3 Desember 2012

Kearifan Aceh


Oleh: T.A.  Sakti

Watak suatu masyarakat sangat dipengaruhi pengalaman sejarahnya. Dalam hal ini, bagi manusia-Aceh (orang Aceh) tentu diakibatkan perkembangan sejarah daerah ini. Karena itu ada pendapat yang menyebutkan bahwa karakter manusia Aceh sebelum pecah-perang melawan Belanda (tahun 1873); agak berbeda dengan perilaku manusia Aceh sesudah “trauma” sejarah itu. “Jati diri” bentukan setelah periode perang Aceh melawan Belanda itulah yang diwarisi manusia Aceh dewasa ini.


Cara “termudah” mengenal kembali ‘kepribadian’ manusia Aceh sebelum tahun 1873 hanyalah dengan menilai ulang warisan kebudayaan Aceh yang tersisa. Pusaka zaman lampau Aceh itu seperti cerita rakyat (dongeng) yang pernah ‘hidup’ di Aceh, baik yang telah dibukukan maupun yang berceceran. Selain itu hikayat-hikayat Aceh tulisan tangan yang jumlah jenisnya puluhan bahkan ratusan macam; dapat pula diambil inti-pati kisahnya untuk bahan/sumber garapan.

Toleransi

Bentuk arsitektur dari bangunan kuno yang masih tersisa di Aceh cukup berguna pula. Pada bangunan lama itu dapat disaksikan perpaduan yang serasi dari unsur-unsur yang asal-usulnya berbeda. Hal itu akan ‘mengesankan’ kepada kita hari ini, bahwa endatu (nenek moyang) manusia Aceh tempo dulu memiliki rasa toleransi yang tebal terhadap perbedaan ‘kebudayaan’ yang mengitari hidupnya.

Contoh konkrit dapat kita lihat pada beberapa bangunan mesjid, sisa peninggalan masa lampau Aceh. Mesjid Indrapuri (Aceh Besar), Mesjid Poteumeuruhom, Mukim Kandang, Kecamatan Sakti (Pidie), Mesjid Poteumeuruhom, Busu-Mutiara (Pidie).

Ketiga bangunan mesjid tersebut arsitekturnya “sangat mirip” dengan arsitektur bangunan Mesjid Demak. Yaitu penggabungan antara gaya arsitektur Aceh sebelum kedatangan agama Islam dengan arsitektur bangunan tempat ibadat yang Islami (dari Tanah Arab).

Bangunan mesjid dengan arsitektur. ‘khas Aceh’ ini, memang sangat jarang bisa ditemukan di Aceh dewasa ini, karena manusia Aceh sangat kurang “fanatik” terhadap hal-hal yang menyangkut budaya daerahnya, dibandingkan masyarakat daerah-daerah lain.

Sikap Rasional

Dalam berbagai hikayat Aceh dapat ‘disaring’ pula intisari yang berkaitan dengan perilaku manusia terpuji. Hasil seleksi itu dapat dijadikan bahan rujukan “membentuk” watak manusia seutuhnya. Kepribadian demikian bercirikan berperilaku ramah, bercakrawala luas, penuh toleransi sesama manusia, tidak bertindak gegabah, sabar-tabah, menghargai adat-istiadat, bersikap rasional-kurang egoistis, menjaga tata krama dan sebagainya.

Banyak “tokoh pelaku” atau pelakon cerita yang terlibat dalam rentangan kisah hikayat-hikyat Aceh yang berwatak sebagai manusia budiman, yang setiap tindakannya dilakukan dengan bijaksana, berkepala dingin; sampai mencapai tujuannya. “Uleue beumate ranteng bek patah” (Ular terbunuh sedang kayu pemukul tetap utuh, alias menang tanpa perang). Yakni cukuplah hanya membunuh ‘ular’ yang jahat saja, jangan sampai mematahkan ‘ranting’ yang masih bermanfaat.

Bagi manusia yang bersikap rasional, tidaklah membunuh tikus dengan sekaligus membakar rumah sendiri.

Sikap toleransi dan saling menghormati di antara orang yang berbeda bahasa, lain asal keturunan, berbeda budaya, beda bangsa, tak sama pandangan hidup dan bebagai ketidaksamaan lain; dapat ditemukan pada bagian-bagian tertentu dalam hikayat-hikayat Aceh yang disusun para pujangga Aceh jauh sebelum perang Belanda di Aceh.

Membaca hikayat-hikayat peninggalan sebelum perang Aceh, serta membaca pula hikayat Aceh periode perang itu (terutama Hikayat Perang Sabi), jelas sekali bagaimana watak manusia idola yang dikehendaki kedua zaman tersebut. Masa damai melahirkan insan-insan budiman, zaman perang membentuk watak manusia suka kekerasan.

Patut Dikaji

Memang, mungkin sebagian dari hikayat Aceh bukan karya asli para pengarang Aceh. Namun, setelah dialihbahasakan serta “dipermak” sedemikian rupa, maka setiap unsur budaya yang disinggung di dalamnya benar-benar sudah seirama dengan kebudayaan Aceh, sehingga menjadi bacaan rebutan bagi manusia Aceh tempo doeloe. Hikayat Meudeuhak, Aulia Tujoh, Abu Nawah, Nasruwan Ade, Zul Karnaini, Tajussalatin, Banta Keumari (hasil alih aksara kesemua hikayat Aceh tersebut, pernah dimuat secara bersambung dalam Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh antara tahun 1992-1994), Hikayat Kancamara, Banta Lidan, Putroe Jeumpa, Banta Amat, Sidan Riya, Indra Bangsawan, Laksana Diwa, dan Banta Beuransah, termasuk di antara hikayat-hikayat Aceh yang patut/perlu dikaji untuk menemukan “kembali” watak-watak ‘asli’ manusia Aceh yang dihayati mereka sebelum melekat (meusiliek) pengaruh trauma sejarah zaman petaka Belanda.

Karya Baru 

Menghayati kembali kearifan manusia Aceh bukan perkara mudah, disebabkan telah berlalu jarak waktu yang cukup lama. Menoleh ke masa lampau itu, bukanlah berarti kita menghimbau manusia Aceh supaya meminati kembali “kegiatan” membaca hikayat-hikayat Aceh. Sebab, tradisi demikian sudah kadaluwarsa menurut naluri pemikiran manusia Aceh yang bersifat dinamis.

Diantara cara yang dapat ditempuh adalah dengan usaha “mengolah” kembali kesemua hikayat Aceh yang pernah populer sebelum masa kedatangan Belanda. Pengolahan dilakukan sedemikian rupa (terperinci), sehingga menghasilkan “karya baru” yang tetap bermutu. Dalam hal penyajian kembali kepada masyarakat luas juga perlu ditempuh dengan bermacam bentuk penyajian modern, yakni sesuai model yang sedang populer di mata masyarakat dewasa ini.

Kreasi Baru

Upaya yang dituntut buat menghasilkan ‘karya baru’ itu, bukanlah sekedar alih bahasa dari bahasa daerah Aceh ke dalam bahasa Indonesia dan alih aksara (penggantian) huruf Jawoe/Arab Melayu ke huruf Latin. Tetapi yang dihasilkan adalah dalam bentuk cuplikan-cuplikan inti-pati terpenting yang mengandung unsur-unsur tertentu, yang akan dikaji dan hendak disaji bagi masyarakat.

Untuk dapat tercapai sasaran yang dituju, yakni manusia Aceh di zaman sekarang, maka kerja atau kegiatan pemberian “warna baru” terhadap budaya lama itu, perlu ditangani oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Pengolahan dengan pola multi keahlian ini, bertujuan agar karya baru yang dihasilkan nanti tetap up to date; sesuai perkembangan selera masyarakat masa kini. Kreasi baru yang bersumber dari kebudayaan tradisional, sudah lama dipraktekkan di beberapa daerah di luar daerah Aceh hingga sampai hari ini.

Timbul pertanyaan, apakah hasil olahan tersebut akan mampu disebarkan sehingga menjangkau masyarakat luas?, Tentu ini suatu masalah pelik, sebab manusia Aceh pada dasarnya belum tinggi minat bacanya, sehingga sukar mengumpulkan informasi melalui bahan bacaan, kecuali lewat “media” warung kopi.

Bumbu Penyedab

Cara penyebaran yang efektif sekaligus praktis adalah dengan mengedarkan buku-buku hasil “reformasi” budaya Aceh itu ke sekolah-sekolah. Dengan demikian, kearifan Aceh itu pun akan lebih cepat diserap oleh para murid/siswa sekolah, karena mereka tidak pernah terlibat sama sekali dengan trauma masa penjajahan Belanda. Ajaran “budi pekerti” ini pun dapat dijadikan pelajaran (bacaan tambahan) sebagai bumbu penyedap untuk mata pelajaran lainnya, seperti, Pendidikan Moral Pancasila, Sejarah Nasional, Bahasa Daerah, Sastra, Karang-mengarang dan sebagainya.

Bagi orang dewasa yang ‘sudah bebas’ dari kewajiban membaca buku-buku pelajaran, maka masih dapat ditempuh beberapa metode penyampaian lainnya, seperti lewat pendekatan dengan tokoh-tokoh kharismatis di kalangan mereka, drama di RRI/radio siaran niaga dan Tivi/TVRI. Bisa juga melalui ceramah dan pidato saat memperingati hari-hari besar dan lain-lain.

Pada tahap pertama sekarang, yang sangat penting berupa munculnya kesepakatan berbagai pihak, yang setuju mengkaji kembali khazanah kebudayaan Aceh yang cukup kaya dengan budi-pekerti yang sangat manusiawi. Memang, upaya “Ihyaon Tamaddon Aceh” (penghayatan kembali budaya Aceh) termasuk suatu kerja besar yang memerlukan dukungan berbagai pihak secara serius dan bersungguh-sungguh.

Kegiatan serupa yang patut diteladani adalah kerja keras pihak Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah. Prof. Dr. A. Teeuw bangsa Belanda yang ahli bahasa dan budaya Indonesia, pada tahun 1978 di Fakultas Sastra UNS pernah menggugah para perserta seminar. “Mengapa saya-lah yang harus menggali sumber-sumber kearifan Indonesia, menemui puncak-puncak kebudayaan Indonesia ini? Mengapa saya-lah yang harus berceramah disini? Seyogyanya saya yang duduk di sini sebagai murid, mendengarkan seorang guru Indonesia yang sungguh-sungguh ahli” katanya. (Majalah BASIS, September 1978, XXVII-12 halaman 359).

Enam belas tahun kemudian, ternyata ceramah A. Teeuw tentang budaya Jawa dengan judul: “Kakawin Kunjarakarna dan Kita”, telah membuahkan hasil. Di antara yang terpenting adalah “kerja keras” memreproduksi naskah-naskah lama Jawa oleh Universita Sebelas Maret. Dari 147 judul buku kuno bahasa Jawa yang akan “diolah kembali”, salah satunya naskah “Tajussalatin” yang sebenarnya berasal dari Aceh. Dalam sebuah berita disebutkan, bahwa kitab “Tajussalatin” adalah karya Ki Pandji Djayasubrata (Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh, Minggu, 9 Oktober 1994 halaman 4). Entah wartawan “Antara”  yang salah kutip atau memang Ki Pandji Djayasubrata yang jadi “plagiator” nya beberapa abad yang lalu!

Mudah-mudahan di Aceh pun akan tergerak upaya penggalian Kearifan Indonesia (daerah Aceh). Begitulah sebaiknya. Semoga!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar