasionalisme Indonesia
yang tidak lagi bernaung di bawah panji-panji Islam secara sepenuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar