Makam
Tengku Peukan yang berada di Pusat Kota Blangpidie, tepatnya di depan Mesjid
Jamid Blangpidie. Ini merupakan bukti sejarah perlawanan terhadap bangsa asing
di Bumo Breuh Sigupai. Serangan pada 11 September 1926 yang membuat Tengku
Peukan syahid, menjadi saksi dan jejak sejarah keheroikan para pejuang dalam
menghadapi eksploitasi dan kolonialisasi Belanda. Letnan H. Colijn seorang
controleur di Tapaktuan pada 3 juni 1899 mengumumkan kenegerian Tapaktuan dan
Pantai Barat Daya (sekarang Kabupaten Abdya) sebagai wilayah kekuasaannya.
Pernyataan
yang disampaikan itu membuktikan keinginan bangsa asing untuk menguasi Abdya
terus berlanjut usai Portugis menguasai Lama Tuha hingga teluk Surin dan
Amerika membumi hanguskan kerajaan Kuala Batu di Lama Muda karena keinginan
menguasai perdagangan di ujung pulau Sumatera. Kabupaten Abdya dengan kekayaan
alamnya secara geografis berada antara 03º 05’-3º 80’ Lintang Utara (LU) dan
(96º.02’-97º.23.03º Bujur Timur (BT). Secara garis besar, wilayahnya berada di
belahan utara garis khatulistiwa sehingga beriklim tropik.
Dengan
kondisi tersebut, sejumlah komoditi palawija seperti Lada, pala, cengkeh tumbuh
subur dan berlimpah ruah di Bumo Breuh Segupai. Kekayaan alam ini membuat nenek
monyang Abdya saat itu sudah melakukan perdagangan dengan nelayan negara asing. Namun sebahagian dari mareka bukan saja ingin membeli hasil alam. Tetapi ingin
menguasai daerah yang membuat pejuang saat itu marah dan melakukan perlawanan
seperti yang dilakukan oleh Tengku Peukan pada tahun 1926, Tengku Sabi dan
Tengku Ben Makmud sebelumnya.
“Ketiga
pejuang ini syahid, dalam memperjuangkan Bumo Brueh Sugupai dari tangan
penjajahan Belanda, seperti Tengku Ben Makmud dibuang ke Ternate setelah ditangkap
Belanda. Tengku Sabi diarak keliling kota Blangpidie hingga syahid dan Tengku Peukan
tertembus peluru saat mengumandangkan azan usai menyerang tangsi Belanda di
kota Blangpidie,” urai Nasrun Yunan salah seorang pemerhati sejarah Abdya
kepada Rakyat Aceh.
Perlawanan
rakyat terhadap Belanda yang melakukan invansi ke Pantai Barat Abdya sebelumnya
juga dilakukan oleh Teuku Ben Makmud yang pada tahun 1885 mulai memerintah di
Kerajaan Blangpidie. Kekuasaan itu diterima setelah raja sebelumnya Teuku Raja
Cut meninggal dunia pada tahun 1884.
Perjuangan
Teuku Ben Mahmud ditandai dengan penyerangan bivak Belanda pada tahun 1901 dan
kemudian dilanjutkan pada tahun 1905 dengan 200 pasukannya yang menggunakan
senjata api dan kelewang. Hingga akhirnya ditangkap dan diinternir oleh Belanda
ke Maluku. Setelah Teuku Bin Mahmud diasingkan, perjuangan rakyat Abdya tidak kunjung
padam. Tanpa diduga-duga kembali terjadi perlawanan dari Manggeng yakni Tengku
Peukan.
Tengku
Peukan tergolong seorang ulama yang kharismatik dan berpengaruh di Manggeng dan
sekitarnya saat itu. Lahir dari pasangan Tengku Padang Ganting dan Siti Zalekha
pada tahun 1886 di Desa Alue Paku Kecamatan Sawang Aceh Selatan merupakan
seorang ulama yang berpengaruh di daerah tersebut. Sebagai seorang ulama dan
tokoh masyarakat yang berpengaruh, Tengku Peukan semakin berbahaya di mata
Belanda. Dakwahnya dianggap memancing perlawanan sehingga sering dimata-matai
oleh kaki tangan Belanda.
Hingga
akhirnya Belanda mencurigai aktifitas dakwah Tengku Peukan dengan melakukan
pemboikotan. Akibatnya, Tengku Peukan marah dan tersinggung.Belanda tidak
berhenti disitu, mareka terus mencari kesalahan dengan berbagai strategi. Salah
satunya adalah memerintahkan kaki tangannya menagih uang blesting atau pajak
tanah yang sudah tiga tahun dibebaskan oleh ulebalang Manggeng.
Desakan
agar pajak tersebut dilunasi dalam waktu singkat tidak diindahkan. Tengku
Peukan tetap bersikeras tidak membayar dan tidak akan tunduk kepada Belanda.
Akibat pembangkangannya, Belanda mulai mencari Tengku Peukan untuk ditahan.
Namun usaha tersebut dilawan dengan membuat kekuatan.
Tengku
Peukan terus melakukan perlawanan dengan merancang penyerangan tangsi di kota
Blangpidie yang kini daerah sekitar Kodim 0110 Abdya. Pada malam menjelang
peristiwa penyerangan, Tengku Peukan dan pasukannya terlebih dahulu wirid dan
berzikir untuk membersihkan diri dan penyerahan diri secara sakral yang
dilakukan di Meunasah Ayah Gadeng Manggeng.
Setelah
breefing, Tengku Peukan lalu mengarahkan pasukannya menuju Blangpidie dengan
menempuh jalan kaki sejauh 20 kilometer. “Longmarch tengku Peukan itu pernah
dilakoni oleh Pemerintah Abdya saat memperingati malam 17 Agustus dengan
membawa obor dengan pakaian serba hitam,” kata Faisal yang saat itu mengikuti
acara tersebut.
Dalam
perjalanan dari Manggeng menuju Blangpidie anak Tengku Peukan ditunjuk sebagai
pembakar semangat dengan pekikan suara takbir disepanjang jalan. Para pasukan
yang semua menggunakan seragam hitam hitam dengan celana di lipat hingga lutut
untuk mengobarkan semangat jihad. Sementara panglima menggunakan selempang
kuning. Menjelang fajar, seluruh anggota pasukan Tengku Peukan telah tiba di
Blangpidie. Sambil melepas lelah dan dahaga, pasukan melakukan kembali breefing
dan mengatur strategi penyerangan di Balee Tengku di Lhoong Dayah Geulumpang
Payong Kemukiman Kuta Tinggi.
Setelah
strategi matang dengan penyerangan dari tiga sektor, Tengku Peukan langsung
memberi komando perang ke tangsi Belanda yang saat itu masih lelap tidur. Serangan sporadis pada hari Jum’at tanggal 11 September 1926 yang dilakukan
oleh Tengku Peukan membuat serdadu Belanda di dalam bivak kucar kacir. Akibat
serangan tersebut tangsi Belanda banjir darah.
Sebagai
wujud rasa syukur. Tengku Peukan kemudian mengumandangkan azan di mesjid yang ada
didepan tangsi Belanda yang saat ini Mesjid Jamid Blangpidie depan Kantor Bank
Aceh. Saat itulah seorang marsose yang selamat melepaskan tembakan yang membuat
Tengku Peukan syahid ke pangkuan Bumo Persada Blangpidie.
Setelah
semuanya terkendali Tengku Peukan kemudian dimakamkan tidak jauh dari lokasi
tertembak, tanpa dimandikan lebih dulu sebagai mana hal yang berlaku terhadap
seorang yang mati syahid. Dalam penyerangan itu putra Tengku Peukan, Tengku
Muhammad Kasem juga gugur bersama lima pejuang lainnya.
Tengku
Peukan telah gugur sebagai pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tanpa
mengharapkan imbalan apapun kecuali ridha dari Allah SWT semata. Sampai
sekarang makam beliau yang ada di depan kompleks mesjid Jamik Blangpidie banyak
dikunjungi oleh pejabat dan masyarakat, termasuk sejumlah acara resmi saat memperingati
hari Pahlawan.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar