Romusha
merupakan panggilan untuk orang-orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa
penjajahan Jepang di Indonesia. Romusha ini berlangsung selama 3 tahun, dari tahan
1942 – 1945. Jumlah korban yang menjadi Romusha sekitar 4 – 10 juta orang,
diantaranya petani, para perempuan, dan tokoh-tokoh pergerakan. Tujuan Jepang
yaitu ingin mengambil remh-rempah milik Indonesia. Awal mula terbentuknya
romusha, ketika Jepang pertama kali datang ke Indonesia disambut dengan
gembira, karena Jepang telah membantu Indonesia dalam mengusir Belanda. Tetapi,
setelah Jepang tiba di Hindia Belanda, Jepang berubah menjadi lebih licik dan
bengis. Mereka tidak tanggung-tanggung mengambil semua sumber-sumber kekayaan
alam yang ada di Indonesia.
Hal ini
dilakukan oleh Jepang untuk membiayai perang Jepang dengan Sekutu di Asia Timur
dan Pasifik. Karena kependudukan Jepang itu sangat luas, maka Jepang
membutuhkan tenaga kerja lebih banyak lagi untuk membangun kubu pertahanan,
lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Maka
Jepang mengambil para tenaga kerja dari penduduk Jawa, dan mereka disuruh kerja
paksa oleh Jepang.
Dalam
menjalankan Romusha ini, Jepang merekruitmen calon-calon Romusha, dari pola
tingkatannya, serta alokasi tenaga kerja paksa ini. Jepang pun berhasil
memanipulasi keberadaan Romusha ini sampai ke dunia Internasional, dengan cara
menyamarkan keberadaan Romusha dengan mengganti istilah romusha menjadi pekerja
ekonomi yang artinya pahlawan pekerja.
Pada
pertengahan tahun 1943 Jepang mengikuti Perang Pasifik, tetapi pada perang
tersebut Jepang mengalami kekalahan. Sehingga, para Romusha pun semakin
dieksploitasi oleh Jepang. Para Romusha ini dipaksa untuk mendukung perang
secara langsung. Jepang sangat membutuhkan tenaga kerja paksa disetiap
angkatannya. Oleh karena itu, permintaan terhadap Romusha semakin banyak dan
tidak terkendali.
Pada awalnya
tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan pengerahan tenaga tidak sulit
dilakukan, karena mereka masih terpengaruh oleh propaganda “untuk kemakmuran
bersama Asia Timur Raya”. Pada bulan September 1944 ada 500 orang Romusha sukarela,
terdiri dari pegawai tinggi dan menengah serta golongan terpelajar dan anggota
yang sudah berumur 60 tahun yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Mereka berangkat
dari kantor besar Jawa Hokokai ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta dengan berjalan
kaki dan diiringi orkes suling Maluku. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1944, Otto
Iskandar Dinata pun mengikuti Soekarno dengan jumlah pengikut 625 orang.
Kebutuhan di
Asia Tenggara lama-kelamaan terus meningkat, sehingga tenaga yang awalnya
bersifat sukarela berubah menjadi paksaan. Kemudian pada tahun itu juga,
pemerintah Tentara Ke- 16 membentuk suatu badan khusus yang disebut Romukyoku
yang artinya Kantor Urusan Pekerja. Badan khusus ini dibuat sebagai tempat
pendaftaran para pekerja. Romukyoku membuat peraturan untuk orang atau badan
yang membutuhkan tenaga Romusha lebih dari 30 orang wajib mengajukan permohonan
ke kepala daerah setempat. Orang atau badan tersebut harus memiliki perusahaan
atau pabrik yang bermanfaat untuk kepentingan perang. Sebelumnya mereka harus
mengisi formulir yang menyangkut nama tempat romusha yang dipekerjakan, jumlah
yang diperlukan, dan waktu yang dibutuhkan. Pemerintah daerah pun harus
memberikan laporan bulanan juga kepada pihak Romukyoku. Para romusha merasa
berat dipekerjakan seperti itu, apalagi jika pihak Jepang yang memerlukan
mereka. Para romusha atau calon yang akan dipekerjakan ditakut-takuti dengan
ancaman, jika mereka menolak untuk dipekerjakan mereka akan dikirim ke
tempat-tempat di luar daerah atau bukan daerah para romusha tinggal.
Romusha
dipekerjaan pada proyek-proyek dengan tugas-tugas yang berbeda, antara lain
seperti pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer, dan perbentengan di
sekitar tempat mereka tinggal. Pembuatan tugas itu berlangsung selama tiga
bulan, dan waktu tiga bulan itu merupakan masa kerja para romusha. Selain itu,
bukan hanya dipekerjakan di Indonesia saja, mereka dikirim ke luar Indonesia
seperti Birma, Maung Thai, Vietnam, dan Malaya. Menurut laporan dari pihak
Inggris dan Belanda, para romusha hanya seperempat dari 50.000 orang yang
berhasil kembali ke Indonesia, sisanya meninggal dunia di tempat mereka
bekerja.
Para romusha
diperlakukan tidak sesuai dengan usul anggota Chuo Sangi In. Mereka
dipekerjakan sangat buruk. Dari pagi buta sampai petang mereka dipaksa bekerja
kasar tanpa makan dan perawatan cukup. Kondisi fisik mereka lemah bahkan hamper
tidak punya sisa kekuatan. Bahkan jika mereka beristirahat walaupun hanya
sebentar saja, mereka akan dimaki-maki dan juga dipukul oleh pengawas dari
Jepang. Mereka diberi kesempatan beristirahat hanya pada malam hari saja,
tetapi mereka tidak sempat memasak air minum. Banyak para romusha yang
terserang malaria, hal ini dikarenakan mereka buang air disembarang tempat dan
membuat terjangkitnya wabah disenteri. Banyak romusha yang meninggal, karena
antara bekerja dengan asumsi makanan tidak seimbang. Akan tetapi Jepang tetap
saja ingin usahanya berjalan lancar. Maka Jepang melancarkan kembali kampanye
propagandanya, para romusha mendapat julukan sebagai “prajurit ekonomi” atau
“pahlawan pekerja” yang artinya orang-orang yang sedang menjalankan ibadah suci
atau bekerja untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya,
banyak pemuda-pemuda yang menghilang dari desanya, mereka pergi ke kota untuk
menghindari pengerahan tenaga romusha. Maka, hampir semua laki-laki yang tidak
cacat diambil untuk dijadikan romusha. Jadi yang tinggal hanya para perempuan,
anak-anak dan lelaki yang kurang sehat saja. Di desa pun mengalami pengaruh
dari institusi lain, yaitu terbentuknya tonarigumi (rukun tetangga) dengan
maksud untuk meningkatkan pengerahan maupun pengawasan terhadap penduduk.
Tujuannya agar penduduk berusaha meningkatkan produksi hasil buminya dan
menyerahkannya untuk negeri.
No
|
Romusha
|
Rodi
|
1.
|
Diberlakukan
oleh Jepang.
|
Diberlakukan
oleh Belanda.
|
2.
|
System
kerja paksa pembuatan pembangunan secara umum.
|
System
tanam paksa, pemungutan pajak dari rakyat Indonesia dalam bentuk hasil-hasil
pertanian.
|
3.
|
Dimulai
pada tahun 1944.
|
Dimulai
tahun1034 – 1874.
|
4.
|
Kurang
lebih 70.000 korban jiwa dan 300.000 dalam keadaan menyedihkan.
|
Kurang
lebih 216.000 korban jiwa.
|
5.
|
Sebagian
besar para wanita dijadikan Jugun Ianfu atau wanita penghibur tentara Jepang.
|
Sebagian
besar para wanita diwajibkan menanami lahannya.
|
6.
|
Adanya
jalan-jalan, lapangan terbang, dan jembatan yang dapat digunakan rakyat
Indonesia di kemudian hari.
|
Dikenalnya
sejenis tanaman baru seperti kopi dan indigo, adanya seluruh iragosi, para
petani dan dapat menggunakan fasilitas yang dibangun kemudian hari.
|
7.
|
Langsung
diberlakukan oleh Jepang dan kesengsaraan rakyat benar-benar diketahui oleh
Jepang tanpa memperdulikan nasib rakyat Indonesia.
|
Awalnya
kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa tidak diketahui Belanda, tetapi
lama-kelamaan Belanda tahu tindakan kewenang-wenangan pegawai pemerintah
Belanda.
|
8.
|
Romusha
diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan secara umum rakyat Jepang.
|
Bertujuan
memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat untuk menutupi
kas Negara dan membayar hutang negara.
|
Jugun ianfu
merupakan julukan untuk perempuan penghibur pada masa itu. Pemerintah
Pendudukan Jepang mengerahkan perempuan untuk kepentingan pemuas nafsu. Jugun
ianfu direkrut dari desa secara paksa dengan cara-cara kekesaran, tipu
muslihat, dan ancaman, untuk memenuhi kebutuhan biologis Jepang baik di
kalangan militer maupun sipil. Jugun ianfu diartikan sebagai “budak seks”
dilakukan secara gelap atau tertutup. Melalui bantuan pejabat daerah dan
tonarigumi, Pemerintah Militer Jepang mengumumkan tentang jugun ianfu. Mereka
memaksa para perempuan untuk bersedia ikut dalam program pengerahan tenaga
kerja. Mereka merayu para perempuan dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan
yang layak. Selain itu, Jepang mendekati keluarga perempuan yang diincarnya.
Serta tidak segan Jepang mengancam para perempuan yang tidak mau ikut untuk
dijadikan tenaga kerja. Tetapi Jepang bukan memberikan pekerjaan yang layak,
para perempuan dijadikan jugun ianfu atau perempuan penghibur.
Kaum
perempuan yang menjadi jugun ianfu kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah,
dan bahkan tidak berpendidikan dan buta huruf. Selain itu, mereka berada dalam
kesuliatan ekonomi. Itulah yang membuat para perempuan percaya begitu saja
ketika ada tawaran pekerjaan yang cukup menjanjian untuk mereka yang tidak
membutuhkan keahlian khusus. Jugun ianfu direkrutmen melalui jalur hiburan.
Oleh karena itu, para seniman terlibat dalam hal itu. Selain itu, para dokter
dan para pejabat pun ikut berpartisipasi dalam usaha pencarian dan pengumpulan
perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu.
Para jugun
ianfu kebanyakan berasal dari keluarga baik-baik. Ada yang masih gadis, di
bawah umur, dan ada juga yang sudah bersuami dan memiliki anak. Tetapi ancaman
pihak militer Jepang membuat mereka takut untuk menolak atau melarikan diri. Di
setiap wilayah komando militer dibangunnya tempat-tempat untuk para jugun
ianfu. Tujuannya untuk mencegah terjadinya pemerkosaan oleh tentara Jepang,
menjaga moral tentara Jepang, serta mencegah penyakit kelamin yang akan
melemahkan kekuatan militernya. Para jugun ianfu dimasukkan ke rumah-rumah bordil
Jepang yang disebut Ian-jo yang dijaga ketat oleh tentara Jepang. Setiap
perempuan di Ian-jo mendapat kamar dengan nomor kamar, dan nama mereka diganti
dengan nama Jepang yang ditulis di pintu kamar.
Sebelum
menjalani tugas sebagai jugun ianfu, para perempuan di Ian-jo menjalani
pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabatnya. Para jugun ianfu
ditelanjangi dan diperiksa dengan paksa apakah mereka sudah terserang penyakit
atau masih sehat. Di Ian-jo mereka para jugun ianfu mengalami pemerkosaan.
Siksaan berupa tamparan, pukulan, dan tendangan dilakukan oleh tentara Jepang
saat sadar maupun mabuk. Para jugun ianfu hanya pasrah menjalani penderitaan
hidup karena mereka tidak punya pilihan lain. Mereka tidak mungkin bisa
melarikan diri karena jarak perjalanan pulang sangat jauh, mereka buta tentang
pengetahuang peta, dan mereka tidak punya uang untuk berpergian. Pengerahan
perempuan berkebangsaan Indonesia maupun Belanda yang dipaksa menjadi jugun
ianfu telah mengalami penderitaan lahir batin. Hal ini merupakan salah satu
bukti kekejaman Jepang yang memaksa kaum perempuan memenuhi kepentingannya
yaitu kepentingan nafsu seksnya.
Bung Karno
telah memberikan arti positif maupun negatif terhadap pemberlakuan standar
romusha ketika Belanda dan Jepang waktu itu ingin berkuasa dan mengambil
seluruh asset-asset penting bangsa ini. Tanam paksa sebuah istilah yang selalu
tergiang ditelinga rakyat Indonesia, dimana seluruh tenaga dikerahkan untuk
pengabdian dan bentuk menyembah kepada colonial tersebut. Mereka pun yang bekerja
seharian penuh bahkan sehari semalam tanpa diberikan makan sedikitpun. Alangkah
kekejaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan telah menjadi urat nadi dari
pemimpin bangsa ini, bahkan berusaha mewariskan peran karakter inlandernya
dalam mendidik rakyat. Terbukti hal negatif yang dilakukan oleh Bung Karno
ketika Belanda meminta rakyat Indonesia bekerja tanpa di gaji yang kemudian
Bung Karno memberikan ijin dan menerima usulan belanda. Akibatnya keputusan
Bung Karno itu, rakyat bekerja tanpa ada imbalan sedikitpun, kelaparan,
kemiskinan bahkan meninggal dunia akibat tidak masuk bahan makanan dan rakyat
hanya dituntut bekerja. Namun dengan rasa ketersiksaan itu, rakyat yang
melakukan tanam paksa ini (romusha) telah berhasil mendirikan banyak bangunan
bersejarah, rel kereta api yang sampai sekarang dinikmati, akses jalan
distribusi lintas pertukaran ekonomi di pulau Jawa maupun Sumatera. Atas
partisipasi dalam system tanam paksa ini rakyat telah memberikan arti bagi
negara dan bisa dikatakan bahwa hasil mereka sebagai denyut urat nadi
perkembangan perekonomian negara.
Dengan
demikian, atas jasa mereka tentu kita harus memberikan apresiasi yang sangat
tinggi bahwa “Romusha Itu Pahlawaan Negara” yang tidak bisa kita abaikan begitu
saja. Negara harus mencari data dan fakta dimasa itu agar memudahkan
identifikasi persoalan. Karena romusha itu bukanlah hal yang negatif dalam
pandangan penulis, akan tetapi sangat positif bagi negara ketika rakyat yang
terlibat dalam agenda romusha (tanam paksa) itu bekerja dengan rasa
nasionalisme tinggi demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika negara melupakan
sejarah, maka disaat yang sama negara juga melupakan jati dirinya. Ketika
rakyat tidak berusaha mengenang jasa para pahlawan romusha itu, maka selama itu
pula rakyat melanggar kedaulatannya sendiri. Mereka rela bekerja tanpa dibayar
dengan apapun demi kepentingan kemerdekaan bangsa Indonesia, walaupun Bung
Karno waktu itu berusaha melakukan negosiasi politik untuk memudahkan jalannya
deklarasi.
Selain itu,
Jepang juga meninggalkan goa-goa yang dijadikannya untuk tempat pertahanan,
persembunyiaan, perlindungan, dan juga tempat penyimpanan senjata semasa Perang
Dunia ke II. Berikut beberapa goa peninggalan Jepang di Indonesia:
1. Goa
Jepang di Biak – Papua.
2. Goa
Jepang di Manado – Sulawesi Utara.
3. Goa
Jepang di Kawangkoan – Sulawesi Utara.
4. Goa
Jepang di Kupang – Nusa Tenggara Timur.
5. Goa
Jepang di Bali.
6. Goa
Jepang Bandealit – Jawa Timur.
7. Goa
Jepang di Kaliurang, Sleman – Daerah Istimewa Yogyakarta.
8. Goa
Jepang di Bandung – Jawa Barat.
9. Goa
Jepang di Garut – Jawa Barat.
10. Goa
Jepang di Pangandaran – Jawa Barat.
11. Goa
Jepang di Bukittinggi – Sumatera Barat.
12. Goa
Jepang di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar