5 Juni 2012

Kisah Usang Rompak Tanggung


Seratusan kapal nelayan mangkal di Lampulo, Banda Aceh, Jumat pagi pada penghujung Oktober lalu. Beberapa nelayan mempersiapkan keperluan, jaring, pancing sampai persediaan air bersih selama melaut.
Sudah tradisi para nelayan Aceh, Jumat adalah hari cuti. Aturan itu masuk dalam amaran Panglima Laot, sebagai organisasi tertinggi yang mengatur nelayan. Mereka patuh pada larangan yang telah telah ada semenjak Aceh dipimpin sultan-sultan. Tiada heran, segala aktivitas di laut berhenti dan semua merapat ke dermaga.
Tak terkecuali Syukur, 36 tahun, nelayan berpengalaman yang kerap melanglang buana di samudera. Saat ACEHKINI menyapa ke sana, dia sedang santai dengan dua kawannya, dalam sebuah kapal ukuran sedang, sepanjang 10 meter.

Bercelana jeans tanpa baju, dia dan rekannya akan mempersiapkan keperluan melaut, keesokan harinya. “Besok, Sabtu kami akan ke laut lagi,” ujarnya.

Pengakuannya, ikan hiu adalah target utama nelayan. Siripnya bernilai jual tinggi. Menangkap satu hiu akan mendapatkan delapan hingga sepuluh kilogram siripnya. Satu kilogramnya dihargai sekitar Rp500 ribu. “Bayangkan jika dalam sekali berlayar bisa mendapatkan 50 ekor hiu,” kata Syukur.

Karena itu juga, sejumlah nelayan Aceh lebih memilih memburu hiu ketimbang ikan-ikan lain. Persoalannya, di perairan Indonesia, jumlah hiu sangat sedikit. Sebagian nekat memburu sampai ke perairan negara tetangga, seperti Myanmar, India dan Thailand

Ada dua jenis hiu yang sering didapatkan nelayan di wilayah negara lain; Hiu Beton dan Hiu Nawan. Hiu Beton warnanya agak putih dan harga siripnya mahal, sementara Hiu Nawan warnanya agak hitam dan siripnya sedikit lebih murah. “Bila dibandingkan dengan perairan Indonesia, di perairan Myanmar lebih banyak hiunya, kadang sekali pulang bisa mendapatkan uang dari dua puluh lima juta sampai empat puluh juta. Makanya kami nekat ke sana,” kata Syukur.

Hal ini juga yang membuat Syukur pernah terjerat, ditangkap oleh polisi laut Negeri Bollywood. Kendati tak ditahan, dia takut dan trauma. Jera membuatnya berhati-hati bila melaut, menjaga agar tak melanggar batas negara. Pengakuannya, usai tsunami Desember 2004 lalu, dia hanya memburu hiu dan ikan-ikan lain di perairan Indonesia. “Dipenjara di negara sendiri aja nggak tahan, apalagi di negara orang.”

Syukur telah mulai memburu hiu sejak 1997. Trauma itu datang lima tahun lalu. Pada hari naas itu, dia bersama empat kawannya berangkat siang hari dari Lampulo. Esok siangnya, mereka sudah mengintip hiu di perairan India.

Belum sempat menebar pancing, dari kejauhan mereka melihat titik putih terapung. “Kami pikir busa yang dibawa air, ternyata makin lama keliatannya makin besar, rupanya kapal patroli India,” sebutnya mengumbar senyum.

Spontan, mereka balik arah. Kapal dipacu maksimal, namun kalah dengan laju kapal patroli. Mereka ditangkap dan diangkut ke kapal polisi India. “Tangan kami diikat ke belakang, tapi kami tidak dipukul.”

Mereka ditahan di dalam kapal. Menjelang dini hari, mereka dibangunkan oleh pasukan patroli India. Di dekat kapal itu, sebuah kapal lain nangkring. Gelap masih membuat pandangan mereka kabur untuk tahu identitas kapal yang baru tiba.

“Kami disuruh ke kapal yang berhenti itu, mulanya saya menolak dan minta dilepaskan saja, karena kita curiga pasti masuk penjara,” kisah Syukur.

Dia lalu coba bertanya dengan bahasa Inggrisnya yang patah-patah bercampur isyarat. “Indo, Andaman?” Lalu mereka menjawab, “no... no.... no, indo go.”

Syukur ketakutan, berpikir mereka akan dibawa ke India. Awak patroli terus mendesak agar mereka meninggalkan kapal, mereka lalu berpindah tempat. Syukur terkejut dan merasa beruntung, kapal yang menunggu itu berbendera Indonesia.

“Rupanya kapal Angkatan Laut dari Sabang, kami lalu dibawa ke Sabang. Di sana saya dan kawan-kawan ditahan satu bulan untuk proses penyelidikan.”

Syukur mengakui, sebelum tsunami menghancurkan kapalnya, dalam satu bulan sebanyak tiga kali mencari hiu. Lokasinya sering di perairan India, Myanmar dan Thailand.

Pernah juga suatu hari pada medio 2004 dia hampir tertangkap lagi. “Tanpa sadar kami sudah memasuki 100 mil ke perairan India.”

Tapi kemudian, dia berhasil mengelabui patroli dengan mengganti bendera kapal yang sudah disiapkan sejak semula. Dia lolos. “Sekarang hal itu sudah tidak mungkin lagi. Patroli laut negara lain sudah mengunakan kapal udara untuk mengawasi perairan mereka.”

“Kalau sudah ada kapal udara kita harus segera lari, karena tak lama kemudian pasti kapal patroli dari laut akan keliatan,” kenangnya. Memburu hiu memang menggiurkan, tapi trauma tertangkap lagi membuatnya berhenti mencari hiu di luar Indonesia.

***
Adli Abdullah, Sekretaris Panglima Laot Aceh, mengacungkan tangannya di depan forum Global Conference on Securing Rights of Small Scale Fisheries, yang diadakan di Bangkok, medio Oktober lalu. Dia hadir sebagai Anggota Badan Kehormatan International Collective Support of Fishworkers (ICSF) yang berpusat di Brussel, Belgia.

Menggebu dia bicara tentang nasib nelayan kecil di Aceh yang kadung dianggap rompak, saat tertangkap di perairan negara tetangga. “Bagaimana supaya diusahakan adanya perlindungan hukum bagi nelayan kecil di bagian negara manapun,” ujarnya di hadapan 323 peserta yang mewakili negara negara maju dan berkembang, organisasi nelayan dari seluruh dunia, serta Badan Badan Internasional lainnya yang menangani bidang perikanan.

Pertemuan tiga hari itu diprakarsai oleh UN FAO, South East Asia Fisheries Development (Seafdec) dan World Fish Center, Konferensi membahas pengakuan dan perlindungan terhadap hak nelayan kecil di seluruh dunia. “Perlindungan nelayan selama ini belum ada di Aceh,” kata Adli.

Menurutnya, soalan nelayan Aceh sering tidak muncul dalam pembicaraan tentang nelayan kecil di forum internasional. Pemerintah Indonesia sendiri lebih fokus kepada nelayan di wilayah timur,” ujarnya. Adli lebih banyak bicara Aceh di sana yang kerap bernasib sial di perairan India, Myanmar dan Thailand.

Hasilnya, konferensi merekomendasikan nelayan kecil dari belahan dunia manapun harus diberikan pengecualian, ada keringanan. Tak boleh disamakan dengan tahanan perang. “Setiap negara yang sering menghadapi permasalahan penangkapan nelayan kecil mengikuti ketentuan pasal 73 hukum laut Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS) tahun 1981. Mereka dilindungi dan tidak mendapat hukuman seperti narapidana lainnya,” ujar Adli kepada ACEHKINI.

Menurut Adli, mengutip data dari World Fishers Forum People (WFFP) dan International Collective Support of Fishworkers (ICSF), sekarang terdapat 10 titik yang sering terjadi penahanan nelayan kecil pelintas batas oleh negara di dunia.

Nelayan yang sering tersandung masalah adalah nelayan asal Aceh di lautan India, nelayan Indonesia timur di Australia dan Papua Nugini, nelayan di Eriteria dan Yaman, nelayan di Senegal dan Mauritania, nelayan di Kenya dan Gabon serta Somalia, nelayan di India, Pakistan, Srilangka dan Bangladesh. Kemudian nelayan di Thailand, Malaysia dan Vietnam dan titik terakhir adalah nelayan di Cambodia, Chili dan Brazil.

Pada kesempatan sama, sebut Adli, Presiden World Fishers Forum People, Saseegh Jaffer menyerukan agar digagas perjanjian bilateral dan multilateral untuk melindungi nelayan nelayan kecil pelintas batas di dunia. “Nelayan kecil harus mendapat perlindungan dan lebih diutamakan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, karena mereka melaut bukan untuk memperkaya diri tetapi mencari sesuap nasi untuk memberi makan keluarga.”

Keputusan konferensi lainnya adalah, UN FAO mengagendakan lebih lanjut pertemuan para menteri perikanan dan maritim pada Maret 2009 di Roma, Italia. Itu khusus membahas tentang nelayan kecil yang melintasi batas negara.

Soal perjanjian bilateral tentang nelayan antar negara, Adli Abdullah menyebut, pihaknya terus memperjuangkan nasib nelayan Aceh. Sekterariat Panglima Laot juga telah meminta Pemerintah Aceh menginisiasi perjanjian bilateral antara Indonesia dengan India.

Perjanjian ini untuk melindungi nelayan kecil yang kerap terdampar di Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berbatas langsung dengan Aceh. “Jika perjanjian ini terwujud, maka nelayan Aceh yang terdampar di Kepulauan Andaman dan Nicobar tidak dihukum lagi,” sebutnya.

Ide itu berawal dari Andi Ghalib, Duta Besar Indonesia untuk India yang pernah meminta kepada Adli, agar mengusahakan pemerintah daerah dapat mendorong pusat mengadakan perjanjian dengan India. “Pemerintah Aceh harus proaktif mendorong pemerintah pusat untuk membangun hubungan bilateral ini,” kata Andi Ghalib suatu ketika kepada Adli.

Menurutnya, hal itu sangat dimungkinkan, karena tidak ada sejarah konflik selama ini antara Aceh atau Indonesia dengan India. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kelautan di India juga sudah memberikan sinyal membantu mendorong pemerintah mereka, untuk hubungan tersebut. “Kita punya banyak jaringan lembaga nelayan di India, kawan-kawan di sana sudah siap membantu. Tidak ada problem,” kata Adli.

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menyebut, memberi perhatian kepada nelayan dan usulan Panglima Laot itu telah diperjuangkan sejak akhir tahun lalu. Dalam kesempatan pertemuan dengan Kementrian Luar Negeri, Menteri Pertahanan dan gubernur se-Indonesia, kata Nazar, selalu disampaikan persoalan nelayan Aceh. “Kita minta bantuan pusat agar melobi pemerintah negara tetangga terkait masalah nelayan. Karena hubungan luar negeri adalah otoritas pusat,” ujarnya.

Harapannya, nelayan Aceh tertangkap di luar wilayah Indonesia tidak lagi dipenjara. Tapi bisa dipulangkan secepatnya ke Aceh. “Karena nelayan tidak sengaja terjebak batas negara, kadang dibawa angin dan arus. Kita terus upayakan lobi-lobi untuk hubungan bilateral terkait nelayan ini,” ujar Nazar.


***
Di India, Andi Ghalib juga terus mencari jalan. Dia banyak membantu nelayan Aceh yang terperangkap di sana. Salah satunya, ikut menfasilitasi ketika sepuluh nelayan Aceh dibebaskan India pada akhir Agustus 2008. “Kami juga diberi uang saku untuk beli baju, celana dan sepatu oleh Pak Andi. Jika tidak ada, maka dengan celana pendeklah kami pulang," sebut Fadhila Murpi, nelayan Aceh yang bebas kala itu.

“Ketika akan terbang ke Malaysia, Andi M Ghalib sengaja terbang dari New Delhi ke Chennal untuk menjamu kami di sebuah restoran.”

Mulyadi, 24 tahun, warga Kampong Jawa, salah seorang nelayan Aceh yang bebas bersama Fadila mengisahkan awal penangkapannya, 20 Agustus 2006 silam, saat memutuskan melaut mencari hiu.

Esok harinya, awak Boat Hakiki itu terus berputar-putar mengintip ikan, menebar jaring. Pulau Sabang, paling barat Indonesia sekilas tampak, lalu semakin jauh saja. Mulyadi, pawang (nakhoda) boat tak menyangka, itu adalah awal buruk baginya dan awak kapal. Mereka tak tau lagi arah sebenarnya, dengan hanya bermodal kompas.

Sekitar pukul 17.30 Wib, tiba-tiba sebuah kapal patroli milik polisi Port Blair, India, mendekat. Mulyadi dan anak buahnya; Suryadi, Adiyus, Supriadi dan Mul memacu boat untuk menjauh. Mereka kalah cepat dan tertangkap. Lalu tertuduhlah mereka sebagai rompak ikan di wilayah India, nelayan itu telah berada di sekitar Kepulauan Andaman.

Pasukan bersenjata mengiring mereka ke pulau, di dalam boat ada 18 ekor hiu. Mulyadi dan rekannya tak berkutik. “Saat ditangkap, kami tidak dipukuli, kami diperiksa dan mereka meminta pasport dan surat izin. Tapi kami tidak punya perlengkapan itu, sehingga kami ditangkap,” Mulyadi bercerita.

Tiga hari diperiksa di kantor Imigrasi Andaman, mereka dinyatakan bersalah. Ikan dan boat jadi barang bukti dan disita India. Enam bulan proses pengadilan, mereka kemudian divonis. Mulyadi sebagai komandan boat mendapat jatah dua tahun. “Empat kawan saya hanya dihukum satu tahun,” ujar Mulyadi yang bebas tepat 21 Agustus 2008.

Pengakuan Mulyadi, sampai saat ini belum memulai aktivitas sebagai nelayan kembali. “Saya masih trauma kalau mengingat bagaimana kami kehilangan arah di lautan. Ini harus menjadi pengalaman bagi kawan-kawan nelayan di Aceh dan Indonesia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar