Pada 25 November 2006, bertempat di Aula
Balai Diklat Depsos, Jogjakarta, FakultasSyariah UIN Sunan Kalijaga mengadakan
seminar bertema “Politik Hukum Islam di Indonesia.” Hadir sebagai narasumber,
mantan Menhan era Gus Dur, Prof. Dr. Mahfud MD, Dr. A. Yani Anshari, dan Amir
Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Inilah petikan dialog yang
berkembang dalam seminar tersebut.
Orasi I, Mahfud MD
Konspirasi
Soekarno-Hatta : Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi. Pada
sore harinya sekitar pukul 05.00 sore ada tamu yang mengaku mewakili masyarakat
Indonesia bagian timur dengan menyatakan: “Pak Hatta, saya dengar besok PPKI akan mengadakan rapat, saya adalah
wakil dari Indonesia Timur, apabila tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu
ditetapkan maka kami masyarakat Indonesia Timur tidak akan ikut Indonesia, dan
lebih baik kami dijajah kembali,” tutur Hatta. Selanjutnya Hatta
menceritakan bahwa wakil orang timur itu di antar oleh Maeda (pemimpin
tertinggi militer Jepang).
Pertanyaan
yang muncul adalah, siapakah yang dimaksud orang timur itu? Siapakah yang
memberikan mandat kepada orang itu untuk mewakili masyarakat Indonesia Timur
untuk bertemu Hatta. Dan manakah yang dimaksud dengan timur, apakah Jakarta
Timur, Jawa Timur ataukah Indonesia bagian timur? Karena apabila yang dimaksud
orang timur adalah Indonesia Timur, maka hal itu tidak masuk akal. Sebab, untuk
sampai ke Jawa Timur saja orang membutuhkan waktu dua hari, apalagi Indonesia
Timur.
Penegasan
Hatta yang menyatakan bahwa wakil masyarakat Indonesia Timur itu diantar oleh Maeda ia tuangkan dalam bukunya
sendiri. Padahal, merujuk pada Koran Tempo yang terbit bulan Agustus 1995,
ternyata Maeda yang masih hidup memberikan kesaksiannya kepada Seichi Okawa (wartawan Tempo yang
mewawancarainya di Tokyo): “Benarkah
anda telah mengantarkan orang timur kepada Hatta untuk meminta agar tujuh kata
dalam Piagam Jakarta dihapuskan?” Maeda pun menjawab, “Hatta adalah kawan saya,
tetapi saya tidak pernah mengantar orang untuk mencoret tujuh kata Piagam
Jakarta kepadanya.”
Berdasarkan
disertasi yang ditulis oleh Polen tahun 1971, menyatakan bahwa “Pencoretan tujuh kata tersebut adalah
konspirasi antara Soekarno, Hatta.” Sedangkan orang timur yang dimaksud
tidak ada sama sekali. Menurut disertasi itu juga, bahwa hal itu dilakukan
karena jauh sebelum Indonesia merdeka, Jepang telah berpesan bahwa kalian boleh
merdeka akan tetapi jangan Negara Islam.
Perlu
ditegaskan, sejarah adalah sejarah, hukum adalah hukum. Apapun latar belakang
sejarah yang menyebabkan lahirnya dasar negara (Pancasila) seperti saat ini,
itulah yang sah. Oleh sebab itu, dasar negara yang ada, terlepas dari
pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, itulah yang berlaku sebagai dasar
negara dan mengikat.
Substansi
Syari’at
Ketika
Piagam Jakarta diperjuangkan kembali dalam sidang konstituante tahun 1955-1956,
telah melahirkan dua kelompok
yang memperjuangkan Islam. Hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden yang merupakan kelanjutan sejarah dengan
tetap memberlakukan Pancasila sebagai dasar negara. Seandainya Piagam Jakarta
tidak dicoret dan seandainya Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa yang berlaku
adalah Piagam Jakarta, maka umat Islam Indonesia akan dengan sangat mudah
memberlakukan hukum Islam sebagai aturan-aturan resmi. Tetapi, pencoretan yang dilakukan
itu telah menghilangkan Piagam Jakarta, dengan demikian maka Indonesia bukanlah
negara agama yakni negara yang hanya terikat oleh satu agama. Namun, Indonesia
juga bukan pula negara sekuler yakni Negara yang tidak mengenal agama. Akan
tetapi Indonesia adalah negara yang dalam membentuk suatu hukum harus terikat
pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah yang dimaksud adalah ketika membentuk suatu
hukum maka hukum itu tidak boleh mengancam integrasi bangsa, baik ideologi
maupun teritori. Kemudian hukum yang dibuat harus demokratis dan nomokratis.
Demokratis berarti merupakan hasil suara terbanyak, dan nomokratis berarti
berdasar pada prosedur yang benar dan berdasarkan filsafat hukum yang diikuti.
Adapun yang
terjadi sekarang, dalam kerangka menegakkan hukum Islam, masyarakat terbagi
menjadi tiga golongan, hal ini
berdasarkan disertasi yang ditulis oleh Haedar Nashir. Tiga kelompok itu
adalah, pertama, yang menginginkan berdirinya negara Islam Indonesia
dengan mengubah dasar negara, kelompok ini diwakili oleh Hizbut Tahrir. Kedua,
yang ingin memberlakukan hukum Islam dalam produk hukum nasional tetapi tidak
ingin mengubah nama republik menjadi Negara Islam adalah Majelis Mujahidin
Indonesia. Dan ketiga, yang ingin memberlakukan hukum Islam tetapi bukan pada
tingkat nasional karena dirasa terlalu berat melainkan hanya melalui
perda-perda dengan peluang otonomi daerah, kelompok ini diwakili oleh KPPSI
(Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam) Sulawesi Selatan.
Kesimpulannya, apabila dilihat dari sudut tata hukum, selama Indonesia masih seperti sekarang maka hukum Islam akan sulit diterima, dan akan menimbulkan sensitifitas. Meskipun produk hukumnya bagus namun ketika mengatasnamakan Islam, maka orang yang tadinya mendukung akan berbelok menjdi anti. Sebagi contoh adalah RUU APP, pada awalnya tidak ada yang menolak, akan tetapi ketika itu dikatakan sebagai hasil perjuangan umat Islam dan didengungkan dengan bendera-bendera Islam maka akhirnya ditentang dan diambangkan.
Oleh karenanya, mengapa kita tidak berbicara substansi saja? Dalam UU No. 10 tahun 2004 dan TAP MPRS tahun 1966, memang dikatakan bahwa hukum Islam menjadi sumber hukum nasional, tapi bukan berarti sumber hukum harus menjadi hukum. Sumber hukum ada dua macam, ada sumber hukum formal dan sumber hukum material. Hukum material adalah bahan hukum yang dapat dijadikan hukum, sedangkan hukum formal adalah bentuk hukum seperti UUD, UU, Perpu, Kepres. Hukum Islam dikatakan sebagai sumber hukum formal dalam arti sumber hukum material yang bergabung dengan sumber-sumber hukum lain di dalamnya.
Kesimpulannya, apabila dilihat dari sudut tata hukum, selama Indonesia masih seperti sekarang maka hukum Islam akan sulit diterima, dan akan menimbulkan sensitifitas. Meskipun produk hukumnya bagus namun ketika mengatasnamakan Islam, maka orang yang tadinya mendukung akan berbelok menjdi anti. Sebagi contoh adalah RUU APP, pada awalnya tidak ada yang menolak, akan tetapi ketika itu dikatakan sebagai hasil perjuangan umat Islam dan didengungkan dengan bendera-bendera Islam maka akhirnya ditentang dan diambangkan.
Oleh karenanya, mengapa kita tidak berbicara substansi saja? Dalam UU No. 10 tahun 2004 dan TAP MPRS tahun 1966, memang dikatakan bahwa hukum Islam menjadi sumber hukum nasional, tapi bukan berarti sumber hukum harus menjadi hukum. Sumber hukum ada dua macam, ada sumber hukum formal dan sumber hukum material. Hukum material adalah bahan hukum yang dapat dijadikan hukum, sedangkan hukum formal adalah bentuk hukum seperti UUD, UU, Perpu, Kepres. Hukum Islam dikatakan sebagai sumber hukum formal dalam arti sumber hukum material yang bergabung dengan sumber-sumber hukum lain di dalamnya.
Uraian ini
ingin saya tutup dengan satu kisah, pada tahun 1999 ketika rancangan otonomi
daerah hampir disahkan oleh DPR dengan menetapkan bahwa semua urusan diatur
oleh daerah kecuali empat hal yaitu hubungan
luar negeri, moneter dan fiskal nasional, pertahanan keamanan dan peradilan.
Sebelum disahkan, MUI dan Menteri Agama datang ke DPR untuk meminta agar
keempat hal tersebut ditambahkan satu lagi menjadi lima yaitu urusan
agama. Alasannya, apabila urusan agama menjadi urusan otonomi daerah
maka akan muncul di setiap daerah perda-perda yang disesuaikan dengan penganut
agama terbanyak di daerah masing-masing yang pada akhirnya akan dapat berakibat
disintegrasi bangsa dan ketidak seimbangan antar daerah dalam memperjuangkan
hukum agama masing-masing.
Orasi II, Ust Abu Bakar Ba’ayir
Hakikat Islam : Apabila
mengikuti perkembangan politik Islam di Indonesia, maka akan sangat
mengecewakan sekali, karena sampai hari ini hukum Islam di Indonesia belum
nampak berperan sebagai penentu kebijakan. Hal itu terjadi karena kaum Muslim
tidak berani menampakkan identitasnya. Seorang Muslim harus berani menampakkan
diri, karena Islam adalah agama yang benar, hal itu telah dijelaskan Allah Swt
dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama yang hak “Dialah yang telah mengutus
rasul-Nya dengan membawa agama yang hak”.
Dalam memahami dien pun jangan
hanya dipahami sebagai agama. Sebab, agama gambarannya hanya sekumpulan ritual,
sedangkan dien salah satu maknanya adalah undang-undang untuk mengatur hidup,
baik yang hak maupun yang bathil. Jadi, selama undang-undang yang dibuat
bertujuan mengatur hidup, maka hal itu juga dapat disebut dien. Oleh karenanya,
Islam juga disebut dien, bahkan dinyatakan oleh Allah sebagai satu-satunya dien
yang diridhai.
Jika kita kembali kepada
definisi di atas, maka KUHP juga termasuk dien. Demikian juga demokrasi yang
bertujuan mengatur hidup manusia, dapat disebut sebagai dien walaupun hanya
mengatur beberapa aspek. Dari kenyataan itu, maka dien dapat dibagi menjadi dua,
yaitu dienul hak dan dienul bathil. Dienul hak adalah dien yang diturunkan oleh
Allah Swt yaitu Islam. Sedangkan dienul bathil adalah dien yang diciptakan oleh
manusia. Bathil disini dapat diindikasikan dengan, kemungkinan 100% salah semua
atau kemungkinan bercampur antara yang hak dengan yang bathil.
Tujuan Syari’at
Oleh karena itu, dalam menilai
dien, umat Islam harus mempunyai patokan, dan yang dijadikan patokan adalah
Islam. Apabila sesuai dengan Islam maka hal itu sah, sedangkan jika tidak
sesuai maka hal itu bathil. Jika belum diatur dalam Islam, maka
undang-undangnya boleh diciptakan. Misalnya, undang-undang lampu merah yang
memiliki tujuan kemaslahatan maka hal itu sah-sah saja. Tetapi jika telah
diatur, maka hal itu harus dipakai. Karena seorang Muslim wajib beriman bahwa
dienul Islam bernilai benar dan mutlak karena penciptanya mempunyai ilmu yang
tidak terbatas dan Dia mengetahui segala sesuatu. Sedangkan manusia hanya
dibekali ilmu yang sedikit dan yang diketahui lebih sedikit daripada yang tidak
diketahui. Maka ketika manusia membuat konsep, pasti tidak luput dari
kekurangan. Oleh karenanya, semua konsep yang dibuat oleh manusia harus
diteropong oleh konsep Allah yang nilainya mutlak.
Kedua, dienul Islam
sesuai dengan perkembangan zaman, sesuai juga untuk mengatur bangsa apa saja
dan dimana saja. Tidak ada hukum Islam yang tidak sesuai dengan perkembangan
zaman, karena jika hal itu terjadi maka itu berarti bahwa Allah memiliki
kekurangan. Oleh karena Islam adalah agama yang sempurna maka dalam Islam juga
terdapat ketetapan bahwa sikap seorang Muslim terhadap Islam adalah sami’na wa atho’na. Orang bertanya,
lalu di manakah fungsi akal? Sesungguhnya akal dalam Islam dipergunakan untuk
memahami tujuan adanya perintah atau larangan, kemudian memikirkan manfaat dan
mudharatnya. Sehingga semakin tinggi ilmu pengetahuan, maka semakin banyak yang
mampu untuk dipahami. Inilah sikap yang harus dimiliki dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dienul Islam dengan segala hukum yang telah ditetapkan di dalamnya adalah aturan yang paling modern. Sebagai contoh adalah hukum Islam tentang potong tangan yang banyak ditakuti orang, dibandingkan dengan hukum penjara yang dianggap modern namun pada kenyataannya kuno.
Selanjutnya, dienul Islam dengan segala hukum yang telah ditetapkan di dalamnya adalah aturan yang paling modern. Sebagai contoh adalah hukum Islam tentang potong tangan yang banyak ditakuti orang, dibandingkan dengan hukum penjara yang dianggap modern namun pada kenyataannya kuno.
Hukum Modern
Sesungguhnya yang disebut hukum
modern adalah apabila pelaksanaannya cepat, biayanya murah dan hasilnya
memuaskan. Apabila seorang pencuri telah terbukti kesalahannya maka ia langsung
dipotong tangan, diobati kemudian disuruh pulang. Sedangkan dalam hukum
penjara, apabila sang pencuri karena kesalahannya divonis hukuman 20 tahun
penjara maka itu berarti proses pembalasannya baru selesai setelah 20 tahun,
dan selama itu pula si pencuri dibiayai makannya, serta efek hukuman penjara
telah terbukti tidak menjerakan.
Bagaimanakah pelaksanaan hukum
Islam? Dalam hal ini Rasulullah telah menggariskan bahwa beliau diutus untuk
dua hal. Pertama, sebagai guru besar Islam yakni mengajar al Kitab dan
Hikmah. Oleh karena itu, kewajiban Muslim dalam Islam adalah berguru kepada
Nabi. Kedua, sesungguhnya Nabi diutus sebagai uswatun hasanah yakni
sebagai contoh yang baik, termasuk uswatun hasanah adalah mengamalkan Islam dan
hal ini tidak hanya terabatas pada jenggot atau celana di atas mata kaki.
Apabila dilihat dalam sejarah, sesungguhnya Nabi menjalankan Islam dengan
menggunakan kekuasaan, bukan sendiri-sendiri atau golongan-golongan. Di sinilah
pentingnya negara Islam, kendati dalam hal kenegaraan tidak harus menggunakan
kata Islam tapi yang terpenting di dalamnya dijalankan Syari’at Islam.
Keberadaan negara Islam pada
zaman Nabi tidak terbantahkan lagi, hal itu dibuktikan ketika Nabi wafat, para
sahabat tidak langsung menguburkan beliau akan tetapi bermufakat untuk mencari
penggantinya, bukan sebagai Nabi tetapi sebagai khalifah yang bertugas mengawal
pelaksanaan Syari’at Islam.
Pentingnya Syari’ah Islam
dikawal oleh kekuasaan negara adalah demi tercapainya tujuan Islam. Adapun
tujuan Syari’at Islam ada lima hal. Pertama, hifzud din yakni menjaga
Islam itu sendiri, sehingga tidak ada orang yang memahami Islam seenaknya, yang
dapat berakibat lahirnya aliran-aliran kacau dalam Islam. Kedua, hifzun nasl
yakni Islam bertujuan menjaga keturunan. Jika fungsi ini tidak diatur oleh
negara, maka akan berakibat semakin suburnya perzinahan sehingga anak yang
lahir tanpa bapak akan semakin banyak. Ketiga, hifzul maal yakni menjaga
harta. Fungsi Islam dalam menjaga harta pun mempunyai dua aspek yakni menjaga
keamanannya dan menjaga kebersihan atau kehalalannya. Keempat, hifzul akl
yakni menjaga akal. Termasuk dalam fungsi ini adalah peranan Islam dalam
melarang peredaran minuman keras dan hal-hal yang merusak akal. Dan kelima,
adalah hifzun nafs yakni menjaga jiwa. Terutama dalam hal moral, dimana
peran pemerintah adalah berkewajiban untuk mengawal pelaksanaan shalat, puasa
dan lain-lain dengan memberikan sanksi kepada orang Islam yang melalaikannya.
Apa yang diperintahkan oleh Allah harus juga diperintahkan oleh negara dan apa
yang dilarang Allah harus juga dilarang oleh negara.
Dialog Audiens
1. Aris Nasuha dari HTI
Ada beberapa pandangan yang
mengemuka dalam forum seminar ini. Yakni, pertama, bahwa yang terpenting dalam
Islam adalah substansinya. Mengapa ketika membahas poin-poin yang lain terdapat
kesan yang tidak berimbang. Kedua, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa
kalau negara Islam berdiri lantas negara Islam seperti apa atau syari’at Islam
yang menganut mazhab apa, itu tidak proporsional? Padahal ketika Indonesia
berdiri tidak ada yang bertanya republik seperti apa yang hendak kita pakai.
2. Adi dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Saya ingin menyoroti peran Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin. Seperti diketahui bahwa kita tidak bisa
terlepas dari Islam politik atau negara itu sendiri, seperti apa yang
diungkapkan oleh Pak Ahmad Yani, bahwa Syari’at Islam seperti apakah yang akan
diterapkan, padahal banyak sekali pemahaman tentang Islam di tengah masyarakat.
Menurut saya pertanyaan seperti itu adalah buah dari pemikiran yang
berpandangan jauh ke depan. Karena ketika Indonesia nantinya disebut sebagai
negara Islam lengkap dengan predikat kerahmatannya, lantas mengapa yang
dipergunakan adalah mazhab satu orang atau sekelompok orang saja sedangkan
mazhab yang lainnya diabaikan. Kedua, sebagai orang yang mencita-citakan
berdirinya negara Islam, kita tahu hal itu yang sering menjadi pemicu
terjadinya konflik, maka itu berarti cita-cita tersebut merupakan upaya untuk
melanggengkan terjadinya konflik, apakah itu yang kita inginkan?
3. Dosen UIN Sunan Kalijaga
Pertanyaan ini saya tujukan kepada
Ust. Abu Bakar Ba’asyir. Saya sepakat bahwa sebagai umat Islam kita wajib
menjalankan Syari’at Islam, akan tetapi saya tidak sepakat dengan Ustadz yang
menyatakan bahwa di UIN terdapat orang kafir hanya karena berbeda penafsiran.
Karena, menurut saya kita harus menghormati pendapat orang lain, jadi kita
tidak bisa menyalahkan persepsi orang lain ketika ia membaca sebuah ayat.
Disamping itu, kita bisa melihat bahwa dalam Islam ada empat mazhab,
masing-masing memiliki pendapat tersendiri, walaupun perbedaan itu dalam hal
ibadah namun tidak menutup kemungkinan bisa berimbas pada hal-hal yang lain
seperti pemikiran, politik, muamalah, halaqah dan syaksyiah.
Kemudian saya juga sepakat
ketika Ustad menyatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang paling modern
dengan indikasi pelaksanaannya cepat, biayanya murah dan hasilnya memuaskan.
Akan tetapi saya melihat tentang potong tangan di Arab Saudi terdapat banyak
sekali orang-orang yang tidak punya dua tangan dan dua kaki. Ini artinya ketika
dipotong salah satu tangannya, seseorang ini tidak langsung jera. Ia pun
mencuri lagi, lantas dipotong lagi, begitu selanjutnya hingga tangan dan kaki
habis. Ini berarti bahwa hukum potong tangan juga tidak menjerakan.
Selanjutnya tentang poligami,
ada yang mengatakan hal itu halal, ada juga yang mengatakan haram, ada lagi
yang mengatakan halal tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Dari sini kita
tidak bisa mengklaim bahwa pendapat saya yang sesuai dengan syari’at Islam,
dari sini saya juga sepakat dengan Pak Yani sesungguhnya syari’ah mana yang
hendak dipakai di tengah banyaknya perbedaan pendapat dalam masyarakat.
Jawaban Narasumber
Mahfud MD:
Saya ingin menanggapi secara
umum terlebih dahulu. Bahwa perjuangan menegakkan hukum Islam mempunyai sejarah
yang panjang. Tetapi, ada tiga fenomena yang menyebabkan orang akan berbalik
dari memperjuangkan Negara Islam menjadi penentang Negara Islam. Pertama:
belajar ke luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Syafi’i Ma’arif dan Amien
Rais. Mereka dahulunya adalah pejuang Negara Islam setelah ia belajar tentang
al Qur’an secara komprehensif, maka ia pun mengatakan bahwa Negara Islam tidak
pernah ada. Demikian juga dengan Nurcholish Madjid, yang ketika muda ia adalah
seorang pengagum ayahnya yang memiliki kesetiaan kepada Masyumi dengan tujuan
pokoknya adalah berdirinya Negara Islam. Akan tetapi setelah ia pergi belajar
ke Amerika dan sekembalinya dari sana ia mengatakan tidak ada Negara Islam.
Demikian juga dengan Gus Dur yang dahulunya adalah ketua Ikhwanul Muslimin
cabang Jombang yang sangat kagum dengan perjuangan Negara Islam yang diusung
oleh Ikhwanul Muslimin. Setelah ia belajar di Mesir dan bekerja di Jerman
selama dua tahun dan sekembalinya ia pun mengatakan tidak ada Negara Islam.
Jadi, orang berubah karena bertambahnya ilmu, semakin bertambah ilmu maka ia
semakin menerima.
Kedua, orang bisa berubah karena pertarungan demokrasi. Jika telah kalah dalam demokrasi maka ia telah kalah seutuhnya, seperti yang dialami oleh PKS yang sekarang telah berubah dari tujuan awal, demikian juga dengan PPP yang dahulunya sanggup menyatakan bahwa apapun yang terjadi, yang penting Negara Islam. Namun sekarang telah berubah juga. Demikian pula dengan Abdul Qodir Jaelani. Demokrasi pula yang telah menjadikan perolehan suara partai Islam menjadi minim. Harus diingat, ada berapa persenkah pendukung Islam. Dalam pemilu tahun 1999 hanya 19 % selebihnya mereka memiliki pilihan sendiri.
Kedua, orang bisa berubah karena pertarungan demokrasi. Jika telah kalah dalam demokrasi maka ia telah kalah seutuhnya, seperti yang dialami oleh PKS yang sekarang telah berubah dari tujuan awal, demikian juga dengan PPP yang dahulunya sanggup menyatakan bahwa apapun yang terjadi, yang penting Negara Islam. Namun sekarang telah berubah juga. Demikian pula dengan Abdul Qodir Jaelani. Demokrasi pula yang telah menjadikan perolehan suara partai Islam menjadi minim. Harus diingat, ada berapa persenkah pendukung Islam. Dalam pemilu tahun 1999 hanya 19 % selebihnya mereka memiliki pilihan sendiri.
Ketiga, orang bisa berubah
apabila menerima jabatan. Sehingga ada orang yang dua minggu sebelumnya
menyatakan di koran masih menjadi pendukung Syari’at Islam, tetapi setelah
ditawari jabatan ia pun mengatakan bahwa Pancasila telah final tidak ada tempat
untuk Negara Islam.
Substansi Islam
Kepada Saudara Aris,
mengedepankan substansi karena sesungguhnya kita tidak bisa lepas dari
substansi. Bahkan Indonesia sebagai negara, kita tidak mengikuti Amerika, Eropa
dan yang lainnya. Yang kita lakukan adalah mempertemukan substansi-substansi
hukum yang telah ada termasuk Islam. Persoalannya, kalau Islam berhasil di
Indonesia menjadi negara lantas Islam menurut pemahaman siapakah yang akan
dipergunakan. Sesungguhnya yang terjadi selama ini adalah karena kita mencampur
aduk antara pengertian Syari’ah dengan fiqh, sehingga kita cenderung bingung
jika Islam berhasil lantas Islam manakah yang akan dipakai. Kalau jawabannya
adalah terserah, maka itu berarti bahwa hukum Islam tidak bisa diperjuangkan
karena yang dapat diperjuangkan hanya hal-hal yang bersifat pasti dan jumlahnya
hanya satu.
Dahulu Imam Ibnu Hambal dihukum
oleh pemerintah Islam karena adanya perbedaan pendapat. Kemungkinan ini juga
bisa terjadi pada diri bangsa Indonesia. Sejarah juga telah membuktikan bahwa
orang Islam sering membunuh sesama Muslim karena adanya perbedaan. Jika
kemudian saudara menyerahkan persoalan Islam ini pada politik maka kita harus
sadar yang mendukung Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia, pendukung partai
Islam tidak pernah lebih dari 30%. PPP memang pernah mencapai 29%, tetapi bukan
murni atas perjuangan mereka akan tetapi karena mereka ikut dalam asas tunggal.
Setelah PPP berdiri sendiri sebagai partai Islam maka perolehannya tidak lebih
dari 9%. Demikian juga dengan partai Islam lainnya, nilai jualnya dari dahulu
hingga sekarang tidak pernah naik.
Adapun tentang pendapat,
sesungguhnya setiap orang mempunyai pendapat yang sama-sama benar menurut
persepsi masing-masing. Sebagai contoh, dalam pengadilan ketika kita mendengar
tuntutan jaksa mungkin kita akan mengatakan bahwa jaksa itu benar dan
tuntutannya telah sesuai. Akan tetapi, di lain hari ketika kita mendengar
pembela menyampaikan pembelaannya mungkin juga kita akan mengakui kebenaran
sang pembela. Demikian juga ketika kita mendengar keputusan hakim mungkin juga
kita akan mengatakan bahwa hakim lah yang benar. Itulah yang dinamakan dengan
persepsi dimana orang bisa berbeda-beda. Demikian juga ketika kita berbicara
tentang agama, orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda-beda, yang
penting kita saling menghormati.
Jawaban Ust Ba’asyir
Dalam Islam sesungguhnya
perbedaan pendapat diakui adanya, karena hal itu memang manusiawi. Akan tetapi,
ada aturan yang dipakai, mana yang boleh khilaf dan mana yang tidak boleh.
Kalau semuanya boleh khilaf, maka yang terjadi adalah kekacauan. Yang tidak
boleh khilaf adalah persoalan-persoalan ushul (prinsip), misalnya tentang
shalat. Shalat pada prinsipnya adalah lima waktu dan hukumnya adalah wajib
karena dalilnya qat’i (jelas). Adapun ketika menemukan perbedaan, maka
antisipasinya adalah seperti yang diterangkan al Qur’an, yakni mencari
solusinya dengan mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Qur’an dan
Sunnah.
Dalam memahami sunnah pun tidak
boleh sembarangan karena ada ilmu khusus yang dipakai. Dengan demikian kita
bisa membantah siapa saja yang sekiranya menyimpang dari ajaran Rasul, jika dia
keberatan harus berani diajak untuk berdebat. Dari sini kita harus jujur bahwa
segala sesuatu dalam Islam mempunyai kaidah-kaidah yang harus dipakai, sehingga
tidak ngawur asal beda saja. Shalat hukumnya wajib, jika ada yang mengatakan
tidak wajib maka harus dimintai dalil, jika tidak mampu menunjukkan dalil maka
ia harus diingatkan, dan jika tetap membangkang maka ia harus diberi sanksi.
Tindakan seperti itu bukan berarti tidak menghormati pendapat orang lain,
tetapi tindakan kepada orang yang pendapatnya ngawur. Jadi, segala sesuatu
tidak bisa diterjang begitu saja.
Adapun yang boleh dijadikan
sebagai wilayah ikhtilaf adalah dalam hal furu’ (cabang). Misalnya, dalam
shalat ada yang mengangkat tangan ketika takbiratul ihram sebatas telinga atau
hanya sampai depan dada maka perbedaan seperti itu sah-sah saja. Adapun
perbedaan-perbedaan selanjutnya bisa diselesaikan oleh Imam/Amirul Mukminin,
karena itulah manajemen dalam Islam. Apabila jika hal itu adalah permasalahan
furu’ maka silakan mengikuti apa yang ditetapkan oleh Imam meskipun
bertentangan dengan pendapat kita.
Murtad: Terhadap
keberatan Ibu dosen UIN tadi, saya mengatakan bahwa di UIN terdapat dosen yang
murtad, itu bukanlah pendapat ngawur, karena telah ada yang membuktikannya
lewat tulisan yakni Hartono Ahmad Jaiz. Ada dosen yang membatalkan perkara
ushul dan berargumen hanya menggunakan otak semata. Itu tidak boleh terjadi,
karena orang Islam mempunyai dalil yang jelas, selama dalilnya jelas maka tidak
perlu ditafsirkan macam-macam. Misalnya, tentang hukum potong tangan, kita
tidak bisa menafsirkan ayat yang menjelaskan hal tersebut dengan penafsiran
lain. Adapun khilafnya adalah, pemotongan tangan dilakukan pada pergelangan
atau pada siku atau pangkal lengan.
Tidak jera: Jika benar
seperti yang anda katakan, di Arab Saudi hukuman potong tangan ternyata tidak
menjerakan. Memang, ada manusia yang bandel, tidak mau kapok, sekalipun dihukum
pakai apapun juga tetap saja ingin mencuri atau bermaksiat lagi. Maka
hukumannya bertahap, dari potong tangan kemudian kaki, lalu bersilang, tidak
kapok juga maka hukumannya disalib. Tetapi tidak bisa dipungkiri, hukuman
potong tangan sangat efektif meminimalkan pencurian atau pelanggaran lainnya.
Perlu dilakukan penelitian, berapa persen dari hukuman rajam memiliki efek jera
atau sebaliknya, bila dibanding dalam kasus yang sama di negeri yang tidak
memberlakukan hukum Islam.
Perubahan Sikap: Semakin
bertambah ilmu seorang Muslim, mestinya semakin cerdas untuk membela penerapan
Syari’at islam di lembaga negara, apalagi bila dia seorang cendekiawan Muslim.
Orang demokrasi saja terus menerus mengasah otak agar sistem demokrasi kafir
itu diterima dunia. Malah cendekiawan Muslim belajar ke mana-mana, pulangnya
nolak syari’at, aneh. Itulah akibatnya, bila memahami Islam hanya dengan
pikiran, maka hasilnya akan berubah-ubah dan tidak konsisten. Lebih-lebih bila
kaitannya dengan jabatan, popularitas, dan harta dunia. Karena itu, Nabi
sendiri telah mengingatkan bahwa ada dua hal yang menerkam iman lebih dari
serigala lapar menerkam kambing, yaitu dunia dan kedudukan. Itu pula yang
dimaksud oleh Rasul bahwa di akhir zaman nanti, umatku akan terkena oleh
penyakit wahn yaitu cinta dunia dan takut mati. Orang yang terkena penyakit ini
kemudian menciptakan syari’at sendiri karena surganya adalah dunia. Disinilah
kita harus jujur mengakui kebenaran Islam dan jangan sampai hukum Islam
diamandemen seperti yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, jika itu yang
terjadi, maka pertanyaannya apakah manusia lebih pintar daripada Allah?
Perbedaan Agama: Dalam
memandang perbedaan agama, Islam punya patokan sendiri. Dalam memandang hal
tersebut, Islam sangat tegas: kami laksanakan apa yang kami yakini dan anda
silakan melaksanakan apa yang anda yakini, dan tidak saling mengganggu.
Menghadapi perbedaan, Islam punya solusi, yaitu berdebat, jika tidak mau maka
kita berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing dan tidak saling
mengganggu. Beberapa hari yang lalu saya didatangi oleh tokoh Kristen Katholik
yakni Frans Seda, ia mengatakan apakah jika Syari’at Islam dilaksanakan apakah
kami akan dipaksa untuk mengikuti. Maka saya jawab, tentu tidak, silakan anda
jalankan syari’at agama anda dan kami juga menjalankan syari’at agama kami
melalui lembaga negara, karena Syri’at Islam adalah konstitusi atau undang-undang.
Dan yang harus dipahami oleh orang-orang Non Muslim bahwa kami menjalankan
Syari’at Islam di lembaga negara adalah karena keyakinan bukan politik.
Kemudian untuk penanya ibu-ibu,
cobalah anda baca surat 60 ayat 4: ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu
dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan
telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja”. Dengan demikian pada persoalan
keyakinan terdapat pagar pembatas, jangan paksa kami menghormati kamu dan kami
juga tidak akan mengganggu kamu sampai kamu beriman kepada Allah. Ayat ini
termasuk ayat keras tetapi mengapa kita diperintahkan untuk meneladani? Karena
sesungguhnya kendati keras akan tetapi kita tetap diperintahkan untuk jangan
mengganggu, Allah berfirman “Allah tidak melarang kamu untuk berlaku adil
kepada orang orang yang tidak mengusir kamu”. Sehingga urusan dunia tetap rukun
tetapi urusan keyakinan adalah bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Terakhir saya ingin menanggapi
apa yang disampaikan oleh Pak Yani yang mengatakan “Kalau kita melihat
teknologi tinggi, seakan-akan kita melihat Allah” Ungkapan itu adalah ungkapan
yang berbahaya karena Nabi Musa saja pernah berkeinginan melihat Allah kemudian
ia diperintahkan melihat gunung, ketika gunung itu hancur, ia pun pingsan.
Sesungguhnya yang benar adalah “Setiap kita melihat perkembangan ilmu
pengetahuan yang menakjubkan maka kita berfikir tentu Allah lebih hebat dari
semua ini, semakin tinggi ilmu maka kita semakin menyadari kebesaran Allah”.
Selanjutnya yang ingin saya
tanggapi adalah ucapan bahwa kita semua punya tuhan yang sama. Memang benar
semua mempunyai tuhan, tetapi ketika berbicara tauhid Rububiyah yaitu tauhid
kekuasaaan Allah, misalnya hanya Allah yang menghidupkan dan mematikan, hanya
Allah yang menyelamatkan. Terhadap itu semua, siapapun percaya karena semua
manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah yaitu fithrah ketuhanan. Iblis pun
percaya kalau hanya bahwa tuhan itu ada, itu terbukti dari do’a iblis “Wahai
Allah panjangkanlah usiaku sampai hari kiamat” karena iblis mempunyai program
untuk mencari teman sebanyak-banyaknya sebagai teman di neraka. Begitu juga
ketika ditanyakan kepada masyarakat Jahiliyah sesungguhnya siapakah yang mempunyai
langit dan bumi, mereka pun menjawab Allah. Jadi kalau hanya mempercayai tuhan
itu ada maka semua percaya. Akan tetapi ada lagi tauhid yang harus diyakini
yaitu kepercayaan keesaan hukum dalam mengatur kehidupan manusia. Inilah yang
diingkari oleh orang-orang kafir. Sehingga mereka berani berkata “Ya Allah, aku
tahu engkau maha kuasa tapi jangan ikut campur deh dalam mengatur hidupku.”
Jadi, kalau kita mengakui bahwa Allah yang maha Kuasa maka Syari’at-Nya harus
dipergunakan juga. Adapun jika ingin membuat hukum sendiri harus terlebih
dahulu minta izin kepada Allah.
Jawaban Dr. Yani
Syari’at yang mana: Apa
yang disampaikan oleh Ustadz Abu merupakan pancaran sinar Allah. Tetapi terkait
dengan apa yang diyakini oleh MMI sebagai manhaj Shalafus Shalih yakni
mengikuti Nabi, sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in bahwa sesuatu semakin jauh
dengan Allah maka semakin profan. Dalam hal ini umpamanya antara NU dengan MMI,
semakin jauh dari masa Rasulullah maka semakin profan, NU tidak hanya berpegang
kepada tabi’ut tabi’in akan tetapi sampai ulama saat ini bahkan kepada Gus Dur.
Artinya, itu lebih profan daripada orang MMI yang hanya berpegang kepada
Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Akan tetapi kerangka teknik
dan praktiknya akan seperti itu, saya melihat bahwa tetap saja Shalafus
Shalihnya MMI sebagai produk budaya yang barangkali bisa sama dan bisa berbeda
dengan kerangka berfikir orang lain. Terkait dengan ini, menurut yang saya
pahami bahwa MMI bukan lah aliran garis keras akan tetapi ingin menegakkan
identitasnya. Persoalannya adalah Syari’at Islam yang mana, yakni yang dipegang
oleh Rasulullah dan pengikutnya sedangkan pada masa itu orang sudah berbicara
tentang ahlu ra’yu, ahlu akl dan bahkan jangan-jangan antara Ustadz Abu dan
Ustadz Irfan berbeda pendapat dalam memahami Syari’at Islam.
Kemudian menanggapi pertanyaan
dari saudara Aris Nasuha dari HTI mengapa hanya esensinya yang penting bukan
institusinya. Menurut saya semuanya penting, akan tetapi jujur saja lebih mudah
esensi daripada institusi. Saya teringat teman saya, dia adalah seorang kyai NU
yang setiap hari membaca fiqh mawaris akan tetapi ketika ia meninggal ia tidak
membagikan warisan berdasarkan Syari’at Islam, atau tetangga mbah saya yang
dahulunya adalah pejuang Masyumi yang bertujuan untuk negara Islam ketika saya
tanya bapak saya apakah mereka memberikan waris berdasarkan Islam, beliau
menjawab tidak.
Yang menjadi persoalan adalah
budaya yang ada, ketika dahulu maraknya partai-partai Islam yang memperjuangkan
negara Islam seperti Masyumi, NU, PERSIS orang banyak tertarik akan tetapi bila
ditanyakan kepada mereka, apakah negara Islam itu? Maka tidak banyak yang tahu.
Mereka tidak tahu apa konsep Islam dalam membangun suatu negara.
Dalam kerangka ini bagi HTI yang
bertujuan membangun khilafah maka pertanyaannya adalah khilafah yang mana, oleh
karena kita lebih penting berbicara esensi dari pada institusi.
Substansi dan Formalisasi Syari’at Islam
Sesungguhnya Tatbiqus Syari’ah
telah jelas, yakni perintah melaksanakan Syari’ah Islam. Tidak ada khilaf, yang
berbahaya justru khilaf dalam menafsirkan al Qur’an. Karena ada aturan atau
kaidah-kaidah yang harus dipakai, itu yang saya maksud bahwa Rasul adalah
pengajar yang dijadikan sebagai rujukan, sehingga tidak diperkenankan
menafsirkan semaunya saja. Persoalannya adalah adanya orang-orang yang
menghancurkan kaidah-kaidah khilaf itu sendiri. Apalagi oleh orang-orang yang
telah belajar di Amerika, dan mereka menggunakan sistem hidup yang telah
digariskan oleh ulama orientalis, yakni memahami al Qur’an dengan sistem yang
mereka pakai dalam memahami bibel. Di dalam bibel telah bercampur antara yang
benar dengan yang salah, karenanya diingatkan oleh Rasulullah Saw. jika membaca
bibel janganlah kamu benarkan dan jangan pula disalahkan sebelum disesuaikan
dengan Qur’an. Jadi, patokannya adalah al Qur’an. Apabila sesuai maka itu
benar, tapi bila bertentangan dengan Qur’an maka itu bathil.
Syari’at Islam harus diamalkan
baik dalam bentuk formal maupun substansinya. Tidak seperti dikatakan Mahfud
MD, yang penting substansinya. Jika menolak formalisasi Syari’ah di lembaga
negara, dan menerima secara substansial, jelas tidak logis. Mengapa tatkala
berbicara tentang hukum atau aturan selain Islam, tidak dikatakan yang penting
substansinya? Ini kecurangan dan diskriminasi hukum. Mengapa cara berpikir
substansialis ini tidak diberlakukan terhadap aturan-aturan di negara lain?
Mengapa orang-orang seperti Mahfud MD, Syafi’i Maarif, Amin Rais dan yang
sepaham dengannya, tidak melihat shalat dari substansinya saja? Substansi
shalat, adalah melaksanakan rukun shalat, tidak perlu adanya Masjid, sebab
Masjid hanyalah simbol dan formalitas. Konsekuensinya, perkawinan cukup ada
mempelai laki perempuan, hidup berumah tangga, melakukan hubungan seksual
seperti kucing. Mengapa harus ada lembaga perkawinan, pakai surat nikah, ada
saksi, wali, semua itu hanya formalitas. Mengapa harus ada lembaga haji, zakat
dan lainnya, bukankah itu semua formalitas? Begitupun, untuk apa negara
mewajibkan warga negara mempunyai kartu penduduk, SIM, KTP dan sebagainya,
bukankah itu juga formalitas, bukan substansi, yang hanya merepotkan administrasi
negara?
Anehnya, ketika tuntutan
Syari’at Islam -aturan hidup yang melingkupi semua aspek kehidupan- merebak,
tiba-tiba kaum substansialis berteriak, tidak perlu formalitas cukup
substansinya saja. Sementara sistem demokrasi, diterima pengamalannya, baik
substansi maupun formal. Siapa yang memberi hak pada mereka, bahwa agama yang
penting substansinya, padahal Allah telah menurunkan Syari’at secara formal?
Buktinya dalam Al-Qur’an ada hak, larangan dan perintah. Misalnya larangan,
jangan kamu membunuh. Substansi dari larangan, ‘jangan membunuh’ itu seperti
apa? Berfikir substansial dengan menyudutkan hukum-hukum Allah, berarti
menyetarakan hukum Allah dengan hukum buatan manusia, jelas kekafiran dalam
berfikir, dan sikap murtaddin, murtad dari Islam. Mereka ingin beragama tanpa
Tuhan, atau mengangkat Tuhan tanpa syari’at. Na’udzubillahi min dzalik.
Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 4 Th I Dzulhijjah 1427 H / Januari 2007, hal. 55-64.
Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 4 Th I Dzulhijjah 1427 H / Januari 2007, hal. 55-64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar