“Yang paling mengagumkan dari
semua contoh pemerintahan di Nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh
Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam
sejarah.” (P J Veth). Menurut
sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang
dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah
di Aceh dalam Prominent Woment in
The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian
dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P. J Veth, seorang
profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
Pada tahun
1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di Nusantara dalam “Vrouwen
Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam
majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. Veth mengakui bahwa tidaklah mudah
untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun
demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan
dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum
wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik
perhatiannya adalah yang ada di Aceh.
Di Kerajaan Aceh
yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam
pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah)
secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.
Sultanah
pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau
Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M,
merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam
Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press,
1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra
Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun
1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.
Ketika Sultan Iskandar
Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi
sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15
Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari
sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri
Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.
Kembali ke
Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin,
timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara
lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang
mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja.
Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan
menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Untuk
memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu,
seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari
Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan
pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar
Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat
Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Sultanah
Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga
tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu
pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih,
pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan
perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan
Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan
kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah
sebagai sultanah.
Sultanah Yang
Taat
Syeh
Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan
Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. “Bahwa
adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah
Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang
kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan
menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat
kejahatan”.
Pada
gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat
menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu
yang lama. “ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka
dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah
mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung
yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad
Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah
berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun
delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah
ke rahmat Allah”.
Hal yang
sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam
buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan
pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan
perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi
terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama
Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk
setempat.
Karena
itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam
pemerintahannya yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili.
Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh
ketika Sultan Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah
Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang memberikan dukungan besar kepada
muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai sultanah.
Syaikh Abdul
Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin sebagai
ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan
menempatkan diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula
sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu
Safiatuddin sendiri. Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut
juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri
kandung Sultan Iskandar Muda.
Menurut T
Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah
Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orangtuanya di
bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain adalah
dengan mendorong para ulama untuk terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan
dan mengarang berbagai kitab.
Untuk
memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut
hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang
sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mirat al-Tullab atau,
lengkapnya, Mirat al Tullab fi Tashil Marifat ahkam al-syariyyah li al malik al
wahhab yang kurang lebih berarti Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih
pada memudahkan mengenal segala Hukum Syara Allah. Kitab ini diperkirakan
ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara pertama yang ditulis
dalam bahasa Jawi Melayu.
Syaikh
Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas
dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. “Maka bahwasanya adalah
hadarat yang maha mulia (Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah)
itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa
kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa
Pasai yang muktaj (dibutuhkan) kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadi pada
pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara Allah yang mutamat pada segala
ulama yang dibanggakan kepada Imam Syafei Radiallahuanhu”.
Demikian
pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti
istana, ia juga seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan
Aceh, ia sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar
ditulis pada masa Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan
soal Wujudyah di samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.
Menurut
Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri,
prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan
dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan juga dalam
soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil menggalang
persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi tantangan-tantangan yang
ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.
Syeikh
Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga menggambarkan, pada masa
pemerintahan sultanah ini ditemukan galian pada sejumlah gunung dengan hasil
melimpah sehingga membuat Kerajaan Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu
banyak emas yang dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah
mata uang emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di
wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku disesuaikan
dengan situasi zaman oleh sultanah itu.
Menurut Van
Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang
sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah
emas yang lazim digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya
untuk ditempa menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8
mutu meuih (emas) atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.
Sultanah
Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua dirham
buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan
yang dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada
waktu itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan
buatan sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada
bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama Paduka
Seri Sultanah Ta al“Alam, sedangkan pada bagian belakangnya terdapat tulisan
Safiat al-Din Syah.
F.W
Stammeshaus dalam tulisannya Atjehshe Munten menulis, jumlah mata
uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat banyak dibandingkan
dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh penguasa-penguasa sebelumnya. Hal
itu, tampaknya, berkaitan erat dengan ditemukannya banyak emas di wilayah
Kerajaan Aceh pada masa itu seperti yang telah dikemukakan.
Adapun
gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di
ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai
berikut: “di Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan makanan pun
sangat murah, dan segala manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti
segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan
tawakal pada segala barang pekarjaanya”.
Tentang
kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam "Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken
Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh”.
Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa
pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk
suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah bangunan
yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan lapisan-lapisan emas murni.
Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan mesjid Baiturrahman dan pada
berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik kerajaan yang menghiasi istana.
Hal yang
sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil
tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu
kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada
setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh
dan daerah taklukannya.
Administrasi
Kerajaan
Sultanah
Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan
administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam,
di Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam
melaksanakan tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas
perang, dikepalai oleh seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur
keuangan kerajaan seperti pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.
Kedua
lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain
itu, terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu
disebut "Balai Musyawarah"
(lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari sebagai
institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai Gadengbalai para
ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni
dewan rakyatyang terdiri atas 73 orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.
Setelah
memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun,
tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086
H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal
tersebut. Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang
bergelar Sri Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar