Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566
meriwayatkan sebagai berikut:
Dikala Umar Bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin,
pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada
Khalifah, "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah
Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar Kami hendak menanyakan beberapa masalah
penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami
mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar
seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa
agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut
Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit,
apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
"Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama
penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di
permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu
atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh
(gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan
dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang
meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah
yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan
oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata,
"Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang
memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang
bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang
kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu
adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada
pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali Bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman
berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar
bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar,
berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher)
peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia
bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: "Ya
Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu
jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, "Silahkan kalian bertanya tentang
apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam
ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang
ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu
syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian
supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab
mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing
pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik
kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat
Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat
membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian
(syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata,
"Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut,
"Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus AS dibawa keliling
ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada
kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi
makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS
putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada
kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi
tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan
ibunya atau induknya!"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam.
Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima,
Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu
mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasulullah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali
bin Abi Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu
yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang
masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu
sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah
para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT
kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah banyak mendengar tentang
Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing
mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai
akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan
perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia
berkata, "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota
bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu
pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu
berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja
itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia
datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah
sebuah Istana."
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus
bertanya, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk
Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara Yahudi, raja itu
membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu
farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah
seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu
buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada
rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan
sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang
cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga
matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan
lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat
dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan
penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan
mahkota di atas kepala."
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata,
"Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota
itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota
raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya
bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi
kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari
anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna
merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias
dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat
terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja
juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu
keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu
itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan
yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, "Hai Ali, jika
yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu
raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, "Kekasihku Muhammad
Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah
kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina.
Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama
Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai
segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua
hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja.
Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang
lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya
lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan
suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan
sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat
sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu
terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya,
sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat
sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu
terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang
harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh
tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah
merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak,
durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau
lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang
siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah
lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti
kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa
mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja
itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas
singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang
hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam
wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan
sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati,
"Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di
tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah
giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di
rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan
dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau
makan dan tidak mau minum?'
'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang
membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'
Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku
lalu bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai
atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa
tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan
di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang
bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan
menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha
diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan
jalan keluar bagi kita semua!'
'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan
akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja
Pencipta Langit dan Bumi!'
'Kami setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan
akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan
dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima
orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia
dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita
berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan
jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki
sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa
berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air
minum atau susu?'
'Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,'
sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum
bangsawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar