“Hentikan
tembakan,istirahat makan !!!”. Dua kubu yang yang bertempur menarik pelatuk.
Mereka sepakat untuk genjatan senjata pada malam hari untuk makan, minum dan
tidur. Ini adalah kisah fakta pada tahun 1960-an di Bangka Belitung yang
dialami oleh Resimen Pelopor dalam memberangus anggota Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Anggota Resimen Pelopor yang merupakan
pasuka elit Polri pada orde lama hingga dibubarkan pada tahun 1972 kaget dengan
instruksi dua komandan masing-masing. Sebuah akhir kontak senjata yang aneh.
(Hlm. 70).
Secara
keseluruhan buku yang beredar pada awal Januari 2011 membongkar sejarah korps
elit Polri pada awal revolusi yakni Resimen Pelopor. Pasukan elit Polri yang
dibanggakan oleh Presiden Sukarno. Wal hasil, prajurit-prajurit muda memperoleh
senjata tempur yang canggih. Sebut saja senapan serbu AR 15 yang sangat
ampuh dalam laga senjata. Karena keandalan itu, maka senjata itu tetap
dijinjing hingga Detasemen Khusus Alap-Alap yang merupakan re-grouping Resimen
Pelopor digunakan dalam Operasi Seroja Timor-Timur pada tahun 1975.
Menyimak
lembaran demi lembaran buku berkertas ringan ini, terkuat kisah Resimen
Pelopor. Ketika hiruk-pikuk mesin perang dan konfrontasi bersenjata masih
meliputi air, udara, dan tanah serta usia republik masih seumur jagung, dari
rahim Polri lahir sebuah pasukan khusus yang memiliki kemampuan dan keberanian
menggetarkan. Sebuah pasukan yang dihormati oleh kawan dan disegani lawan yang
bernama Korps Mobile Brigade (Mobbrig). Korps ini dibentuk pada tanggal 14
November 1946 oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saat itu, Polri
bertanggungjawab langsung terhadap Sutan Sjahrir. Kekuatan Mobbrig terus
diperkuat untuk mengantisipasi pemberontak di daerah-daerah yang pada
umumnya dilakukan oleh prajurit TNI.
Buku yang
terdiri dari 12 bab ini antara lain menuturkan kisah dibalik sepak
terjang Resimen Pelopor memberangus gerombolan DI/TII yang berkecamuk di Jawa
Barat, Aceh, Sulawesi, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Sumatera, Pembebasan Irian Barat dan lain-lain. Tak lupa dikupas nama Resimen
Pelopor yang mulanya bernama Ranger diubah oleh Sukarno yang tahun 1960-an anti
dengan nama yang berbau kebaratan-kebaratan termasuk sebutan Ranger. Tak bisa
dibantah lagi, impas dari politik mengalir ke mana-mana.
Demikian
juga yang dialam oleb Mobbrig yang berganti nama menjadi Brigade Mobil (Brimob)
pada 14 November 1961 yang disertai penyerahan tanda penghargaan Nugraha
Sakanti Yana Utama. Sebuah penghargaan bagi koprs Brimob atas jasa-jasanya
mempertahankan dan menumpas pemberontakan. Pemberian tanda jasa ini sekaligus
menunjukkan bahwa korps Brimob dan Pelopor dekat dengan Sukarno.
Hasilnya, jenis senjata yang dipakai oleh Resimen Pelopor lebih unggul dari
kesatuan lain.
Pada era
keemasan, Resimen Pelopor merupakan mesin perang yang efektif dan efesien.
Gambaran ideal pasukan khusus yaitu berani, berkemampuan tinggi, efektif
dan efesien menjalankan tugas. Di manapun diturunkan, di manapun ditugaskan, mereka
memiliki semboyan bahwa itu adalah penugasan terahir sehingga memiliki semangat
yang meluap-luap.
Judul Resimen Pelopor Pasukan Elit Yang Terlupakan.
Buku sederhana ini tidak hanya menampilkan kesuksesan Resimen
Pelopor dalam berbagai penugasan. Ada tragedi yang tidak diduga oleh siapa pun
di Kuala Simpang Aceh Timur pada awal tahun 1960-an. Pagi berdarah ini
dilakukan oleh anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang menyamar
sebagai anggota Resimen Pelopor. Penyamaran yang dilakukan tidak tanggung-tanggung
yakni menggunakan truk yang sudah dicat layaknya truk militer lengkap dengan
Merah Putih. Seragam yang dipakai oleh anggota DI/TII pun sama dengan anggota
Brimob lengkap denagn helm tempur. Seragam Brimob kala itu hamper menyerupai
seragam TNI yakni hijau lebih muda. Petugas di pos penjagaan tidak menyangka
bahwa truk yang lewat di depan hidungnya adalah musuh. Akibatnya, puluhan
anggota Brimob Kompi 5116 yang bermarkas di Cipanas Bogor bersimbah darah.
(hlm. 91-92).
Reputasi
yang didapat pasukan ini bukan berasal dari serangkaian pencitraan. Bukan pula
dari mitos yang diagungkan melalui berbagai media layaknya mitos-mitos pasukan
khusus yang dihempuskan sekarang. Resimen Pelopor meraih melalui
rangkaian perjuangan panjang yang menuntut keuletan, keterampilan, ketabahan,
ketahanan, keberanian, dan upaya yang terkadang melampaui kesanggupan manusia
normal. Sebenarnya, hal-hal tersebut adalah biasa bagi prajurit mengingat harus
siap diturunkan di berbagai medan. Yang membedakannya, atau yang membuat mereka
layak diberi sandangan pasukan khusus adalah hasil dan kearifan mereka dalam
menjalankan tugas.
Perjalanan
waktu juga yang menenggelamkan kesatuan ini dalam palung terdalam. Pergantian
penguasa, keberlangsungan pasukan ini pun berakhir. Kerja keras, pengorbanan,
jasa, dan risalah mereka turut terkubur seolah-olah mereka tidak pernah ada.
Ironis lagi, kehebatan sejak orde lama awal orde baru nyaris tak ditulis dalam
sejarah dan hanya menjadi cerita pengantar tidur anak-anak, cucu, dan saudara
terdekat para mantan anggota pasukan tersebut.
Inilah buku
yang membeberkan prajurit hebat yang terlupakan dan nyaris tanpa sejarah. Buku
ini disajikan berdasarkan wawancara, dan sumber-sumber lainnya. Itlah kemahiran
penulis yang notabene seorang dosen ekonomi dan manajemen dan anggota TNI
mendedah sepak terjang pasukan elit yang dmiliki oleh Polri.
Menelaah isi
buku ini seperti kembali ke lorong-lorong waktu yang telah diukir oleh kesuma
bangsa dengan segala keterbatasan sesuai dengan masa pada itu. Tidak berlebihan,
buku ini patut dibaca oleh kalangan anggota Polri, sejarawan atau pengamat
militer. Terbongkar kisah nyata yang tidak pernah terungkap seperti anak buah
yang salah mengartikan kode ketipan mata atasannya. Akibatnya, tawanan ditembak
ketika diperiksa.
Di sisi
lain, penulis memuat foto-foto pasukan Resimen Pelopor dengan seragam loreng.
Dengan demikian halaman demi halaman tidak terasa kering karena mata bisa
sekejab beristirahat menikmati seragam-seragam tempo doeloe.
Selalu ada
hal-hal yang baru yang bisa dicerna dalam buku ini walaupun tanpa indeks atau
ketidakuratan menulis tahun peristiwa yang sering bergeser setahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar