Oleh: T.A. Sakti
Watak suatu masyarakat sangat dipengaruhi pengalaman sejarahnya. Dalam hal ini, bagi manusia-Aceh (orang Aceh) tentu diakibatkan perkembangan sejarah daerah ini. Karena itu ada pendapat yang menyebutkan bahwa karakter manusia Aceh sebelum pecah-perang melawan Belanda (tahun 1873); agak berbeda dengan perilaku manusia Aceh sesudah “trauma” sejarah itu. “Jati diri” bentukan setelah periode perang Aceh melawan Belanda itulah yang diwarisi manusia Aceh dewasa ini.
Cara “termudah” mengenal kembali ‘kepribadian’ manusia Aceh sebelum tahun 1873 hanyalah dengan menilai ulang warisan kebudayaan Aceh yang tersisa. Pusaka zaman lampau Aceh itu seperti cerita rakyat (dongeng) yang pernah ‘hidup’ di Aceh, baik yang telah dibukukan maupun yang berceceran. Selain itu hikayat-hikayat Aceh tulisan tangan yang jumlah jenisnya puluhan bahkan ratusan macam; dapat pula diambil inti-pati kisahnya untuk bahan/sumber garapan.
Toleransi
Bentuk arsitektur dari bangunan
kuno yang masih tersisa di Aceh cukup berguna pula. Pada bangunan lama itu
dapat disaksikan perpaduan yang serasi dari unsur-unsur yang asal-usulnya
berbeda. Hal itu akan ‘mengesankan’ kepada kita hari ini, bahwa endatu (nenek
moyang) manusia Aceh tempo dulu memiliki rasa toleransi yang tebal terhadap
perbedaan ‘kebudayaan’ yang mengitari hidupnya.
Contoh konkrit dapat kita lihat
pada beberapa bangunan mesjid, sisa peninggalan masa lampau Aceh. Mesjid
Indrapuri (Aceh Besar), Mesjid Poteumeuruhom, Mukim Kandang, Kecamatan
Sakti (Pidie), Mesjid Poteumeuruhom, Busu-Mutiara (Pidie).
Ketiga bangunan mesjid tersebut
arsitekturnya “sangat mirip” dengan arsitektur bangunan Mesjid Demak. Yaitu
penggabungan antara gaya arsitektur Aceh sebelum kedatangan agama Islam dengan
arsitektur bangunan tempat ibadat yang Islami (dari Tanah Arab).
Bangunan mesjid dengan
arsitektur. ‘khas Aceh’ ini, memang sangat jarang bisa ditemukan di Aceh dewasa
ini, karena manusia Aceh sangat kurang “fanatik” terhadap hal-hal yang
menyangkut budaya daerahnya, dibandingkan masyarakat daerah-daerah lain.
Sikap Rasional
Dalam berbagai hikayat Aceh
dapat ‘disaring’ pula intisari yang berkaitan dengan perilaku manusia terpuji.
Hasil seleksi itu dapat dijadikan bahan rujukan “membentuk” watak manusia
seutuhnya. Kepribadian demikian bercirikan berperilaku ramah, bercakrawala
luas, penuh toleransi sesama manusia, tidak bertindak gegabah, sabar-tabah,
menghargai adat-istiadat, bersikap rasional-kurang egoistis, menjaga tata krama
dan sebagainya.
Banyak “tokoh pelaku” atau
pelakon cerita yang terlibat dalam rentangan kisah hikayat-hikyat Aceh yang
berwatak sebagai manusia budiman, yang setiap tindakannya dilakukan dengan
bijaksana, berkepala dingin; sampai mencapai tujuannya. “Uleue beumate ranteng
bek patah” (Ular terbunuh sedang kayu pemukul tetap utuh, alias menang tanpa
perang). Yakni cukuplah hanya membunuh ‘ular’ yang jahat saja, jangan sampai
mematahkan ‘ranting’ yang masih bermanfaat.
Bagi manusia yang bersikap
rasional, tidaklah membunuh tikus dengan sekaligus membakar rumah sendiri.
Sikap toleransi dan saling
menghormati di antara orang yang berbeda bahasa, lain asal keturunan, berbeda
budaya, beda bangsa, tak sama pandangan hidup dan bebagai ketidaksamaan lain;
dapat ditemukan pada bagian-bagian tertentu dalam hikayat-hikayat Aceh yang
disusun para pujangga Aceh jauh sebelum perang Belanda di Aceh.
Membaca hikayat-hikayat
peninggalan sebelum perang Aceh, serta membaca pula hikayat Aceh periode perang
itu (terutama Hikayat Perang Sabi), jelas sekali bagaimana watak manusia idola
yang dikehendaki kedua zaman tersebut. Masa damai melahirkan insan-insan
budiman, zaman perang membentuk watak manusia suka kekerasan.
Patut Dikaji
Memang, mungkin sebagian dari
hikayat Aceh bukan karya asli para pengarang Aceh. Namun, setelah dialihbahasakan
serta “dipermak” sedemikian rupa, maka setiap unsur budaya yang disinggung di
dalamnya benar-benar sudah seirama dengan kebudayaan Aceh, sehingga menjadi
bacaan rebutan bagi manusia Aceh tempo doeloe. Hikayat Meudeuhak, Aulia Tujoh,
Abu Nawah, Nasruwan Ade, Zul Karnaini, Tajussalatin, Banta Keumari (hasil alih
aksara kesemua hikayat Aceh tersebut, pernah dimuat secara bersambung dalam
Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh antara tahun 1992-1994), Hikayat
Kancamara, Banta Lidan, Putroe Jeumpa, Banta Amat, Sidan Riya, Indra Bangsawan,
Laksana Diwa, dan Banta Beuransah, termasuk di antara hikayat-hikayat Aceh yang
patut/perlu dikaji untuk menemukan “kembali” watak-watak ‘asli’ manusia Aceh
yang dihayati mereka sebelum melekat (meusiliek) pengaruh trauma sejarah zaman
petaka Belanda.
Karya Baru
Menghayati kembali kearifan
manusia Aceh bukan perkara mudah, disebabkan telah berlalu jarak waktu yang
cukup lama. Menoleh ke masa lampau itu, bukanlah berarti kita menghimbau
manusia Aceh supaya meminati kembali “kegiatan” membaca hikayat-hikayat Aceh.
Sebab, tradisi demikian sudah kadaluwarsa menurut naluri pemikiran manusia Aceh
yang bersifat dinamis.
Diantara cara yang dapat
ditempuh adalah dengan usaha “mengolah” kembali kesemua hikayat Aceh yang
pernah populer sebelum masa kedatangan Belanda. Pengolahan dilakukan sedemikian
rupa (terperinci), sehingga menghasilkan “karya baru” yang tetap bermutu. Dalam
hal penyajian kembali kepada masyarakat luas juga perlu ditempuh dengan
bermacam bentuk penyajian modern, yakni sesuai model yang sedang populer di
mata masyarakat dewasa ini.
Kreasi Baru
Upaya yang dituntut buat
menghasilkan ‘karya baru’ itu, bukanlah sekedar alih bahasa dari bahasa daerah
Aceh ke dalam bahasa Indonesia dan alih aksara (penggantian) huruf Jawoe/Arab
Melayu ke huruf Latin. Tetapi yang dihasilkan adalah dalam bentuk
cuplikan-cuplikan inti-pati terpenting yang mengandung unsur-unsur tertentu,
yang akan dikaji dan hendak disaji bagi masyarakat.
Untuk dapat tercapai sasaran
yang dituju, yakni manusia Aceh di zaman sekarang, maka kerja atau kegiatan
pemberian “warna baru” terhadap budaya lama itu, perlu ditangani oleh para ahli
dari berbagai disiplin ilmu. Pengolahan dengan pola multi keahlian ini,
bertujuan agar karya baru yang dihasilkan nanti tetap up to date; sesuai
perkembangan selera masyarakat masa kini. Kreasi baru yang bersumber dari
kebudayaan tradisional, sudah lama dipraktekkan di beberapa daerah di luar
daerah Aceh hingga sampai hari ini.
Timbul pertanyaan, apakah hasil
olahan tersebut akan mampu disebarkan sehingga menjangkau masyarakat luas?,
Tentu ini suatu masalah pelik, sebab manusia Aceh pada dasarnya belum tinggi
minat bacanya, sehingga sukar mengumpulkan informasi melalui bahan bacaan,
kecuali lewat “media” warung kopi.
Bumbu Penyedab
Cara penyebaran yang efektif
sekaligus praktis adalah dengan mengedarkan buku-buku hasil “reformasi” budaya
Aceh itu ke sekolah-sekolah. Dengan demikian, kearifan Aceh itu pun akan lebih
cepat diserap oleh para murid/siswa sekolah, karena mereka tidak pernah
terlibat sama sekali dengan trauma masa penjajahan Belanda. Ajaran “budi
pekerti” ini pun dapat dijadikan pelajaran (bacaan tambahan) sebagai bumbu
penyedap untuk mata pelajaran lainnya, seperti, Pendidikan Moral Pancasila,
Sejarah Nasional, Bahasa Daerah, Sastra, Karang-mengarang dan sebagainya.
Bagi orang dewasa yang ‘sudah
bebas’ dari kewajiban membaca buku-buku pelajaran, maka masih dapat ditempuh
beberapa metode penyampaian lainnya, seperti lewat pendekatan dengan
tokoh-tokoh kharismatis di kalangan mereka, drama di RRI/radio siaran niaga dan
Tivi/TVRI. Bisa juga melalui ceramah dan pidato saat memperingati hari-hari
besar dan lain-lain.
Pada tahap pertama sekarang,
yang sangat penting berupa munculnya kesepakatan berbagai pihak, yang setuju
mengkaji kembali khazanah kebudayaan Aceh yang cukup kaya dengan budi-pekerti
yang sangat manusiawi. Memang, upaya “Ihyaon Tamaddon Aceh” (penghayatan
kembali budaya Aceh) termasuk suatu kerja besar yang memerlukan dukungan
berbagai pihak secara serius dan bersungguh-sungguh.
Kegiatan serupa yang patut
diteladani adalah kerja keras pihak Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa
Tengah. Prof. Dr. A. Teeuw bangsa Belanda yang ahli bahasa dan budaya
Indonesia, pada tahun 1978 di Fakultas Sastra UNS pernah menggugah para
perserta seminar. “Mengapa saya-lah yang harus menggali sumber-sumber kearifan
Indonesia, menemui puncak-puncak kebudayaan Indonesia ini? Mengapa saya-lah
yang harus berceramah disini? Seyogyanya saya yang duduk di sini sebagai murid,
mendengarkan seorang guru Indonesia yang sungguh-sungguh ahli” katanya.
(Majalah BASIS, September 1978, XXVII-12 halaman 359).
Enam belas tahun kemudian,
ternyata ceramah A. Teeuw tentang budaya Jawa dengan judul: “Kakawin
Kunjarakarna dan Kita”, telah membuahkan hasil. Di antara yang terpenting
adalah “kerja keras” memreproduksi naskah-naskah lama Jawa oleh Universita
Sebelas Maret. Dari 147 judul buku kuno bahasa Jawa yang akan “diolah kembali”,
salah satunya naskah “Tajussalatin” yang sebenarnya berasal dari Aceh. Dalam
sebuah berita disebutkan, bahwa kitab “Tajussalatin” adalah karya Ki Pandji
Djayasubrata (Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh, Minggu, 9 Oktober 1994
halaman 4). Entah wartawan “Antara” yang salah kutip atau memang Ki
Pandji Djayasubrata yang jadi “plagiator” nya beberapa abad yang lalu!
Mudah-mudahan di Aceh pun akan
tergerak upaya penggalian Kearifan Indonesia (daerah Aceh). Begitulah
sebaiknya. Semoga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar