Karena Syariat Islam (SI), Wali negara Darul Islam Tentara Islam
Indonesia (DI/TII), Tgk. H. Muhammad Daud Beureueh (almarhum) tahun 1962 turun
gunung, kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Harta dan
tahta apalagi wanita pasti tidak ada nilainya di mata 'Singa Aceh' julukan spektakuler terhadap (Tgk. Muhammad Daud
Beureueh), namun dengan tawaran SI hati beliau lembut. Ia adalah potret ulama
sejati di zamannya, disegani kawan dan lawan serta merupakan panutan rakyat
Serambi Mekah. Tak heran jika beliau dari kalangan rakyat Aceh banyak yang
memanggil simbol orang tua, Ayah atau Abu Beureueh.
"Sekeras-kerasnya
batu, dapat juga dilunakkan air," kata orang bijak. Demikian pula sekeras-kerasnya
prinsip Ayah Beureueh, akhirnya beliau luluh dengan sikap lembut dan bijaksana
Kolonel Muhammad Yasin, ketika itu. Tawarannya tepat sasaran, yaitu kompensasi
pemberlakuan SI di Aceh. Mendengar tawaran itu, Abu Beureueh lemah lunglai, tak
berdaya. Sebagai seorang ulama, ia tidak mampu berkutik ketika pembicaraan
menyentuh komonitas manhaj Ilahi.
Begitulah
sifat-sifat orang shaleh taat terhadap hukum-hukum Allah, ia pun berucap saat
itu 'Laaa syarikala' (tidak ada serikat bagi Engkau (Allah). Semua kepentingan
dunia ini kecil, baharu dan fana. Semua yang kaya adalah miskin jika berhadapan
dengan kekayaan yang maha agung, semua yang kuat adalah lemah ketika berhadapan
dengan kekuatan yang maha kekal dan semua yang mulia adalah hina saat berhadapan
dengan kemuliaan Allah.
Tak ada
keraguan bagi Ayah Beureueh, lebel Syariat Islam yang diberikan kala itu sulit
direalisasinya di lapangan, jika tanpa payung hukum yang jelas. Rupanya harapan
dan cita-cita yang baik itu ibarat kata pepatah orang Padang, 'tak lapuek dek
hujan dan tak lekang dek panas'.
Kesemuanya
itu tercapai pada era Pemerintahan reformasi, seiring lahirnya UU Otonomi
khusus atau lebih dikenal dengan U.U No.18/2001. Arwah Abu Beureueh, hanya
sempat melihat implementasi Syariat Islam di Aceh dari celah-celah kuburnya.
Abu Beureueh
berdiri setia di belakang Proklamator kemerdekaan RI, Ir. Soekarno. Ia tak
menuntut merdeka, referendum dan sebagainya. Aksi perlawanan terhadap RI yang
dilakukannya pun tak pernah dibuang nama 'Indonesia' (Darul Islam Tentara Islam
Indonesia/DI-TII). Cuma yang getol beliau tuntut adalah pemberlakuan Syariat
Agama Islam dan keistimewaan Aceh di bidang agama, pendidikan dan adat.
Dengan kata
lain ia meminta tiga tempayan (guci, bahasa daerah Aceh-red) dan beliau pun
tenang ketika tiga tempayan itu diberikan, tapi sayang sejak beliau turun
gunung melalui jalan Syariat Islam s/d tahun 2000, tempayan itu belum sempat
diisi air karena perangkat-perangkat (qanun) untuk mengisi air tidak pernah
tersedia pada kurun itu. Inilah, barangkali suatu kecelakaan sejarah yang kini
sudah direhabilitir oleh Pemerintah RI dengan U.U Otonomi khusus.
Kronologis
selengkapnya terhadap proses turunnya Abu Beureueh ke pangkuan RI, bersama
angkatan dan senjatanya. HUT ke-62 kemerdekaan RI (17 Agustus 2007), di lajur
ini penulis nukilkan kembali apa yang disusun ulama, sejahrawan, budayawan,
mantan gubernur Aceh dan mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh,
Prof.A.Hasjmy (almarhum) dalam bukunya berjudul 'Semangat Merdeka' yang pernah
menulis. Penguasa prang Daerah Istimewa (Dista) Aceh, ketika itu Kolonel
Muhammad Yasin (almarhum), 7 April 1962 mengeluarkan keputusannya
No.KPTS/PPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan pelaksanaan unsur-unsur SI,
bagi pemeluk-pemeluk agama Islam di Aceh.
9 April 1962
Tgk.Muhammad Daud Beureueh mengeluarkan sebuah pernyataan di bawah nama
'Mukaddimah Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam' dengan kelengkapannya yang
berjudul, 'Tuntutan Dasar Mukaddimah Dan lampiran Tuntutan Dasar Mukaddimah'.
Dalam mukaddimah pernyataan itu, Tgk.Muhammad Daud Beureueh menyatakan;
"Pemerintah RI dengan keputusannya No.1/Missi/1959 telah memutuskan,
mengakui hak umum istimewa untuk Aceh, terutama dalam lapangan keagamaan,
peradatan dan pendidikan."
Pernyataan
misi Pemerintah RI, tertanggal 26 Mei 1959, terutama dalam ayat 2 dari bunyi
pernyataan tersebut dengan tegas dan terang menggambarkan betapa jiwa, semangat
dan keazaman rakyat Aceh dengan kata-kata: Ternyata, bahwa daerah tersebut
dalam suasana geloranya persatuan ketika pecah revolusi kemerdekaan, 17 Agustus
1945, telah dapat memberikan amal jasanya yang tak terhingga dalam perjuangan
kemerdekaan.
Bahwa,
kemudian dan penerimaan dan pembenaran dakwah yang dimajukan atas nama rakyat
Aceh oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, bertarikh mardlatillah, 24 Jumadil
Awal 1381/4 November 1961 kepada Pemerintah RI oleh Menteri Keamanan
nasional/Kepala Staf Angkatan Darat bertarikh Jakarta, 21 November 1961.
Setelah
mukaddimah menyebut surat-surat Kolonel Muhammad Yasin, keputusan penguasa
perang Daerah Istimewa Aceh tentang pelaksanaan Syariat Islam, maka mukaddimah
tersebut menyimpulkan. Maka sampailah kita sudah ke pantai emas idaman cita,
karenanya perlulah kita memberi wujud dan kenyataan akan pemikiran-pemikiran pokok,
merampungkan tugas mulia melaksanakan unsur-unsur Syariat Agama Islam yang suci
dalam segala bentuk dan bidang hidup dan kehidupan rakyat Aceh yang diridai
Allah, juga sebagaimana yang dicita-citakan oleh para syuhada dan pahlawan
kemerdekaan kita, baik sesudah proklamasi 17 Agustus 1945 maupun sebelumnya.
Maka
kemudian dengan memperbanyak doa seraya tunduk sujud menyerah diri ke hadhirat
Allah SWT memohon dilimpahkan rahmat, karunia, taufiq dan hidayahNya, semoga
rakyat Aceh yang tercinta mendapat inayah dan nushrah dari padaNya, maka
mengundang rakyat dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dengan segala kehormatan,
menyelesaikan dengan penuh keikhlasan akan ketetapan azam dan cita-cita semula,
Insya Allah, Allahumma Amin!. (Mardlatillah Aceh Darussalam, 4 Zulkaedah 1381
H/9 April 1962 M, ttd.Teungku Muhammad Daud Beureueh), demikian isi mukaddimah
tersebut.
Dengan
keputusan tersebut, Kolonel Muhammad Yasin melakukan kontak intensif dengan Abu
Beureueh (panggilan akrab terhadap pimpinan DI/TII Tgk.Muhammad Daud
Beureueh-red), lewat surat menyurat. Melalui kurir-kurirnya mengirim delegasi
besar dan melakukan perjumpaan langsung di Langkahan, Kabupaten Aceh Utara,
sehingga tiba pada kesimpulan, itulah jalan kembali buat Abu Beureueh.
Bertitik
tolak dari pernyataan tersebut, kembalinya Abu Beureueh ke pangkuan RI sudah
ada kata akhir, tinggal mengatur teknisnya saja bagaimana beliau kembali.
Selanjutnya, Kolonel Muhammad Yasin melakukan pendekatan yang amat bijaksana,
sesuai adat rakyat Aceh dengan mengirim lagi utusannya untuk menjemput Abu
Beureueh. Utusan ini dipimpin Kolonel Nyak Adam kamil, dengan sejumlah orang
patut-patut dan terkemuka. Dengan membawa 'ranub lam puan' (sirih dalam
cerana).
4 Mei 1962
delegasi Nyak Adam Kamil berangkat dari Banda Aceh menuju Lampahan, tempat
bermukimnya Abu Beureueh atau markas terakhir DI/TII. Hari ke enam (9 Mei 1962)
delegasi tiba di tempat tujuan dan dengan upacara sederhana, Nyak Adam Kamil
mempersembahkan 'ranub lam puan' kepada Abu Beureueh, seraya memohon kesediaan
beliau turun bersama delegasi dalam rangka kembali ke pangkuan RI.
Abu Beureueh
menerima positif ajakan itu dan pada 10 Mei 1962, beliau meninggalkan markas
terakhir DI/TII, lalu menginap di Lhokseumawe dan Beureunuen, serta pada
tanggal 13 Mei 1962 Abu Beureueh dan rombongan tiba di masjid
Indrapuri yang dibangun Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam beberapa
ratus tahun lalu serta bermalam di masjid tersebut, menunggu dijemput
oleh unsur Pemerintahan Provinsi Dista Aceh keesokan harinya.
Hari
berganti minggu, bulan berganti tahun, Hingga ajal datang
menjemputnya, 10 Juni 1987 Abu Daud wafat, dalam usia 89 tahun.
Setelah -25 tahun- setelah
ia turun gunung, Janji tentang syariat Islam ternyata tak pernah
dipenuhi. Kekecewaan itulah yang selalu diutarakannya berulang-ulang dalam
setiap ceramahnya di masjid-masjid di Aceh maupun Medan.
Iming-iming itu baru terealisasi -16 tahun- setelah Daud Beureueh menutup-mata, atau -40 tahun- kemudian setelah beliau turun gunung, melalui Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang disahkan pada 2002 silam, Setelah kian merebaknya kemerosotan moral manusia di bumi Serambi Mekah.
Iming-iming itu baru terealisasi -16 tahun- setelah Daud Beureueh menutup-mata, atau -40 tahun- kemudian setelah beliau turun gunung, melalui Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang disahkan pada 2002 silam, Setelah kian merebaknya kemerosotan moral manusia di bumi Serambi Mekah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar