Ada banyak teka-teki yang kini kian tampil ke permukaan soal Soeharto. Dari
konspirasi jahat mantan presiden RI kedua ini dalam mengkudeta Presiden RI
Soekarno di tahun 1965, pembiaran sakit Soekarno hingga meninggal dengan
kondisi yang amat tragis, pembantaian ratusan ribu rakyat tak berdosa di tahun
1965-1967, hingga kehidupan kleniknya yang penuh dengan aura kemusyrikan.
Salah satu yang menarik
tentang Soeharto adalah keterkaitannya dengan angka 666. Dalam sejarah sihir
atau dunia gelap, angka ini memegang peran penting selain angka 13.
Mary Stewart Relfe,
Ph.D dalam karyanya “The New Money System” (Alabama, 1982) juga berhasil
membuktikan bahwa angka 666 senantiasa ada di dalam setiap barcode UPC
(Universal Product Code) yang selalu saja memiliki jumlah 13 angka di seluruh
dunia! Bahkan Alkitab sendiri
di dalam Wahyu 13: 16-18 mengatakan:
“Dan ia menyebabkan,
sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya miskin, merdeka atau pun
hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya, dan tidak seorang
pun yang dapat membeli atau menjual selain daripada mereka yang memakai tanda
itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya. Yang penting di sini ialah
hikmat: Barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang
itu, karena bilangan binatang itu adalah bilangan seorang manusia dan
bilangannya ialah enamratus enampuluh enam (666).”
Dalam angka Romawi, 666
ditulis sebagai DCLXVI (D = 500, C = 100, L = 50, X = 10, V = 5, I = 1). Sedang
dalam bahasa latin, angka 666 bisa diartikan sebagai DIC LVX atau dibaca “dicit
lux” yang berarti “suara cahaya”.
Dalam bahasa latin
juga, setan atau iblis disebut sebagai Lucifer (lux Ferre) yang memiliki arti
sebagai “Sang Pembawa Cahaya”.
Angka 666 tersimpan di
hampir semua benda-benda sihir dan yang mengandung kejahatan atau pengaruh
setan, seperti semua angka di meja roulette maka jika dijumlahkan kita akan
menemukan angka 666! Bahkan dalam dunia medis, racun yang mematikan yakni
Hexachloride memiliki rumus kimia 666 yaitu C6H6CI6.
Dan entah suatu
kesengajaan atau tidak. Komputer PC pertama di dunia dari Apple dibandrol
dengan harga US$ 666. Bahkan alamat situs di internet yang selalu di mulai
dengan kode WWW (World Wide Web) sebenarnya berasal dari tafsiran 666 yakni VIVIVI.
Bagaimana dengan
Soeharto? Presiden Soeharto lengser dari tahta kekuasaannya di tahun 1998 atau
3 x 666. Jauh sebelum meninggal, Soeharto telah membangun sebuah kompleks
pemakaman keluarga di Astana Giri Bangun yang dikelola oleh Yayasan Mangadeg
Surakarta. Tahukah Anda jika kompleks pemakaman ini, yang kemudian juga tempat
Soeharto dikubur, berada di atas ketinggian 666 meter di atas permukaan laut?
Believe it or not!
Sekilas Tentang Astana
Giribangun
ASTANA Giribangun di
Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jateng, bakal menyedot perhatian
masyarakat pasca meninggalnya mantan Presiden RI, Soeharto. Namun tak banyak
yang tahu kalau Giribangun bukan satu-satunya kompleks pemakaman terkenal di
kawasan tersebut.
Sebelum Astana
Giribangun dibangun, orang lebih dulu mengenal Astana Mangadeg, yaitu kompleks
pemakaman keluarga Pura Mangkunegaran. Di sini dimakamkan, antara lain, Kanjeng
Pangeran Aryo Adipati (KGPAA) Sri Mangkunegoro I alias Pangeran Samber Nyowo.
Kompleks makam itu terletak di lereng barat Gunung Lawu, sekitar 40 kilometer
arah timur Kota Solo, pada ketinggian 750 meter di atas permukaan laut (dpl).
Agak di bawahnya, pada
ketinggian 666 meter dpl,
terdapat Astana Giribangun, di Desa Karang Bangun. Di Astana Giribangun yang
megah, dimakamkan antara lain istri mantan Presiden Soeharto, Ny Tien Soeharto.
Mantan ibu Negara kelahiran 23 Agustus 1923 tersebut meninggal pada 28 April
1996, atau dalam usia 73 tahun.
Ny Tien dikenal sebagai
kerabat Mangkunegaran, khususnya trah Mangkunegaran III. Karena itu, tak heran
jika pemilihan lokasi Astana Giribangun, tahun 1970-an silam, sengaja
didekatkan dengan Astana Mangadeg. Tentang pemilihan lokasi Astana Giribangun
yang lebih rendah, diperkirakan untuk menghormati keberadaan Astana Mangadeg
yang secara spiritual dianggap lebih tinggi.
Beda Pemakaman Pak
Harto dan Bung Karno
Pada 27 Januari 2008
pukul 13.10, mantan Presiden Soeharto
meninggal. Jenazahnya disemayamkan di kediamannya, Jalan Cendana, dan
dilayat pejabat tinggi negara, mulai presiden, wakil presiden, sampai para
menteri. Masyarakat umum berjubel di sepanjang Jalan Cendana menonton para
tetamu.
Senin pagi, 28 Januari
2008, ini jenazah mantan orang nomor satu RI itu diterbangkan ke pemakaman
keluarga di Astana Giribangun. Ketua DPR Agung Laksono akan bertindak secara
resmi dalam pelepasan jenazah di Jalan Cendana, Wakil Presiden Jusuf Kalla
memimpin pelepasan di Halim Perdanakusumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menjadi inspektur upacara di Astana Giribangun.
Astana Giribangun yang
diperuntukkan keluarga Nyonya Suhartinah Soeharto didirikan di Gunung Bangun
yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut. Cangkulan pertama dilakukan
Tien Soeharto Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah Jemakir 1905, bertepatan dengan 27
November 1974.
Dengan menggunakan 700
pekerja, bangunan yang merupakan gunung yang dipangkas tersebut diselesaikan
dan diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Jadi 30 tahun sebelum meninggal,
Soeharto telah mempersiapkan tempat peristirahatan yang terakhir. Hal itu
dilakukan Soeharto agar “tidak menyusahkan orang lain”.
Soeharto memperoleh hak
dan fasilitas sebagai seorang mantan kepala negara. Namun, hal yang berbeda
dialami mantan Presiden Soekarno. Sewaktu mengalami semacam tahanan rumah di
Wisma Yaso (sekarang Gedung Museum Satria Mandala Pusat Sejarah TNI) di Jalan
Gatot Subroto, Jakarta, Soekarno tidak boleh dikunjungi masyarakat umum.
Pangdam Siliwangi H.R.
Dharsono mengeluarkan perintah melarang rakyat Jawa Barat untuk mengunjungi dan
dikunjungi mantan Presiden Soekarno. Kita ketahui, H.R. Dharsono kemudian juga
menjadi kelompok Petisi 50 dan meminta maaf kepada keluarga Bung Karno atas
perlakuannya pada masa lalu itu.
Putrinya sendiri,
Rachmawati, hanya boleh besuk pada jam tertentu. Pada 21 Juni 1970, Bung Karno
wafat setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Beberapa
waktu sebelumnya, Rachmawati menanyakan kepada Brigjen Rubiono Kertapati,
dokter kepresidenan, kalau Soekarno menderita gagal ginjal, kenapa tidak
dilakukan cuci darah? Jawabannya, alat itu sedang diupayakan untuk dipesan ke
Inggris.
Itu jelas sangat
ironis. Pada masa revolusi pasca kemerdekaan, Jenderal Sudirman menderita
penyakit TBC. Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri, yakni
streptomycin. Pemerintah Indonesia dalam keadaan yang sangat terbatas dan
berperang menghadapi Belanda berusaha mendapatkan obat tersebut ke mancanegara,
tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi. Hal itu tidak dilakukan
terhadap Ir Soekarno.
Bung Karno dibaringkan
di Wisma Yaso setelah wafat di RSPAD Gatot Subroto dan di situ pula dia dilepas
Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto. Situasi saat itu memang sangat
tidak kondusif bagi Soekarno dan keluarganya. Beberapa hari sebelumnya, yakni 1
Juni 1970, Pangkopkamtib mengeluarkan larangan peringatan hari lahirnya
Pancasila setiap 1 Juni. Soekarno sedang diperiksa atas tuduhan terlibat dalam
percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya sendiri. Pemeriksaan tersebut
dihentikan setelah sakit Bung Karno semakin parah.
Pada 22 Juni 1970,
jenazah sang proklamator dibawa ke Halim Perdanakusumah menuju Malang. Di
Malang disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan Darat, demikian
pengamatan Rachmawati Soekarnoputri (di dalam buku Bapakku Ibuku, 1984) yang
membawanya ke Blitar.
Sepanjang jalan Malang-Blitar,
rakyat melepas kepergian sang proklamator di pinggir jalan. Di sini Soekarno
dimakamkan dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI Jenderal Panggabean pada sore
hari. Sambutan dibacakan sangat singkat.
Soekarno hanya
dimakamkan di pemakaman umum di samping ibunya. Seusai acara resmi, rakyat ikut
menabur bunga. Karena banyaknya tanaman itu, sampai terbentuk gunung kecil di
atas pusara Sang Putra Fajar tersebut. Namun tak lama kemudian, rakyat yang
tidak kunjung beranjak dari makam kemudian mengambil bunga-bunga itu sebagai
kenangan-kenangan. Dalam tempo singkat, makam Bung Karno kembali rata sama
dengan tanah.
Pemakaman di Blitar itu
berdasar Keputusan Presiden RI No 44/1970 tertanggal 21 Juni 1970. Keputusan
tersebut diambil dengan berkonsultasi bersama pelbagai tokoh masyarakat.
Padahal, Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru terbit pada 1998)
mengungkapkan bahwa sebetulnya Soekarno telah menulis semacam wasiat
masing-masing dua kali kepada Hartini (16 September 1964 dan 24 Mei 1965) dan
Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). Di dalam salah satu wasiat itu
dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan rindang di Kebun
Raya Bogor.
Di dalam
otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman
Soekarno, dirinya mengundang pemimpin partai. Jelas Soeharto menganggap itu
masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan keluarga,
tetapi melalui pertimbangan elite politik.
Kemudian, Soeharto
melalui keputusan presiden menetapkan pemakaman di Blitar konon dengan alasan
tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Apakah betul demikian? Sebab,
pendapat lain mengatakan bahwa hal itu dilakukan Soeharto demi pertimbangan
keamanan. Jika dikuburkan di Kebun Raya, pendukung Bung Karno akan berdatangan
ke sana dalam rombongan yang sangat banyak, sedangkan jarak Bogor dengan ibu
kota Jakarta tidak begitu jauh. Hal tersebut dianggap berbahaya, apalagi saat
itu menjelang Pemilu 1971.
Pemugaran makam Bung
Karno juga penuh kontroversi. Pemugaran dilakukan pada 1978 dengan memindahkan
makam-makam orang lain itu. Menurut Ali Murtopo di depan kader PDI se-Jawa
Timur, ide tersebut berasal dari Presiden Soeharto. Masyarakat tentu bisa
menduga bahwa itu dilakukan dalam rangka mengambil hati para pendukung Bung
Karno menjelang pemilu. Dalam pemugaran tersebut, keluarga tidak diajak ikut
serta. Bahkan, dalam peresmian pemugaran itu, putra-putri Soekarno tidak hadir.
Dalam prosesi pemakaman
di Blitar, Megawati tidak hadir karena sedang berada di luar negeri. Namun,
kabarnya putra tertua Bung Karno, Guntur Sukarno Putra, mewakili keluarga
mantan Presiden Soekarno akan datang ke Astana Giribangun. Ketika Soeharto di
Rumah Sakit Pertamina, Guruh juga berkunjung. Ini suatu pelajaran sejarah
berharga bagi bangsa kita. Jangan lagi kesalahan masa lalu diulang dan marilah
kita berjiwa besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar