Salah satu peradaban tertua di dunia adalah Mesir.
Penemuan tulis-menulis di sekitar milenium ketiga sebelum masehi, pemanfaatan
Sungai Nil, dan cara mereka mempertahankan diri dari serangan musuh, semuanya
berperan penting dalam memajukan peradaban ini. Mesir Kuno terletak di lembah
Sungai Nil, yang termasuk keajaiban alam di dunia. Berkat kesuburan yang
bersumberkan dari sungai ini, yang membentang dari satu ujung benua Afrika ke
ujung lainnya, penduduk Mesir dapat bercocok tanam tanpa harus bergantung pada
musim hujan. Tentang hal ini, sejarawan, Ernst Gombrich, menyatakan sebagai
berikut:
Afrika sangatlah panas. Berbulan-bulan tanpa hujan.
Sehingga banyak bagian benua ini yang gersang. Wilayah itu tertutupi gurun pasir.
Inilah yang terjadi di wilayah kiri dan kanan Mesir. Hujan turun sangat jarang
di Mesir. Tapi hujan tidak begitu diperlukan, karena Sungai Nil mengalir di
tengah-tengah negeri ini. (Ernst Gombrich, Eine Kurze Weltgeschichte Für Junge
Leser, Dumont Buchverlag, Köln, 1985)
Peran sangat strategis ini menjadikan siapa pun yang
menguasai Sungai Nil berkuasa atas sumber terpenting perniagaan dan pertanian
Mesir, dengan kata lain, sumber utama kehidupannya. Para penguasa Mesir Kuno
membangun kerajaan kuat dengan cara itu. Mereka di kemudian hari dikenal dengan
sebutan "Fir'aun".
Keadaan alam Mesir sangat berpengaruh pada kehidupan
orang-orang Mesir kuno. Letak geografis negeri ini menjadikannya terlindungi
sangat baik dari ancaman luar. Mesir dikelilingi gurun pasir, pegunungan, dan
lautan di semua sisinya. Hanya ada dua jalan masuk bagi penyerang negeri ini,
sesuatu yang mudah bagi pasukan Mesir untuk menghadapinya.
Penduduk Mesir hidup tertutup dari dunia luar akibat
keadaan alam ini. Selama berabad-abad, keterkungkungan tersebut memunculkan
fanatisme buta. Ketertutupan dari perkembangan terkini dan pembaharuan
menyebabkan mereka bersikukuh pada keyakinan mereka. Bangsa Mesir Kuno
mempercayai banyak dewa atau tuhan. Selain itu, kehidupan setelah mati menjadi
bagian terpenting keyakinan bangsa Mesir. Dipercaya bahwa ruh manusia akan
tetap hidup setelah jasadnya mati dan ruh tersebut akan dimintai
pertanggungjawaban. Timbangan diletakkan dan para saksi dikumpulkan, lalu
segala amal baik dan buruk orang mati ini dimusyawarahkan. Lalu tuhan hakim
memberikan putusannya. Mereka yang berat timbangan kebaikannya akan hidup
bahagia nan kekal, sedang yang berat timbangan keburukannya akan menderita
siksa abadi.
Mustahil bila keyakinan bangsa Mesir pada kehidupan
setelah mati ini tak terkait dengan keyakinan pada satu Tuhan (Monoteisme) dan
agama yang benar. Ini menunjukkan, peradaban Mesir Kuno dulunya pernah menjadi
bagian dari agama yang benar beserta wahyunya. Namun, di kemudian hari agama
ini diselewengkan, dan keyakinan pada satu Tuhan berubah menjadi pada banyak
Tuhan. Kita tahu bahwa dari waktu ke waktu para rasul diutus untuk mengingatkan
manusia tentang ke-Esaan Allah dan penghambaan diri pada-Nya. Di antara mereka
ialah Nabi Yusuf, yang hidupnya dikisahkan dalam Al Qur'an secara rinci. Nabi
Yusuf pindah ke Mesir dengan kaum Bani Israil dan menetap di sana. Setelah
beliau wafat, mulailah perbudakan atas orang-orang Bani Israil. Masa itu
berakhir dengan diutusnya Nabi Musa sebagai rasul dan pemindahan warga Bani Israil
olehnya keluar dari Mesir.
Para Fira'un Mesir berwatak kejam, penindas, suka
berperang, dan bengis. Kesamaan mereka adalah pengakuan mereka sebagai sosok
maha agung dalam sistem banyak tuhan (politeisme) bangsa Mesir yang menyimpang.
Mereka tega menumpahkan darah tanpa sedikit pun merasa bersalah.
Namun, dalam sejarah Mesir, ada satu Fir'aun yang
berbeda dari yang lain. Fir'aun ini menyatakan keberadaan satu-satunya
Pencipta. Semata karena alasan tersebut, ia ditentang oleh para Pendeta Amon
dan akhirnya dibunuh. Fir'aun itu adalah Amenhotep IV, yang bertahta di awal
abad ke-14 SM. Ketika Amenhotep IV berkuasa pada tahun 1375 SM, ia memerangi
kekolotan yang berkembang selama berabad-abad, dan karenanya menghadapi
tentangan sangat berat. Tekanan ini disebabkan kebijakannya mengubah agama
politeistis bangsa Mesir, menggantinya dengan keyakinan pada satu Tuhan, dan
melakukan perubahan besar-besaran di segala bidang.
Namun, para pemimpin di ibukota Thebes memerangi
Amenhotep. Mereka yang mendukungnya meninggalkan ibukota dan pindah ke daerah
lain. Di sini, Amenhotep mengubah namanya menjadi Ahk-en-aton, yang berarti
"Hamba Aton". Aton, menurut Amenhotep, adalah " pencipta langit
dan bumi ", ini menunjukkan keimanannya pada satu Tuhan saja.
Fir'aun-fir'aun kejam lainnya naik tahta setelah
Amenhotep. Mereka kembali menyebarkan agama lama mereka yang politeistis, dan
berupaya sekuat tenaga mengembalikan masa lalu. Kurang lebih seabad kemudian,
Ramses II naik tahta dan berkuasa paling lama dalam sejarah Mesir. Menurut
banyak ahli sejarah, Ramses II-lah yang menindas Bani Israil dan memerangi Nabi
Musa.
Bangsa Mesir Kuno menolak menanggalkan keyakinan
berhala karena taklid buta mereka. Para Rasul telah datang untuk mengingatkan
mereka agar mengimani satu Tuhan, tapi para pengikut Fir'aun selalu kembali
pada keyakinan lama mereka. Akhirnya, Allah mengirim Nabi Musa sebagai
utusan-Nya di saat kaum Bani Israil tengah diperbudak (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar