5 Juni 2012

Karena Syariat, Abu Beureueh Kembali Ke Pangkuan NKRI


Karena Syariat Islam (SI), Wali negara Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Tgk. H. Muhammad Daud Beureueh (almarhum) tahun 1962 turun gunung, kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Harta dan tahta apalagi wanita pasti tidak ada nilainya di mata 'Singa Aceh' julukan spektakuler terhadap (Tgk. Muhammad Daud Beureueh), namun dengan tawaran SI hati beliau lembut. Ia adalah potret ulama sejati di zamannya, disegani kawan dan lawan serta merupakan panutan rakyat Serambi Mekah. Tak heran jika beliau dari kalangan rakyat Aceh banyak yang memanggil simbol orang tua, Ayah atau Abu Beureueh.

"Sekeras-kerasnya batu, dapat juga dilunakkan air," kata orang bijak. Demikian pula sekeras-kerasnya prinsip Ayah Beureueh, akhirnya beliau luluh dengan sikap lembut dan bijaksana Kolonel Muhammad Yasin, ketika itu. Tawarannya tepat sasaran, yaitu kompensasi pemberlakuan SI di Aceh. Mendengar tawaran itu, Abu Beureueh lemah lunglai, tak berdaya. Sebagai seorang ulama, ia tidak mampu berkutik ketika pembicaraan menyentuh komonitas manhaj Ilahi.

Begitulah sifat-sifat orang shaleh taat terhadap hukum-hukum Allah, ia pun berucap saat itu 'Laaa syarikala' (tidak ada serikat bagi Engkau (Allah). Semua kepentingan dunia ini kecil, baharu dan fana. Semua yang kaya adalah miskin jika berhadapan dengan kekayaan yang maha agung, semua yang kuat adalah lemah ketika berhadapan dengan kekuatan yang maha kekal dan semua yang mulia adalah hina saat berhadapan dengan kemuliaan Allah.

Tak ada keraguan bagi Ayah Beureueh, lebel Syariat Islam yang diberikan kala itu sulit direalisasinya di lapangan, jika tanpa payung hukum yang jelas. Rupanya harapan dan cita-cita yang baik itu ibarat kata pepatah orang Padang, 'tak lapuek dek hujan dan tak lekang dek panas'.

Kesemuanya itu tercapai pada era Pemerintahan reformasi, seiring lahirnya UU Otonomi khusus atau lebih dikenal dengan U.U No.18/2001. Arwah Abu Beureueh, hanya sempat melihat implementasi Syariat Islam di Aceh dari celah-celah kuburnya.

Abu Beureueh berdiri setia di belakang Proklamator kemerdekaan RI, Ir. Soekarno. Ia tak menuntut merdeka, referendum dan sebagainya. Aksi perlawanan terhadap RI yang dilakukannya pun tak pernah dibuang nama 'Indonesia' (Darul Islam Tentara Islam Indonesia/DI-TII). Cuma yang getol beliau tuntut adalah pemberlakuan Syariat Agama Islam dan keistimewaan Aceh di bidang agama, pendidikan dan adat.

Dengan kata lain ia meminta tiga tempayan (guci, bahasa daerah Aceh-red) dan beliau pun tenang ketika tiga tempayan itu diberikan, tapi sayang sejak beliau turun gunung melalui jalan Syariat Islam s/d tahun 2000, tempayan itu belum sempat diisi air karena perangkat-perangkat (qanun) untuk mengisi air tidak pernah tersedia pada kurun itu. Inilah, barangkali suatu kecelakaan sejarah yang kini sudah direhabilitir oleh Pemerintah RI dengan U.U Otonomi khusus.

Kronologis selengkapnya terhadap proses turunnya Abu Beureueh ke pangkuan RI, bersama angkatan dan senjatanya. HUT ke-62 kemerdekaan RI (17 Agustus 2007), di lajur ini penulis nukilkan kembali apa yang disusun ulama, sejahrawan, budayawan, mantan gubernur Aceh dan mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh, Prof.A.Hasjmy (almarhum) dalam bukunya berjudul 'Semangat Merdeka' yang pernah menulis. Penguasa prang Daerah Istimewa (Dista) Aceh, ketika itu Kolonel Muhammad Yasin (almarhum), 7 April 1962 mengeluarkan keputusannya No.KPTS/PPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan pelaksanaan unsur-unsur SI, bagi pemeluk-pemeluk agama Islam di Aceh.

9 April 1962 Tgk.Muhammad Daud Beureueh mengeluarkan sebuah pernyataan di bawah nama 'Mukaddimah Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam' dengan kelengkapannya yang berjudul, 'Tuntutan Dasar Mukaddimah Dan lampiran Tuntutan Dasar Mukaddimah'. Dalam mukaddimah pernyataan itu, Tgk.Muhammad Daud Beureueh menyatakan; "Pemerintah RI dengan keputusannya No.1/Missi/1959 telah memutuskan, mengakui hak umum istimewa untuk Aceh, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan dan pendidikan."

Pernyataan misi Pemerintah RI, tertanggal 26 Mei 1959, terutama dalam ayat 2 dari bunyi pernyataan tersebut dengan tegas dan terang menggambarkan betapa jiwa, semangat dan keazaman rakyat Aceh dengan kata-kata: Ternyata, bahwa daerah tersebut dalam suasana geloranya persatuan ketika pecah revolusi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, telah dapat memberikan amal jasanya yang tak terhingga dalam perjuangan kemerdekaan.

Bahwa, kemudian dan penerimaan dan pembenaran dakwah yang dimajukan atas nama rakyat Aceh oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, bertarikh mardlatillah, 24 Jumadil Awal 1381/4 November 1961 kepada Pemerintah RI oleh Menteri Keamanan nasional/Kepala Staf Angkatan Darat bertarikh Jakarta, 21 November 1961.

Setelah mukaddimah menyebut surat-surat Kolonel Muhammad Yasin, keputusan penguasa perang Daerah Istimewa Aceh tentang pelaksanaan Syariat Islam, maka mukaddimah tersebut menyimpulkan. Maka sampailah kita sudah ke pantai emas idaman cita, karenanya perlulah kita memberi wujud dan kenyataan akan pemikiran-pemikiran pokok, merampungkan tugas mulia melaksanakan unsur-unsur Syariat Agama Islam yang suci dalam segala bentuk dan bidang hidup dan kehidupan rakyat Aceh yang diridai Allah, juga sebagaimana yang dicita-citakan oleh para syuhada dan pahlawan kemerdekaan kita, baik sesudah proklamasi 17 Agustus 1945 maupun sebelumnya.

Maka kemudian dengan memperbanyak doa seraya tunduk sujud menyerah diri ke hadhirat Allah SWT memohon dilimpahkan rahmat, karunia, taufiq dan hidayahNya, semoga rakyat Aceh yang tercinta mendapat inayah dan nushrah dari padaNya, maka mengundang rakyat dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dengan segala kehormatan, menyelesaikan dengan penuh keikhlasan akan ketetapan azam dan cita-cita semula, Insya Allah, Allahumma Amin!. (Mardlatillah Aceh Darussalam, 4 Zulkaedah 1381 H/9 April 1962 M, ttd.Teungku Muhammad Daud Beureueh), demikian isi mukaddimah tersebut.

Dengan keputusan tersebut, Kolonel Muhammad Yasin melakukan kontak intensif dengan Abu Beureueh (panggilan akrab terhadap pimpinan DI/TII Tgk.Muhammad Daud Beureueh-red), lewat surat menyurat. Melalui kurir-kurirnya mengirim delegasi besar dan melakukan perjumpaan langsung di Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, sehingga tiba pada kesimpulan, itulah jalan kembali buat Abu Beureueh.

Bertitik tolak dari pernyataan tersebut, kembalinya Abu Beureueh ke pangkuan RI sudah ada kata akhir, tinggal mengatur teknisnya saja bagaimana beliau kembali. Selanjutnya, Kolonel Muhammad Yasin melakukan pendekatan yang amat bijaksana, sesuai adat rakyat Aceh dengan mengirim lagi utusannya untuk menjemput Abu Beureueh. Utusan ini dipimpin Kolonel Nyak Adam kamil, dengan sejumlah orang patut-patut dan terkemuka. Dengan membawa 'ranub lam puan' (sirih dalam cerana).

4 Mei 1962 delegasi Nyak Adam Kamil berangkat dari Banda Aceh menuju Lampahan, tempat bermukimnya Abu Beureueh atau markas terakhir DI/TII. Hari ke enam (9 Mei 1962) delegasi tiba di tempat tujuan dan dengan upacara sederhana, Nyak Adam Kamil mempersembahkan 'ranub lam puan' kepada Abu Beureueh, seraya memohon kesediaan beliau turun bersama delegasi dalam rangka kembali ke pangkuan RI.

Abu Beureueh menerima positif ajakan itu dan pada 10 Mei 1962, beliau meninggalkan markas terakhir DI/TII, lalu menginap di Lhokseumawe dan Beureunuen, serta pada tanggal 13 Mei 1962 Abu Beureueh dan rombongan tiba di masjid Indrapuri yang dibangun Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam beberapa ratus tahun lalu serta bermalam di masjid tersebut, menunggu dijemput oleh unsur Pemerintahan Provinsi Dista Aceh keesokan harinya.

Hari berganti minggu, bulan berganti tahun, Hingga ajal datang menjemputnya, 10 Juni 1987 Abu Daud wafat, dalam usia 89 tahun. Setelah -25 tahun- setelah ia turun gunung, Janji tentang syariat Islam ternyata tak pernah dipenuhi. Kekecewaan itulah yang selalu diutarakannya berulang-ulang dalam setiap ceramahnya di masjid-masjid di Aceh maupun Medan.

Iming-iming itu baru terealisasi -16 tahun- setelah Daud Beureueh menutup-mata, atau -40 tahun- kemudian setelah beliau turun gunung, melalui Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang disahkan pada 2002 silam, Setelah kian merebaknya kemerosotan moral manusia di bumi Serambi Mekah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar