7 Maret 2013

Selamatkan Rawa Tripa


Rawa Tripa adalah kawasan hutan gambut yang terletak di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya (Abdya), memiliki luas 62.000 hektare (ha) lebih dan masuk ke dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL). Namun, kondisinya kini sangat memprihatinkan. Dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang didapat dari Pemerintah Aceh, Rawa Tripa kini “diperkosa” oleh tujuh perusahaan perkebunan sawit, yang sedikitnya sudah mengeksploitasi antara 3.000-13.000 ha. 


Hal tersebut adalah bentuk kegagalan dan kelalaian pemerintah dalam melindungi ekosistem hutan di Aceh, di tengah kampanye Aceh Green dan kibijakan Moratorium Logging. Program pelestarian dan penyelamatan hutan Aceh hanyalah retorika dan klise belaka. Hampir 75% kawasan hutan gambut Rawa Tripa yang berfungsi sebagai daerah resapan, kini dikuasai oleh sejumlah pemilik modal dari kalangan swasta dengan membuka areal perkebunan sawit.

Pemerintah seakan tidak sadar, jika kebijakan tersebut dengan dalih pengembangan perkebunan Aceh telah membawa malapetaka bagi kelestarian hutan Aceh. Pemerintah kurang bijak, cermat dan tidak mengkaji secara komprehensif terhadap setiap izin perkebunan atau ekspolitasi hasil alam lainnya di Aceh. Apa untung ruginya bagi Aceh, apa dampak yang akan timbul dan yang sangat mendasar apakah setiap izin itu akan memberi efek positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar dan para pekerja? 

Kabar Buruk

Eksploitasi dan eksplorasi terhadap kawasan hutan gambut Rawa Tripa telah menjadi catatan buruk dalam pengelolaan hutan Aceh. HGU seakan menjadi kado indah bagi sejumlah pengusaha untuk mengeksploitasi kawasan tersebut semaunya. Pertanyaanya kemudian, apa dampak yang timbul akibat izin alih fungsi kawasan hutan gambut Rawa Tripa menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit? Bukan hanya kehilangan lahan gambut, pertaruhannya juga terhadap kelangsungan ekosistem sekitar hutan. Ancaman terhadap habitat flora dan fauna serta mata pencaharian masyarakat sekitar areal hutan.


Menurut data Tim Koalisi Penyelamat Rawa Tripa (TKPRT), pembukaan lahan dilakukan secara liar. Pada Maret 2012 telah ditemukan 90 titik api (hot spot) kebakaran hutan yang membuat Rawa Tripa kehilangan 800 hektare lahan. Sebuah kabar buruk, mengingat kawasan hutan gambut Rawa Tripa masuk dalam KEL yang harus dilindungi dan dilestarikan. 

Pada saat bersamaan, Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) merilis, terdapat 6.600 jumlah orangutan di Sumatera dan 200 lebih populasi orangutan di antaranya hidup di kawasan Rawa Tripa. Akibat pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, hampir setengah habitat orangutan mati. Berbagai populasi hewan lainnya seperti Beruang Madu, Harimau Sumatera, Buaya Muara, Burung Rangkok, dan berbagai jenis satwa lainnya juga terancam punah.

Kawasan vegatasi Rawa Tripa hanya tersisa sekitar 11.0000 hektare yang belum dijamah para pengusaha, dari 62.000 lebih areal gambut. Artinya HGU yang diberikan oleh Pemerintah Aceh kepada sejumlah pemilik modak (pengusaha) sudah mencapai 75% yang akan diperuntukkan untuk pembangunan perkebunan Aceh. 

Parahnya komoditi sawit yang menjadi pilihan juga akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Tanaman sawit akan menyerap sumber air yang besar, sehingga akan melahirkan masalah baru seperti berkurangnya debit air sungai, pencemaran lingkungan, terancamnya populasi habitat sekitar sungai, dan tentunnya jangka panjang akan berpengaruh besar terhadap kelansungan hidup manusia. 


Fenomena tersebut juga membawa kabar buruk dan antiklimaks dengan program Aceh Green dan Moratorium Logging yang digagas pemerintah. Mengingat kawasan hutan gambut merupakan salah satu jenis hutan penyumbang karbon dan emisi yang cukup besar, sehingga mampu memberikan solusi terhadap pemanasan global (global warming) yang menjadi isu dunia. Artinya, selama ini antara program dan kebijakan pemerintah tidak selaras dan jauh dari semangat penyelamatan kawasan hutan Aceh.

Di samping merusak kawasan hutan gambut, mengancam habitat dan populasi flora dan fauna, kebijakan pengelolaan kawasan Rawa Tripa oleh berbagai perusahaan juga memberi kabar buruk bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. Masyarakat harus kehilangan mata pencaharian mereka seperti mencari ikan disekitar rawa, karena populasi ikan berkurang akibat alih fungsi lahan. Berkurangnya pendapatan masyarakat dari hasil alam lainnya semacam madu dan rotan. 

Kabar buruk selanjutnya, menurut asumsi penulis adalah meningkatnya intensitas konflik antara satwa liar dan penduduk disekitar kawasan hutan, mengingat habitat mereka sudah terganggu. Bukan tidak mungkin ladang masyarakat akan hancur dan adanya korban dari masyarakat seperti beberapa kasus yang pernah terjadi di Aceh.

Kebijakan Keliru

Pemberian HGU kepada para pengusaha dengan motif guna mendongkrak hasil perkebunan Aceh bukanlah sebuah solusi bijak, jika dampak negatif cenderung lebih besar. Izin kepada pengusaha di Rawa Tripa, tanpa pengawasan pemerintah adalah contoh kebijakan yang sangat keliru dan merugikan. Pemberian HGU yang tidak bijak dan diteliti secara komprehensif sering membawa “kabar buruk” sepertimemicu konflik ditengah masyarakat, kerusakan lingkungan dan ekosistem, hilangnya hak tanah ulayat, hilangnya mata pencaharian masyarakat, dan dampak lain yang tak terkira.

Menurut data Walhi Aceh, sejak 2006 hingga sekarang rata-rata 32.200 ha/tahun. Investasi sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh tahun 2011, tidak kurang dari 351.232,816 ha lahan di Aceh kini dalam status konsesi untuk lahan perkebunan, dengan 236 izin HGU. Kemudian, 745.980,93 ha telah beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan dengan 109 izin. 

Dari data ini dapat kita simpulkan bahwa meningkatnya kerusakan hutan di Aceh bukan hanya akibat illegal logging semata, tapi juga akibat legal logging yang merajalela. Ke depan, pemerintah hendaknya tidak gegabah dan terburu-buru dalam memberikan izin pemanfaatan sumber daya alam Aceh, yang dikhawatirkan akan melahirkan kebijakan yang keliru. Hemat penulis, pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, mengevaluasi seluruh izin perusahaan pemegang HGU, termasukkonteks mengontrol pengelolaan aset SDA di Aceh. Kedua, Perlu adanya regulasi dan revisi peraturan yang tepat dan sinergis dengan kebijakan kementerian terkait dalam menerbitkan izin guna usaha dengan memperhatikan berbagai aspek dan dapat melahirkan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. 

Ketiga, mengevaluasi berbagai kebijakan dan program yang sudah digagas dalam upaya pelestarian dan penyelamatan hutan Aceh. Dalam hal ini perlu mengevaluasi sejauh mana kinerja Dinas Kehutanan, Perkebunan, Polhut, dan instansi terkait lainnya. Keempat, memberantas mafia perambah hutan baik secara legal apalagi ilegal, baik masyarakat sipil atau oknum aparatur negara. 

Dan, kelima, pemimpin Aceh ke depan hendaknya mampu merumuskan ide dan gagasan baru dalam upaya pelestarian kawasan hutan Aceh. Sehingga kita tidak harus lagi menyaksikan banjir bandang Tangse jilid ketiga atau bencana alam lainnya di Bumoe Seuramoe Mekkah, akibat keserakahan manusia. Selamatkan Rawa Tripa.!

Oleh Darmadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar