Bangsa kita memiliki
pengalaman teramat panjang yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, sepanjang
kehidupan itu sendiri. Begitu panjangnya pengalaman ini, sampai-sampai ia
menjelma sebuah bingkai untuk mengukur seluruh perbuatan kita. Kita baru bisa bertindak,
kalau ukuran agama menghendaki. Kita akan menghindarkan jauh-jauh, semua sikap
yang tidak sesuai dengan ukuran agama, apalagi kalau sampai menistakan agama.
Hal-hal lain "di luar" kehidupan keagamaan antarkita, bisa diukur
dengan ukuran yang lebih "longgar", asal ukuran tersebut masih bisa
masuk dalam bingkai agama.
Begitu kuatnya pengaruh
agama dalam kehidupan kita, sehingga bangsa ini kerapkali mengklaim sebagai
bangsa yang paling religius. Bangsa, yang karena merasa begitu dekatnya dengan
Tuhan, sampai-sampai merasa pantas bermain-main dengan-Nya.
Tetapi dalam
perkembangannya, cara pandang terhadap agama telah melahirkan format yang
beragam sehingga ukuran yang awalnya bersifat tunggal menjelma cermin banyak
gambar. Masing-masing komunitas agama tak pelak lagi mengaku memiliki cermin
sendiri untuk dijadikan alat ukur dan mengklaim alat ukurnya sebagai yang
paling original. Paling asli, asli datang dari Tuhan, langsung dibawa sang
nabi. Begitu kuatnya pandangan seperti ini, sampai kita lupa bahwa Allah telah
menurunkan banyak nabi dengan ajaran tunggal; tidak menomorduakan Allah dalam
segala hal. Karena radikalnya paham semacam ini, mereka dengan tega hati
menistakan nabi di luar nabi yang diimaninya. Tragisnya, umat dalam pelukan
satu nabi, masih saling klaim sebagai "anak kandung" paling asli dan
menempatkan lainnya sebagai bukan asli umat nabi. Untuk mempertahankan
klaimnya, mereka tak segan-segan mengambil jalan yang paling radikal dan keras
sekalipun meski sang nabi setiap saat berteriak tentang agungnya sikap saling
menyayangi dan saling mengasihi.
Dalam kaca mata mereka,
nabi adalah seorang pendekar dan panglima perang belaka. Dalam pandangan
mereka, nabi tak lebih dari sekadar penghukum dengan kitab undang-undang yang
isinya cuma menghukum, bukan mengadili. Padahal Baginda Muhammad lebih memilih
menjadi nabi yang "hamba" (nabiyyan 'abdan) dan penyayang ketimbang
"raja" (nabiyyan malikan); seorang kepala negara. Baginda berujuluk
nabiyyun ummiyun (antara lain berarti bersikap keibuan) karena kelembutan
hatinya. Beliau adalam pemimpin yang paling tidak kuat menahan linangan air
mata kalau menyaksikan umatnya menderita. Tetapi belakangan, nabi yang amat
kita banggakan dan kita junjung tinggi ini, martabatnya coba dijauhkan dari
derajat yang sesunggunya. Dalam banyak kasus, bukti-bukti menjelaskan dengan
sangat gamblang. Begitu kita berbai'at sebagai umat nabi, seharusnya kita
mencoba mengikuti jejaknya dan mematut-matutkan semua tingkah laku kita
kepadanya.
Tetapi ternyata,
belakangan bukan seperti itu yang terjadi. Kasus penistaan terhadap nabi
sesungguhnya adalah penistaan terhadap agama dan penistaan pula terhadap Tuhan.
Indonesia yang membuka peluang yang sama besarnya kepada semua agama untuk
hidup secara damai, kini digoyang oleh sikap penistaan terhadap agama. Dua
agama besar, Islam dan Kristen, yang sejak awal perkembangan kehidupan republik
ini, harus disadari telah menjadi lahan paling subur bagi tumbuhnya tindakan
infiltrasi dan penistaan tersebut. Memang dalam dua dekade terakhir, kesan "perseteruan"
antarkeduanya tampak semakin berkurang, ketika para infiltran mundur selangkah
karena resistensi dari dalam masyarakat agama yang sungguh begitu kuat.
Belakangan, inflitrasi
justru mulai merasuk ke dalam internal agama tertentu. Digoyang dari dalam
sehingga deraknya sampai terdengar keluar. Memanfaatkan momentum gelombang
reformasi dan kebebasan, mereka juga dengan bebas menafsirkan nilai-nilai agama
sesuai dengan kepentingan serta target tertentu mereka.
Agama, seperti
ditakdirkan menjadi sebuah medium paling ampuh dan efektif bagi pencapaian
sebuah target tertentu; ekonomi, politik serta kekuasaan. Di mana pun di dunia
ini, hal itu selalu terjadi, termasuk di Indonesia. Betapa mudahnya pengunaan
agama sebagai medium pencapaian ketiga target di atas, tampak semakin mudah
ketika mereka mampu memanfaatkan ragam aliran dan sekte dalam agama tertentu.
Sikap masing-masing aliran dan sekte yang mengklaim sebagai paling benar dan
otentik, telah pula membantu para infiltran kepentingan bekerja dengan mudah.
Bagi para infiltran, agama tak boleh dibiarkan tersenyum sebentar. Seperti ada
sebuah kerinduan tersendiri bagi mereka untuk tidak abai menistakan agama.
Dalam dunia Islam
sendiri, muncul beragam aliran dengan ciri khasnya yang berbeda-beda. Begitu juga
di agama lain. Dalam Islam, misalnya, ada umat yang beraliran Sunni, ada pula
yang Syi'ah tetapi ada pula yang lain meski tidak sebesar kedua aliran
terdahulu. Konteks mutakhir di Irak, adalah sebuah upaya sistematis dan
bersifat global untuk menempatkan Sunni berhadap-hadapan dengan Syi'ah.
Padahal, beratus-ratus tahun sebelumnya, kedua faksi ini bisa hidup secara
damai, sampai akhirnya karena kepentingan tertentu menjadi mudah diinfiltrasi
oleh kepentingan dunia imperialis. Kini, karena cerminnya tunggal, maka
pantulannya sampai pula ke Indonesia. Di beberapa tempat, satu kelompok menista
kelompok yang lain malah dengan propaganda yang sangat terencana dan bukan
sekadar letupan semata yang terkesan by accident. Ini sungguh terencana. Memang
entitasnya masih kecil tetapi nyata adanya dan pasti memiliki agenda tertentu.
Kalau tidak, sudah barang pasti mereka tidak akan berani melakukan "perang
terbuka" di depan mata.
Terbukti, mereka bukan
"umat" asli daerah setempat tetapi berasal dari daerah-daerah lain setelah
mereka berhasil dipaksa berbicara oleh aparat keamanan. Bukankah mereka
memiliki misi tertentu sehingga dengan gagah berani memasuki garis demarkasi
umat lain? Bagi kami, kalangan Sunni, keyakinan bahwa masing-masing aliran
memiliki target summom bonum di mata Tuhan, benarlah adanya. Tetapi sudah
seharusnya kedua aliran ini memperkuat diri dari tindakan infiltrasi kekuatan
tertentu untuk merusak kedamaian dan ketulusan umat Islam dari dalam. Apa
salahnya hidup damai, tenang dan rukun? Apa susahnya saling menenggang dan
saling memahami betapa yang ingin kita capai hanya Allah semata meski kita
harus menempuh jalan yang berbeda. Jangan lagi kita rela dan sampai hati, Islam
dibuat tunggangan oleh kelompok inflitran untuk kepentingan yang justru menistakan
agama. Siapa lagi yang akan membela agama kecuali kita sendiri. Kenapa harus
dibela? Karena Islam adalah jalan yang kita yakini benar adanya untuk tujuan
akhir hidup kita.
Kini, mari menyadari
betapa desain global untuk kepentingan penistaan agama ini telah secara
terang-benderang ada di depan mata kita. Karena kita telah memberikan jaminan
ikut serta membangun bangsa dan negara, maka aparatur negara harus pula
memberikan komitmennya untuk terlibat secara aktif membendung derasnya aliran
para infiltran yang menyusup ke dalam kehidupan umat beragama. Kalau dibiarkan,
sungguh tak terbayangkan harganya yan harus dibayar. Membangun bangsa dan
negara, membutuhkan sebuah komitmen bersama. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.
(Chaerol
Riezal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar