Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia
dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang
berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam.
Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang perampok yang
suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang pasir. Suku
Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu kegelapan.
Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari perampokan.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling
tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan
Khalifah Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan
lain-lain.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak
menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw
menyebarkan dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam
baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa
menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di
hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari
Mekah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam.
Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di
Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam,
sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap
Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad Saw dengan bangga mengucapkan:
"Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan
kehidupan mereka!"
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah
hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap
berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng
aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan
dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar
dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia
satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak
pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali
orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat
degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang
melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius,
keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan
hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasulullah Saw tentang tindakan apa
kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para
penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas
Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka
akan kuhantam dengan pedangku!"
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad Saw sebagai
pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata:
"Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau
berjumpa dengan aku di hari kiamat kelak!" Rasulullah Saw mencegah Abu
Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasulullah Saw, Abu Dzar tetap berpegang teguh
pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar gejala-gejala sosial
ekonomi yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw belum muncul. Pada masa Khalifah
Umar bin Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi
para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar
kekayaan tidak sempat berkembang dikalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa
terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan
kesentosaan umat itu bermunculan laksana cendawan dimusim hujan. Khalifah
Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia
Khalifah Utsman. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh
para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasulullah Saw yang hidup serba
kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan
tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai,
hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa
dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup
bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak
disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di
tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad Saw dan kaum
muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam
lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam,
Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan
kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah
menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia
teringat kepada nasihat Rasulullah Saw, jangan menghunus pedang. Berjuang
sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di
telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para
penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan.
Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya.
Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang:
"Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di
jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa
yang pedih pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir
miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya
makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang
menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai
dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah
Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam
kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai
cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak
mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana,
sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang
di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus
pedang!"
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah
kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan
kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat
cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan
pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana
ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari
Rasulullah saw,"Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana
gigi sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih
besar taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," dan lain
sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan
mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui
kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak diluar bisikan hati
nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan.
Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah
berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam.
Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang
ditinggalkan di Mekah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa
rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang
sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh
Al-Quran disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh
dan mukanya pada hari kiamat dengan api neraka?!"
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang
itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan
kekuasaan ditangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat
berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah
Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar
menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu
tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar
menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil
menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan.
Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata:
"Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya:
"Tinggal sajalah disampingku!"
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan
duniamu!"
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan,
seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw, Khalifah Abu Bakar
dan Khalifah Umar.
Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman,
sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas
desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah, Khalifah
Utsman mengambil keputusan:
Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada
seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang
mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sedikitpun ia tidak ragu, bahwa
Allah Swt selalu bersama dia. Kapan saja dan dimana saja. Menanggapi
keputusan Khalifah Utsman ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman
hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau diatas bukit, aku akan taat,
sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku.
Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain,
aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih
baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun
akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu
lebih baik bagiku."
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang
semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhaan Al
Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi
Muhammad Saw. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya,
tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda umat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan
kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad Saw. Imam Ali sangat
tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih
dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Kisah Dibuangnya Abu Dzar
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah,
berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain
tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di atas:
Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar
berangkat dan mengantarnya sampai ditengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari
penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali, Aqil bin Abi Thalib
dan dua orang putera Imam Ali, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein.
Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Sayyidina Hasan mengajak Abu Dzar
bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor:
"Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang
bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah
sekarang!"
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali tak dapat menahan letupan
emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh
Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke
neraka."
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan.
Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali. Cepat-cepat
Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali. Khalifah
Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali dan
anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani
mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Diantara mereka itu terdapat
seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib. Dzakwan dikemudian
hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin
Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah!
Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka
takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi
Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba
itu kemudian penuh takwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar.
Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak
ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"
Atas dorongan Imam Ali, Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar,
apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua
mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertakwa
sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab takwa berarti selamat. Dan bersabarlah,
karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya
dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus
asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."
Kemudian Sayyidina Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang
hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan
saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi
sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau
menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah
ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah
perasaan sedih mengingat kesukaran dimasa silam, dan gantikan saja dengan
harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan
beliau itu benar-benar ridha kepadamu."
Kemudian kini berkatalah Sayyidina Husein: "Hai paman, sesungguhnya
Allah Swt berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang
lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak
mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak
paman cegah! Berlindunglah kepada Allah Swt dari keserakahan dan kecemasan.
Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah.
Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan
menunda datangnya ajal!"
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan
membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan
orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka,
tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti
yang kau katakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia.
Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang
berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu
banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka,
dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu.
Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan
akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati
kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada
Rasulullah Saw. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku
merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah.
Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua
tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke
satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain
Allah Swt Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah Swt dan
bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan."
Tutur Dzakwan lebih lanjut. Setelah semua orang yang mengantarkan pulang,
Imam Ali segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan. Kepada Imam
Ali, Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani
mengusir pulang petugasku --yakni Marwan-- dan meremehkan
perintahku?"
"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali dengan tenang "ia
mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun
tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."
"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang
bercakap-cakap dengan Abu Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.
"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan
harus kuturut?" tanggap Imam Ali terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam
bentuk pertanyaan.
"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan
Imam Ali.
"Mengapa?" tanya Imam Ali.
"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya"
jawab Khalifah.
"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai
tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk
untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki,
engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata
bohong kepadamu!"
"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan
mencemooh. "Apakah engkau lebih baik dari dia?!"
"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam
Ali dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali cepat-cepat keluar
meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil
tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di
hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam
Ali. Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau
ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak
berdamai, itu lebih baik."
"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini
beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan
ketegangan antara Imam Ali dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali di
rumahnya. Kepada Imam Ali mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang
kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"
"Tidak," jawab Imam Ali dengan cepat. "Aku tidak akan datang
kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf
kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya."
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali
datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur
kehadirat Allah Swt, Imam Ali berkata: "Yang kauketahui tentang
percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah,
tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud
semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan
menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang
telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa
menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun
tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku,
sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak
menyukainya."
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali tersebut, Khalifah Utsman
berkata dengan nada lemah lembut,"Apa yang telah kau ucapkan
kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan,
Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai
bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta.
Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu!" Imam Ali segera mengulurkan
tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Di Pembuangan
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati
kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat
menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat
pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat
sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak
menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi kesebuah bukit pasir
untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin
kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun
juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat
dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah
membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa
engkau menangis?"
"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu,
"kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini?
Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu
dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan
amat sedih ia berkata:
"Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu,
barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!"
"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah
lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!"
"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar
menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw,
"Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan
hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun,
tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila
kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat
Rasulullah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya.
Bantulah aku mengurusnya!"
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir.
Setelah melihat kesana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali
menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur
nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak
benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar
melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu
melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di
dekatnya, kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di
sini?"
"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya.
"Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?"
"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya diantara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak
percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang
diri. "Sahabat Rasulullah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi
kehormatan kepada kita!"
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu
Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya
yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia
berkata,"Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal
kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan
minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta
kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan
kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling
pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum
Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu
dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku
mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk
kupergunakan sebagai pakaian ihram…"
"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan
halal….!" Sahut Abu Dzar.
Makam Abu Dzar
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak
lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan
nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri kehadirat Allah Swt Awan di
langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang
menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah
berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda taufan.
Selesai dimakamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar
sambil berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasulullah Saw, hamba-Mu
yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum
musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran
lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia
dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil.
Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari
tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasulullah!"
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin"
dengan khusyu'.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya
ia pernah berkata:
"Kebenaran tidak meninggalkan pembela
bagiku..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar