Pukul 00.00
WIB, 19 Mei 2003. Malam mencekam di Aceh, setelah Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan pemberlakukan status Darurat
Militer. Konsekuensi dari pemberlakuan status Darurat Militer, Presiden
Megawati Sukarnoputri mengizinkan pengiriman 30.000 pasukan TNI dan 12.000
personel polisi ke Aceh. Ini merupakan pengerahan pasukan dan armada perang
terbesar Indonesia sejak penempatan militer di Timor Timur (Timor Leste) pada
1976.
Sejak 19 Mei
itu, hari-hari di Aceh menjadi kelam. Truk reo yang berisikan pasukan
bersenjata tempur hilir-mudik di jalan. Pesawat Bronco tak ketinggalan. Mereka
menggempur gunung dan perbukitan yang diklaim tempat bersembunyinya pasukan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Aceh berubah
jadi daerah perang! Aktivis mahasiswa dan sipil yang biasanya lantang berteriak
menentang kebijakan militeristik, kali ini dipaksa tiarap. Tak sedikit di
antara mereka yang ditangkap. Tak sedikit pula, aktivis harus mengungsi, keluar
dari Aceh.
Pusat
memberlakukan darurat militer sebagai jawaban atas gagalnya proses perundingan
dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pada 28 April 2003, Pemerintahan Megawati
memberikan waktu dua pekan bagi GAM untuk mengakhiri perjuangan mereka menuntut
merdeka dan menerima otonomi khusus. Namun, GAM menolak tawaran tersebut.
Perundingan
kedua belah pihak pun memanas, karena tidak mencapai kata sepakat. Amerika
Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak agar Indonesia dan GAM kembali ke meja
perundingan.
Pertemuan
Tokyo (Tokyo Meeting) yang akan digelar pada 17-18 Mei 2003 menjadi
satu-satunya harapan perdamaian Aceh. Namun, GAM tetap bersikeras tidak
menerima otonomi khusus. Tawaran ini kembali dipertegas Pusat pada 16
Mei. “Otonomi khusus merupakan solusi akhir dan final bagi penyelesaian
konflik Aceh. Jika tidak, GAM akan menghadapi penyerangan militer,” demikian
ultimatum yang dikeluarkan Pusat.
Tentu saja,
GAM tak menghiraukan ultimatum Indonesia. Lima juru runding GAM yang hendak
menuju ke Bandara Sultan Iskandar Muda, ditangkap begitu keluar dari Hotel
Kuala Tripa, tempat yang selama ini dijadikan markas para juru runding GAM dan
Pemerintah Indonesia.
Kengototan
GAM ini menelurkan Keputusan Presiden No 28/2003 yang mengizinkan Aceh menjadi
daerah perang. Aceh berada di bawah kuasa militer. Saban hari, operasi militer
digelar. Kantung-kantung persembunyian GAM diobrak-abrik. Tak hanya menyerbu
melalui jalur darat, pasukan pemerintah juga membombardir pegununan dan bukit
di kawasan Aceh Besar dan Aceh Utara dengan pesawat tempur.
Saya masih
ingat betul ketika pesawat menjatuhkan bom di kawasan Cot Keu-eueng, Aceh
Besar. Masih juga belum lekang di ingatan deru reo membelah kesunyian malam
ketika kami tengah dikejar deadline di Tabloid Beudoh, sebuah tabloid yang
dikelola aktivis mahasiswa. Belakangan, tabloid ini dibredel Penguasa Darurat
Militer Daerah karena menurunkan laporan ajakan untuk menolak pemilihan umum
yang akan digelar pada awal 2004.
Media dan
wartawan kala itu tak leluasa menurunkan laporan apa adanya. Bahkan, Penguasa
Darurat Militer Pusat Megawati Sukarnoputri mengeluarkan Keppres No 43/2003 yang
membatasi ruang gerak wartawan.
Keputusan
ini dijabarkan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah Mayjen Endang Suwarya, yang
melarang wartawan untuk memberitakan tentang: (1) Kode khusus atau sandi
pasukan, pesawat, kapal serta kode atau sandi prosedur operasi tetap dan kode
perhubungan; (2) Informasi rencana yang akan datang, (3) Instansi militer
tertentu yang ditentukan oleh komando operasi; (4) Gambar daerah instalasi
militer; (5) Informasi intelijen yang berkaitan dengan kegiatan teknis, taktis
dan prosedur internal; (6) Informasi maupun propaganda musuh.
Tentu saja,
maklumat ini berimbas pada tidak bebasnya wartawan dalam memberitakan berbagai
kejadian di daerah perang. Nyaris tidak ditemukan di halaman media massa –baik
lokal dan nasional– soal kekejaman yang ditimbulkan perang. Padahal,
diperkirakan lebih 2.800-an orang tewas dalam perang antara kurun 2003 hingga
2005.
Tak hanya
membatasi gerak jurnalis, PDMD juga mengeluarkan kebijakan yang sangat
diskriminatif pada Juni 2003. Kala itu, Endang Suwarya menginstruksikan kepada
seluruh masyarakat Aceh untuk membekali diri dengan kartu tanda penduduk (KTP)
Merah Putih. KTP khusus warga Aceh ini berukuran sekitar 13 x 10 sentimeter. Di
bagian muka berwarna merah dan putih, lengkap dengan gambar Garuda dan isi
Pancasila. Setelah ditandatangani camat, KTP Merah Putih diverifikasi oleh
komandan Koramil.
Pemberlakuan
Darurat Militer sejatinya berakhir pada 18 November 2003. Namun, Megawati
memperpanjang status perang itu hingga 18 Mei 2004 melalui Keputusan Presiden
No 97/2003. Setelah setahun lamanya, baru pada 19 Mei 2004 Presiden Megawati menurunkan
status Aceh menjadi Darurat Sipil. Status ini pun bertahan setahun, hingga
akhirnya pada 15 Agustus 2005, Indonesia dan GAM bersepakat untuk mengakhiri
konflik yang terjadi sejak Desember 1976 itu.
Kini, Aceh
telah memulai lembaran baru: hidup dalam nuasa damai dan berbenah setelah
perang dan tsunamai. Kita tidak berharap perang kembali menjadi tuan di negeri
bertuah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar