16 Juni 2012

Kerinduan Menista Agama Tuhan


Bangsa kita memiliki pengalaman teramat panjang yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, sepanjang kehidupan itu sendiri. Begitu panjangnya pengalaman ini, sampai-sampai ia menjelma sebuah bingkai untuk mengukur seluruh perbuatan kita. Kita baru bisa bertindak, kalau ukuran agama menghendaki. Kita akan menghindarkan jauh-jauh, semua sikap yang tidak sesuai dengan ukuran agama, apalagi kalau sampai menistakan agama. Hal-hal lain "di luar" kehidupan keagamaan antarkita, bisa diukur dengan ukuran yang lebih "longgar", asal ukuran tersebut masih bisa masuk dalam bingkai agama. 

Begitu kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan kita, sehingga bangsa ini kerapkali mengklaim sebagai bangsa yang paling religius. Bangsa, yang karena merasa begitu dekatnya dengan Tuhan, sampai-sampai merasa pantas bermain-main dengan-Nya.

Tetapi dalam perkembangannya, cara pandang terhadap agama telah melahirkan format yang beragam sehingga ukuran yang awalnya bersifat tunggal menjelma cermin banyak gambar. Masing-masing komunitas agama tak pelak lagi mengaku memiliki cermin sendiri untuk dijadikan alat ukur dan mengklaim alat ukurnya sebagai yang paling original. Paling asli, asli datang dari Tuhan, langsung dibawa sang nabi. Begitu kuatnya pandangan seperti ini, sampai kita lupa bahwa Allah telah menurunkan banyak nabi dengan ajaran tunggal; tidak menomorduakan Allah dalam segala hal. Karena radikalnya paham semacam ini, mereka dengan tega hati menistakan nabi di luar nabi yang diimaninya. Tragisnya, umat dalam pelukan satu nabi, masih saling klaim sebagai "anak kandung" paling asli dan menempatkan lainnya sebagai bukan asli umat nabi. Untuk mempertahankan klaimnya, mereka tak segan-segan mengambil jalan yang paling radikal dan keras sekalipun meski sang nabi setiap saat berteriak tentang agungnya sikap saling menyayangi dan saling mengasihi.

Dalam kaca mata mereka, nabi adalah seorang pendekar dan panglima perang belaka. Dalam pandangan mereka, nabi tak lebih dari sekadar penghukum dengan kitab undang-undang yang isinya cuma menghukum, bukan mengadili. Padahal Baginda Muhammad lebih memilih menjadi nabi yang "hamba" (nabiyyan 'abdan) dan penyayang ketimbang "raja" (nabiyyan malikan); seorang kepala negara. Baginda berujuluk nabiyyun ummiyun (antara lain berarti bersikap keibuan) karena kelembutan hatinya. Beliau adalam pemimpin yang paling tidak kuat menahan linangan air mata kalau menyaksikan umatnya menderita. Tetapi belakangan, nabi yang amat kita banggakan dan kita junjung tinggi ini, martabatnya coba dijauhkan dari derajat yang sesunggunya. Dalam banyak kasus, bukti-bukti menjelaskan dengan sangat gamblang. Begitu kita berbai'at sebagai umat nabi, seharusnya kita mencoba mengikuti jejaknya dan mematut-matutkan semua tingkah laku kita kepadanya.

Tetapi ternyata, belakangan bukan seperti itu yang terjadi. Kasus penistaan terhadap nabi sesungguhnya adalah penistaan terhadap agama dan penistaan pula terhadap Tuhan. Indonesia yang membuka peluang yang sama besarnya kepada semua agama untuk hidup secara damai, kini digoyang oleh sikap penistaan terhadap agama. Dua agama besar, Islam dan Kristen, yang sejak awal perkembangan kehidupan republik ini, harus disadari telah menjadi lahan paling subur bagi tumbuhnya tindakan infiltrasi dan penistaan tersebut. Memang dalam dua dekade terakhir, kesan "perseteruan" antarkeduanya tampak semakin berkurang, ketika para infiltran mundur selangkah karena resistensi dari dalam masyarakat agama yang sungguh begitu kuat.

Belakangan, inflitrasi justru mulai merasuk ke dalam internal agama tertentu. Digoyang dari dalam sehingga deraknya sampai terdengar keluar. Memanfaatkan momentum gelombang reformasi dan kebebasan, mereka juga dengan bebas menafsirkan nilai-nilai agama sesuai dengan kepentingan serta target tertentu mereka. 

Agama, seperti ditakdirkan menjadi sebuah medium paling ampuh dan efektif bagi pencapaian sebuah target tertentu; ekonomi, politik serta kekuasaan. Di mana pun di dunia ini, hal itu selalu terjadi, termasuk di Indonesia. Betapa mudahnya pengunaan agama sebagai medium pencapaian ketiga target di atas, tampak semakin mudah ketika mereka mampu memanfaatkan ragam aliran dan sekte dalam agama tertentu. Sikap masing-masing aliran dan sekte yang mengklaim sebagai paling benar dan otentik, telah pula membantu para infiltran kepentingan bekerja dengan mudah. Bagi para infiltran, agama tak boleh dibiarkan tersenyum sebentar. Seperti ada sebuah kerinduan tersendiri bagi mereka untuk tidak abai menistakan agama.

Dalam dunia Islam sendiri, muncul beragam aliran dengan ciri khasnya yang berbeda-beda. Begitu juga di agama lain. Dalam Islam, misalnya, ada umat yang beraliran Sunni, ada pula yang Syi'ah tetapi ada pula yang lain meski tidak sebesar kedua aliran terdahulu. Konteks mutakhir di Irak, adalah sebuah upaya sistematis dan bersifat global untuk menempatkan Sunni berhadap-hadapan dengan Syi'ah. Padahal, beratus-ratus tahun sebelumnya, kedua faksi ini bisa hidup secara damai, sampai akhirnya karena kepentingan tertentu menjadi mudah diinfiltrasi oleh kepentingan dunia imperialis. Kini, karena cerminnya tunggal, maka pantulannya sampai pula ke Indonesia. Di beberapa tempat, satu kelompok menista kelompok yang lain malah dengan propaganda yang sangat terencana dan bukan sekadar letupan semata yang terkesan by accident. Ini sungguh terencana. Memang entitasnya masih kecil tetapi nyata adanya dan pasti memiliki agenda tertentu. Kalau tidak, sudah barang pasti mereka tidak akan berani melakukan "perang terbuka" di depan mata.

Terbukti, mereka bukan "umat" asli daerah setempat tetapi berasal dari daerah-daerah lain setelah mereka berhasil dipaksa berbicara oleh aparat keamanan. Bukankah mereka memiliki misi tertentu sehingga dengan gagah berani memasuki garis demarkasi umat lain? Bagi kami, kalangan Sunni, keyakinan bahwa masing-masing aliran memiliki target summom bonum di mata Tuhan, benarlah adanya. Tetapi sudah seharusnya kedua aliran ini memperkuat diri dari tindakan infiltrasi kekuatan tertentu untuk merusak kedamaian dan ketulusan umat Islam dari dalam. Apa salahnya hidup damai, tenang dan rukun? Apa susahnya saling menenggang dan saling memahami betapa yang ingin kita capai hanya Allah semata meski kita harus menempuh jalan yang berbeda. Jangan lagi kita rela dan sampai hati, Islam dibuat tunggangan oleh kelompok inflitran untuk kepentingan yang justru menistakan agama. Siapa lagi yang akan membela agama kecuali kita sendiri. Kenapa harus dibela? Karena Islam adalah jalan yang kita yakini benar adanya untuk tujuan akhir hidup kita.

Kini, mari menyadari betapa desain global untuk kepentingan penistaan agama ini telah secara terang-benderang ada di depan mata kita. Karena kita telah memberikan jaminan ikut serta membangun bangsa dan negara, maka aparatur negara harus pula memberikan komitmennya untuk terlibat secara aktif membendung derasnya aliran para infiltran yang menyusup ke dalam kehidupan umat beragama. Kalau dibiarkan, sungguh tak terbayangkan harganya yan harus dibayar. Membangun bangsa dan negara, membutuhkan sebuah komitmen bersama. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.

(Chaerol Riezal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar