Aceh, berbeda
dengan wilayah lainnya di Indonesia, karenanya tidak perlu memaksakan diri
untuk menyamakannya. Rakyat Aceh sudah sangat memahaminya bagaimana membangun
dirinya dari berbagai ekses yang terjadi sebagai dampak perlawanan terhadap
rezim korup sebelumnya.
Rakyat Aceh sangat memahami bagaiamana karakteristik
rezim Orde lama dan juga rezim Orde Baru yang mengkhianati kesetiaan rakyat
Aceh, kesetiaan mereka dibalas dengan pengkhianatan sebagaimana susu dibalas
dengan tuba. Berbagai konflik terjadi yang menelan korban begitu banyak, yang
coba diselesaikan oleh Henry Dunant Center di era Presiden Gus Dur. Apa yang dirintis
Gus Dur disabot oleh rezim selanjutnya pimpinan Megawati Sukarnoputri dukungan
kelompok Sukarnoisme.
Upaya-upaya perdamaian yang mulai tampakpun kembali
hancur berkeping-keping, Presiden Megawati Sukarnoputri mengobarkan perang
terhadap rakyat Aceh sebagaimana dilakukan rezim Orde Lama pimpinan Sukarno
sebelumnya. Selain itu kelompok-kelompok Sukarnoisme coba memecah wilayah Aceh
sebagaimana mereka lakukan terhadap Papua, namun gagal karena rakyat Aceh sudah
bertekas untuk tetap bersatu dan enggan wilayahnya dipecah
belah oleh siapapun.
Operasi militer besar-besaran berhasil di akhiri menysul
terpentalnya Megawati Sukarnoputri dari kursi kepresidenan, yang kemudian
dilanjutkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) salah seorang anggota kabinet Gotong
royong yang terpental dan bergabung Demokrat yang bersama JK terpilih menjadi
kepala pemerintahan selanjutnya. Pada masa SBY upaya perdamaian di Aceh
dilanjutkan kembali, yang berhasil mengakhirinya dengan menandatangani MoU
Helsinki, 15 Agustus 2005.
MoU Helsinki yang diprakarsai oleh Marty Achtisary, PBB dan EU berhasil mengakhiri konflik yang ditanda tangani oleh pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia. Konsekuwensinya Aceh memiliki Partai-Partai Politik Lokal, serta pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Sekali lagi hanya di Aceh, bukan di daerah lainnya.
Dan bagi kelompok yang coba mengutik atik MoU Helsinki
sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh kelompok nasionalis sekuler
Sukarnois dan Marhenis tersebut, maka perlu menyadarinya bahwa Aceh memang
berbeda dengan daerah lainnya. Karena memang latar belakang historis wilayah
Aceh jauh berbeda dengan daerah lainnya, sehingga wajar saja jika hal itu bisa
membedakannya dengan daerah lainnya.
Soal toleransi beragama di Aceh sudah berlangsung
lama, bahkan sejak NKRI belum ada kesultanan Aceh sudah memberlakukannya dengan
baik. Sultan Iskandar Muda menghukum mati putranya sendiri karena melakukan
perbuatan keji, karena Aceh menerapkan hukum Islam. Ketika Belanda membatalkan
perjanjian London dengan traktat Sumatra 1871, lalu menyerang Aceh hingga
meletuslah peperangan yang terlama di kawasan Asia, dan nomor dua terlama di
dunia.
Ketika
perang dunia berakhir Aceh tidak pernah dikuasai kembali oleh Belanda, sehingga
tidak termasuk kedalam BFO (RIS) buatan NICA yang selanjutnya menjadi Indonesia
sebagai konsekuwensi Konferensi Meja Bundar. Selama Hindia Belanda masih
diduduki, Rakyat Aceh menyediakan wilayahnya bagi Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) seiring membeli pesawat terbang Seulawah yang oleh Indonesia
dinamakan RI.001 dan RI.002, serta bantuan finasial lainnya bagi Indonesia.
Karenanya Aceh seperti halnya Yogya berbeda dengan
lainnya, makanya keduanya memiliki keunikan yang tidak diperoleh daerah
lainnya. Ya sudahlah, jangan diungkit-ungkit lagi masa lalu yang luka menganga
tersebut, sekarang tepati saja janjinya, urusi saja urusan masing-masing.
Di Aceh tepatnya dekat Mesjid raya Baiturrahman
terdapat Gereja, Wihara, yang senantiasa dilindungi oleh rakyat Aceh meskipun
dalam keadaan perang sekalipun.
Namun bagi wilayah Aceh ada atau tanpa SKB pun
toleransi beragama sudah sejak lama dipraktekkan disana, namun sekitar
tahun-tahun berikutnya seiring maraknya PKI di zaman Orde Lama-terjadi migrasi
non muslim ke Singkil dari Sumatera Utara.
Dalam konteks terjadilah konflik dengan penduduk
setempat, tetapi bagi jemaat yang sudah ada sebelumnya bebas menjalankan ajaran
agamanya. Gereja mereka dihormati oleh penduduk setempat, akan tetapi
melalui strategi khusus untuk memperoleh ijin warga setempat banyak jemaat dari
luar Aceh di bawa kesana sehingga menimbulkan konflik. Dan beberapa hari yang
lalu aparat keamanan Aceh menangkap dua orang diantara tokoh intelektualnya,
dan sudah diserahkan kepada polisi.
Jadi keadaan Aceh yang sudah damai tidak usah
diusik-usik lagi, jika enggak cocok dengan aturan (Qanun)
Aceh enggak apa-apa, memang syariat Islam hanya berlaku di
Aceh. Dan jika sekiranya Marhenisme atau Soekarnoisme dan sejenisnya tidak
suka, jangan ke Aceh titik!.
Sumber: Muhammad Nurdin, Bandung, 8 Juni 2012 Guru sejarah dan sosiologi di SMA di kota Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar