14 Januari 2013

Pengaruh Kebudayaan Hindu Dan Budha Di Aceh


Oleh: Chaerol Riezal

Pendahuluan
1.1              Latar Belakang
Agama Hindu dan Budha yang berkembang  di Indonesia berasal dari India. Agama budaya India tersebut disebarkan oleh kaum Brahmana. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kebiasaan kaum Brahmana yang berkembang di Indonesia. Kebiasaan-kebiasaan yang dimaksud, antara lain:
a.       Prasasti-prasasti,
b.      Upacara-upacara keagamaan.
Masuknya pengaruh India ke Indonesia diketahui sejak abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (prasasti) di Kalimantan Timur. Prasasti-prasasti itu ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Dengan ditemukannya prasasti atau tulisan yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa, maka berakhirlah masa Prasejarah Indonesia. Tradisi tulis-menulis itu tentunya membutuhkan pengetahuan yang tinggi dan pada waktu itu kebiasaan tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Kaum Brahmana merupakan kasta atau golongan yang tertinggi dikalangan orang-orang Hindu.


Selain tradisi tulis-menulis, dalam kaum Brahmana berkembang pula kebiasaan upacara-upacara penyucian. Upacara tersebut dengan Pratyastoma. Kebiasaan atau tradisi itu kemudian dipergunakan oleh raja-raja di Indonesia untuk mengesahkan dan mengukuhkan kedudukannya sebagai raja. Kaum Brahmana ketika itu tinggal di Keraton. Mereka bertindak sebagai penasihat raja. Oleh karena itu,  unsur-unsur agama Hindu dan Budha berkembang kuat di kalangan istana. Bersamaan dengan itu, muncul pula kaum Brahmana baru di kalangan bangsa Indonesia. Mereka tidak sedikit yang pergi berziarah ke tempat-tempat suci di India. Di sana, mereka pun memperdalam pengetahuan keagamaan, seni, dan sastra Indonesia. Untuk kemudian pengetahuan-pengetahuan tersebut disebarkan kembali kapada masyarakat di Indonesia. Dengan masuknya pengaruh budaya India, budaya Indonesia mengalami perubahan yang besar sekali. Dengan dikenalnya bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa, maka berarti berakhirlah zaman prasejarah Indonesia. Sejak saat itu, didapatkan keterangan-keterangan tertulis mengenai nenek moyang kita.


2.1       Sekitrar Awal Kedatangan Hindu Dan Kebudayaannya
Suatu catatan Tionghoa mengatakan bahwa bertepatan pada tahun 132 Masehi, telah datang kenegeri Indonesia perutusan Raja Yetiao untuk mengantarkan apa yang disebutnya sebagai upeti. Yetiao mengingatkan ejaan Sangsekerta “Yawadwipa”. Juga nama yang di tulis oleh Ptolamabus “Yabadiou” dekat dengan bunyi “Yawadwipa” tersebut, sehingga bukan mustahil bahwa kepulauan Indonesia sejak antara abad ke 1 dan ke 2 orang Hindu sudah masuk.
Permulaan sejarah Indonesia dapat diatur sejak itu. bagaimanapun perlu disadari dan dicatat bahwa lama sebelum orang Hindu datang, orang Indonesia dimanapun mereka berada dikepulauan ini sudah memiliki kebudayaan sendiri yang tidak dapat dikatakan masih rendah walaupun tidak hendak disebut sudah bertaraf tinggi. Maka tepat apa yang diingatkan dalam “Geschiadenis van Ned Indie” tentang kekeliruan yang menyebut bahwa orang Hindu sebagai pembawa kebudayaan atau peradaban ke Indonesia atau yang menyebut bahwa sebelumnya orang Indonesia masih liar dan biadab (telanjang, seperti orang utan). Tegasnya, harus sebaliknya. Yaitu orang Indonesia sudah berkebudayaan dan berperadaban sebelum orang Hindu datang.
Sedikit banyak, tentang anggapan sudah berkembangnya kebudayaan Hindu sejak datangnya bangsa tersebut diatas masih memerlukan bahan tambahan untuk penegasan. Apa yang dapat dipastikan tentang telah masuknya unsur Hindu, ialah masa sesudah mencapai abad ke 4 Masehi. Yaitu bersandar suatu bekas yang ditemui belakangan ini di Kutei, Kalimantan Timur. Disitu yakni di Muara Kaman beberapa ratus kilometer kehulu sungai Mahakam, ditemui 4 prasasti tulisan Pallawa berbahasa Sangsekerta. Dari tulisan itu diketahui bahwa sekitar abad tersebut pernah berdiri sebuah kerajaan dibawah perintah Raja Mulawarman. Disebut juga pemerintahan ayahnya Acwawarman, anak Raja Kaudungga. Memperhatikan nama Kaudungga ini maka kemungkinan sekali bahwa Raja tersebut bukan orang India, tapi pribumi Indonesia sendiri. Adapun sekedar yang agak jelas adalah sudah adanya masuk pengaruh Hindu tersebut, yaitu diteliti dari prasasti itu sendiri yang bertulisan Pallawa dan berbahasa Sangsekerta itu.
Di Jawa Barat disekitar Citarum telah ditemui juga petunjuk yang meyakinkan bahwa pertengahan abad ke 5 pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Tarumanegara dibawah perintah Raja Purnawarman. Diantara prasasti yang terdapat disitu terdapat pula bekas jejak kaki dengan dibubuh tulisan yang antara lain mengatakan pernah digiatkan suatu penggalian kanal (terusan) sepanjang 15 kilomater dalam masa 21 hari. Mengingat bahwa orang Indonesia yang berbakat petani sejak berabad-abad sebelumnya pun sudah tinggi keahlianya mengerjakan irigasi persawahan, maka dapat di yakinkan bahwa kemampuan menyelesaikan pekerjaan besar dalam waktu singkat itu adalah semata-mata hasil kemampuan masyarakat Indonesia sendiri, bukan dari kecerdasan ataupun kebudayaan yang didatangkan oleh orang India dari luar.
Sebagai dapat dilihat dari ungkapan diatas bukti-bukti tentang masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia barulah ada setelah menjelang akhir abad ke 4 Masehi. Itupun sepanjang yang jelas diketahui adalah hanya di dua tempat, di Kutei dan di Taruma.
Dengan sendirinya menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan Aceh, wilayah yang jelas letaknya paling Barat dan paling dekat ke India dari wilayah Indonesia lainnya. Apakah kawasan ini hanya di lintasi saja, dan mungkinkah terjadi sedemikian dikala orang masih mempergunakan kapal layar.
Dr. Snouck Hurgronye seorang sarjana Belanda yang banyak sekali meneliti dan mempelajari asal usul Aceh, kehidupan sosial dan politiknya sejak menjelang akhir abad lalu menulis, hanya dapat menunjuk cara berpakaian wanita-wanita Aceh yang dikatakannya bersanggul mirip sama dengan cara wanita-wanita Hindu.
Tapi kesimpulannya sejauh mana engaruh itu seperti pintu terkatub tidak terkunci. Katanya: bahwa dengan melalui satu atau lain jalan, langsung atau tidak langsung Hinduisme pada suatu waktu sudah mengalir kedalam peradaban dan bahasa Aceh tidaklah merupakan kesangsian lagi walaupun mengenai hal tersebut sudah sukar diteliti dalam riwayat dan adat. Perhubungan dengan penghuni India tetap juga meluas lanjut ke masa Islam.
Dr. Julius Jacobs seorang ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh sejak tahun 1878 sampai menjelang abad ke 19 menulis: “Eesarnya pengaruh Hindu atas penduduka asal setidak-tidaknya dapat diteguhkan oleh kenyataan tentang pemakaian nama-nama tempat dalam bahasa Hindu istilah yang terdapat dalam bahasa Aceh. Bahwa Hindu itu juga berpengaruh besar pada adat istiadat mereka tidaklah perlu disangsikan lagi, terutama kalau diingat bahwa kerajaan Hindu telah berdiri terus hingga kira-kira pertengahan pertama abad ke 16 ketika mana orang-orang Islam menggantikan tempatnya dan benih-benih bulat sabit bertebar luas diatas runtuhan kerajaan Hindu itu.”
Bekas residen Belanda Van Langen juga sudah membuat studi yang seksama masa ia bertugas disana juga sekitar berakhirnya abad ke 19. Dalam bukunya antara lain disinggungkan tentang banyaknya kata-kata Sangsekerta yang dipakai dalam bahasa Aceh. Katanya kerajaan Hindu Aceh dahulu tidak hanya terbatas di Aceh Besar saja tapi juga meluas ke ceh Utara termasuk Pasai. Salah satu bukti katanya tidak hanya diwilayah tersebut tapi juga di Sematang Dora dekat Kuala Batee Keureuda dibagian Pidi telah di temukan kuburan-kuburan Hindu. Tapi benarkah kuburan itu dari jenazah Hindu dan apakah tidak ada pembakaran, justru itulah pertanyaannya.
Bicara tentang unsur-unsur Hindu Van Langen bahwa tidak mustahil imigrasi Hindu dulunya telah mencapai pantai Utara Aceh. Katanya dari penelitian bahasa, kata-kata dan entologi dapat diyakinkan bahwa orang Hindu masuk ke Aceh melalui Hindia Belakang (Achter India). Baik yang dicatat bahwa yang dimaksud Van Langen dengan Hindia Belakang adalah Indo China. Ini terkesan dari penjelasannya yang menyebut terdapatnya kata-kata Campa. Di samping itu disebut juga mengenai percampuran kata-kata yang berasal dari istilah Sangsekerta. Tentang ini bukanlah bahasa Aceh saja tapi bahasa Indonesia umumpun meminjam banyak kata-kata Sangsekerta.
Dibagian lalu sudah disinggung mengenai warna kulit orang-orang yang pindah dari daratan Indo China yang kebanyakan memiliki warna kulit kehitam-hitaman. Berhubung karena kemudian Aceh sejak zaman Islam, semakin banyak didatangi oleh perantau dari India Selatan (Keling) dan berkeluarga dengan penduduk setempat, maka tidak aneh lagi bahwa kulit kebanyakan orang-orang Aceh lebih berwarna kehitam-hitaman. Dalam zaman kebesaran sultan-sultan banyak pula dijumpai pendatang-pendatang orang Afrika (Habsyi) yang dijadikan hamba. Percmpuran mereka dengan penduduk setempat juga memberi pengaruh akan bentuk badan dan warna kulit orang Aceh. Sekalipun ciri-ciri intinya tetap Indonesia.
Karena itu bilamana kelihatan bahwa warna kulit orang Aceh lebih kehitam-hitaman dibanding dengan suku lain maka haruslah diperhatikan faktor percampuran dengan Muslim orang India Selatan yang terjadi setelah berabad-abad kemudian. Bukan sebelumnya.
Dapat dicatat bahwa kesusasteraan Aceh ada juga memiliki hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, dikenal sebagai merupakan saduran dari kekawin Ramayana karya Walmiki. Disebut saduran karena terdapatnya unsur ke Islaman, terkesan dari dipergunakannya istilah “Alaihissalam” dan lain-lain. Tidak jelas apakah hikayat Sri Rama Aceh ini salinan hikayat Sri Rama saduran terdahulu. Sebuah naskah Sri Rama tulis dengan huruf Jawi (Arab) koleksi pendeta Laud ditahun 1633 kini ada tersimpan dalam perpustakaan Bodleian Universitas Oxford di Inggris bersama dengan naskah Aceh lainnya koleksi pendeta tersebut.
Pada hemat penulis (buku Aceh Sepanjang Abad jilid I) itulah naskah terdahulu hikayat Sri Rama ditulis di Aceh sedangkan hikayat Sri Rama ataupun hikayat serupa itu yang berjudul hikayat Rawana adalah dari naskah koleksi Laud tersebut. Versi Aceh maupun versi Melayu dari hikayat Sri Rama maupun Rawana rupanya telah menimbulkan sangkaan bahwa hikayat itu telah mencerminkan sejarah Aceh juga dan Raja Rawana yang dimaksud di dalamnya adalah Raja yang pernah bertahta di Indrapuri (Aceh). Nama-nama kampung tua dari bahasa Sangsekerta seperti Indraputra atau Indraparwa rupanya telah dikaitkan oleh sementara penduduk sebagai suatu nama kota-kota kerajaan Hindu yang pernah tumbuh di Aceh. Namun perhitungan sebagai itu sama sekali tidak dapat dijadikan pegangan dan untuk mengatakan bahwa pernah berdiri kerajaan Hindu di Aceh masih memerlukan pembuktian-pembuktian terpercaya. Tentu dapat diperkirakan bahwa orang-orang Hindu atau Budha sudah mengenal Aceh sejak awal abad ke 1 Masehi. Katakanlah bahwa mereka sudah memiliki kemampuan melakukan pelayaran di samudra luas atau bahwa mereka sebagai saudagar atau imigran telah menompang kapal-kapal Indonesia, Arab maupun Parsi. Namun jika disebut suatu kepercayaan Hindu atau kerajaan Hindu sungguh-sungguh telah mengalir ke dalam tubuh orang Aceh dan mengisi kebudayaannya, penulis (buku Aceh Sepanjang Abad jilid I)  berpendapat bahwa masih diperlukan penelitian mendalam. Sedikit banyak menjadi bahan pertimbangan juga apakah kedatangan orang-orang Hindu itu dahulu dengan rombongan besar atau hanya kelompok kecil-kecil. Jika rombongan besar dapat diperkirakan mereka yang datang sekaligus membawa modal atau sesuatu yang kiranya dapat memberi pengaruh atas perkembangan setempat. Sebaliknya jika dalam kelompok kecil maka lebih mungkin jika mereka melebur diri kedalam perkembangan masyarakat yang didatanginya.

2.2       Pengaruh Hindu
Sebagaimana pulau Jawa, Sumatera walaupun sedikit mengalami juga pengaruh Hindu, akan tetapi pengaruh itu selalu ditekan oleh pengaruh Islam.  Arab, Syam (Suriya atau Sureen kata orang Aceh) yang banyak berdagang di pasar-pasar: mereka dalam kepercayaan syariat Nabi Ibrahim yang senantiasa bertentangan dengan kepercayaan orang Hindu.
Masa mulainya berlaku pengaruh Hindu itu belum juga dapat dikatakan dengan tepat. Akan tetapi, dapat diduga sebelum tahun Masehi atau semenjak expansi Raja Iskandar Zulkarnain ke Asia. Penduduk dari lembah sungai Indus dan Gangga lari ke Sumatera atau Aceh (334-326 SM). Kemudian setelah zaman Islam orang-orang Arab, Parsi makin rame datang, perhitungan tahun dimulai dengan tahun Hijrah. Maka barulah orang memperbandingkan (sesuaikan) dengan perhitungan tahun Masehi. Seperti diketahui umum, bahwa expansi Raja Iskandar Zulkarnain ke Asia Tengah dan Asia Tenggara dalam akhir abad IV dalam tahun 334-326 sebelum Masehi, telah terjadi gerakan perpindahan besar-besaran sebagai berikut ini.
Bangsa Phonisia, Surya (Syam), Persia dan lain-lain dari lembah sungai Nil, Furat dan Indus dari Teluk Persia di Lautan Arab dan lembah-lembah dari sungai Gangga negeri Baktria, (Kabul = Afganistan sekarang) tahun 327 SM, di Teluk Benggala di Lautan India, maka bangsa-bangsa penghuni negeri-negeri itu karena ketakutan telah lari menghindarkan dari kesepanjang pantai atau pulau-pulau di Asia Tenggara dalam lautan Hindia dan Lautan China hingga ke Asia Timur sampai ke pulau-pulau Panji dan Paas.
Maka imigran itu sebagai bangsa Nomanden. Terlebih dahulu sangkut dipintu gerbang yang berada dalam selat Banang atau Malaka yaitu pulau-pulau: Sailan (Kendi), Andaman Nikobar, Sumatera dan Malaka. Bahagian Sumatera Utara terutama Peureulak, Pasai, Pidie (Poli), dan Lamuri atau Aceh Besar. Sumatera Selatan dan Tengah, sungai Musi, Kampar, Indragiri, Palembang, Indrapura, dll. Dan yang kebahagian tanah Semenanjung Malaka yaitu sepanjang pantai-pantai Johor, Perak, Kedah, dan pulau-pulau lain sekitarnya yaitu: Bintan, Riau, Bengkalis dan lain-lain. Dapat ditambahkan lagi, setelah mangkat Maharaja Iskandar Zurkarnain yang perkasa itu, maka pengalima-panglimanya bertindak sendiri-sendiri merampas kedudukan tinggi menjadi Raja, diantaranya: Ptolemaeus dan Soleceus yang menjadi Amir (Gubernur) di Mesir, Persia, dan India Utara, sehingga kerajaan besar itu menjadi pecah (301 SM). Setelah mereka itu mendapat kedudukan tinggi, tidak tinggal begitu saja, malainkan satu sama lain mengadakan serang menyerang untuk meluaskan kekuasaannya, sehingga keadaan rakyat diseluruh tempat itu tidak tentram.
Maka sebab kekalutan ini, kehidupan penduduk menanggung penderitaan dan sengsara, karena itu banyak penghuni negeri-negeri itu malarikan diri ketempat lain, baik rakyat jelata maupun kaum saudagar dan kaum bangsawan yang telah hilang harta dan kekuasaannya pergi mencari tempat kediaman baru di Asia Tenggara. Peristiwa sedemikian terus-menerus tidak terhenti sampai kepada pemerintah Dinasti Maharaja Asoka yang amat kejam (272-232 SM). Sehingga banyak orang kelingga dari Madras lari ke: Sumatera atau Aceh, Malaka, dll, di seluruh Nusantara. Dan setelah itu dimasa rubuhnya kerajaan Andhraa 185 SM sampai 225 M, banyak pula bangsa Parthi dan Saka dari India Barat lari meninggalkan negerinya, barangkali inilah asal bangsa Sakai di Malaka. Gerakan besar-besaran lagi berikut itu, ialah setelah bangun agama Islam dalam permulaan abad VII semenjak kira-kira tahun 43-602 H bersamaan dengan 712-1206 M. Kalifah serta mubaliq Islam telah memperkembangkan Syiar Islam keseluruh Afrika, Eropa dan Asia. Persia Syam dan India di serang dan didirikan kerajaan-kerajaan Islam. Karena peperangan yang maha dasyat itu, maka bangsa-bangsa Parsi dan Hindu yang tidak mau menganut agama Islam, telah menghindarkan diri mencari kediaman baru pula. Imigran ini telah membanjiri pulau-pulau di Asia Tenggara. Sudah tentu saja kalifah-kalifah pelarian ini sebahagian telah mengambil tempat di Aceh (Sumatera). Yang tidak dapat bergaul dengan penduduk di Aceh yang telah lebih dahulu datang, mereka itu meneruskan perjalanannya ke lain tempat yaitu ke pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Ternate, dll, diseluruh kepalauan Nusantara.
Demikian pula halnya dalam peperangan Raja Harsha yang diserang oleh bangsa Huna (604) di India Selatan. Adik perempuan putra Harsha permaisuri seorang Raja dalam daerahnya telah dibunuh suaminya oleh raja Mulwa (India Barat dekat Gujarat), puteri (Permaisuri) itu serta pengikutnya dengan membawa segala harta benda dan pembendaraan suaminya, telah lari ke Aceh dan menderikan negeri baru, yang kemudian disusul atau dicari oleh abangnya putera Harsha. Tetapi puetri itu tidak mau pulang kembali kenegerinya semula, karena dirasanya lebih sentosa dinegeri yang baru: yang mungkin negeri baru yang didirikan oleh bekas Permaisuri itu ialah Indrapuri, karena dekat Indrapuri ada perkampungan orang Hindu yang disebut Tanoh Abee sekarang. Maka Harsha sesudah diketahui adiknya telah berkedudukan baik, lalu pulang kenegerinya dan sampai disana barulah ia mau ditabalkan menjadi Raja dengan gelar Maharaja Diraja Seri Harsha (606-647).
Maka setelah itu pula menurut cerita Hindustan, baru didirikan candi Borobudur Parambanan di pulau Jawa kira-kira tahun 700 M. Oleh karena pulau Sumatera letaknya lebih dekat ke Teluk Persi dan Benggala atau ke India Muka dan India Belakang dari pada pulau Jawa. Maka dapatlah dikatakan bahwa pulau Sumatera atau Aceh memperoleh tamu asing itu lebih dahulu dari pada pulau Jawa.
Mungkin pengaruh Hindu purbakala itu bisa disebut Hindu Imigrasi (Nomanden) atau Hindu mengungsi. Karena orang banyak mengingat akan orang-orang berpindah dengan cara besar-besaran mengambil jalan dari pesisir kepedalaman, dari kuala-kuala: Pidie, Meureudu dan Samalanga. Barangkali juga dari daerah Pasai berlalu kedaerah-daerah kepegunungannya melalui kuala-kuala: Piada, Pasai, Junda, Jangka dan dari Aceh Besar. Orang-orang Hindu itu tinggal dan seterusnya dalam pekerjaannya bertani, berternak yang menghasilkan juga minyak sapai yaitu: di Tanah Abee, Panja dan Janthoe, mereka berserak-serak di lembah Aceh Besar. Orang-orang Hindu dan Batak/Karo mereka ini tahu menempatkan dan menyusuaikan dirinya dengan Bumiputera asli, sehingga mereka itu tunduk kepada lembaga dan rukun kampung itu. karena itu generasinya termasuk menjadi warga kampung itu yang mendapat haknya serupa dengan pribumi asli.
Pada mulanya sebahagian dari negeri atau daerah, diperintahi langsung oleh kepala atau Merah (Raja) nya. Sementara sebahagian lain-lain diperintahkan oleh wakilnya. Begitu juga dengan kekuasaan yang merupai Kerajaan Hindu kecil yang terdapat disetempat-setempat. Tidaklah disangsikan lagi bahwa disana-sini ada terdapat tempat yang dipengaruhi oleh pemerintah Hindu dengan membangun kebudayaannya. Terbukti tulisan-tulisan pada batu-batu dan kuburan-kuburan yang didapati orang di Tanoh Abee hulu sagi XXII mukim dan reueng-reueng didaerah Aceh Besar. Menurut cerita orang Aceh tentang riwayat seorang Raja Hindu yang bernama Rawana yang berkedudukan di Indrapuri arti Kuta Raja, daerah mana perbatasannya sampai ke laut. Mythe itu dapat dipelajari lebih mendalam dari nama-nama tempat seperti nama kampung Panja diatas Seulimeuem, Indrapurwa dimana sungai Nejid atau Kuala Pancu dan Indraputera diatas Lam Nga dekat Kuala Gigieng. Di India ada nama negeri atau kerajaan yang merupai nama-nama yang tersebut diatas.
Menurut keterangan seorang Thabib India yang bernama Fahruddin yang dipelajari dari kitab-kitab kuno India/Hindu. Indrapuri dahulu kota kota dari seorang Raja Perempuan (Ratu). Disatu masa ada datang satu khalifah orang Hindu keturunan Dasarata tinggal disitu. Khalifah ini akan mendirikan candi disitu untuk mengembangkan agama Budha, tetapi disanggah keras oleh anak negeri itu. Khalifah itu kemudian berangkat kebahagian Sumatera Barat dan sampai disana dilihatnya satu tempat padang rumput yang luas disana akan ditempati oleh khalifah itu, tetapi tidak diterima oleh penghuni negeri itu dan karena itu, negeri itu ditinggalkan, maka negeri itu diberi nama Padang, itulah negeri Padang sekarang. Berangkat dari situ khalifah itu singgah ditempat lain, disana mendapat tempat dan mendirikan satu kota yang bernama Indrapura: artinya kota raja laki-laki yang bertandingan dengan nama Indrapuri. Dalam pantun Aceh ada disebut satu semboyan: Si Indrapura Si Indrapuri, mate dilaut Sulingdong hari, seubab mate si Indrapura karena ija Si Indrapuri. Kalau kita fahamkan istilah pantun itu, yakni anak Raja dari Khlifah itu telah ada perhubungan cinta dengan Ratu puteri di Indrapuri, tetapi anak negeri itu tidak suka menerima lamaran itu dan dia diusir dari situ sehingga ia berangkat ketempat lain, dimana ia lama-lama karena menanggung rindu ia mati dilaut. Pergeseran besar yang berikutnya lagi yang bersifat sosial, terjadi dibahagian pertama dalam perluasan agama Islam ke India, karena terjadi perang besar maka orang-orang Hindu telah menghindarkan diri pula ke Sumatera Aceh dan seterusnya dalam akhir abad XI ± 1075 M, oleh Parsi/Arab agama dan kebudayaan Islam telah mengalir didaerah Kerajaan Peureulak dan Pasei. Kemudian mengalir terus ke Pidie yaitu meliputi negeri Meureudu, Ribee, sampai ke Padang Tiji sekalipun belum merata, hanya setempat-setempat dan kemudian berulah pada permulaan abad ke 16 agama Islam resmi dipeluk oleh orang diseluruh Aceh Besar.
Seri Sultan Ali Mughayat Syah menurut cerita orang-orang adalah Sultan Aceh Raja yang pertama membentuk kerajaan. Islam memberikan santunan untuk itu. kelirulah jika ada orang mengatakan bagwa lembah Aceh Besar dahulu ada sebagaimana sekarang ini, tetapi penduduknya padat. Disamping Kerajaan Islam dimasa itu berada kerajaan atau kekuasaan campuran dari suku Batak/Karo dan Hindu. Masing-masing mempunyai kepala yang merupai pemerintahan, yang ditaklukkan kemudiannya oleh Seri Sultan Alaiddin Rajat Syah alqahar. Tentang riwayat Aceh ini dapat diketahui orang dari sejarah pelajaran orang-orang Tionghoa, Arab, Itali dan lebih jelas Portugis yang membikin riwayat perjalanannya dimasa dahulu kala dan dari hal penduduk bumiputera dari XXV mukim menurut cerita-cerita orang, ada bercampur darah dengan suku Batak/Karo asalnya. Batak Karee kata orang Aceh.
Seri Sultan Alaiddin Rajat Syah alqahar yang memegang kerajaan dari tahun 1537-1568 membagi golongan rakyatnya atas keasalannya yang dinamai Kaum atau Sukee. Orang-orang Hindu yang datang, tampaknya membentuk 4 kesatuan dan berdiam di Tanoh Abeeh, Lam Leu’ot, Panca, Montasik dan Lam Nga. Sebagai kaum dari mereka adalah Raja Raden tinggal di Tanoh Abee.
Orang-orang yang berasal dari suku  Batak atau Karo membentuk kaum Lhee Reutoih (Kaum Tiga Ratus), dari suku Hindu Kling (dagang) kaum Imeum Peuet (Imam Empat) dan orang-orang asing lain: Arab, Parsi, Turki dll, dari sana-sini datangnya membentuk kaum Tok Batee (Cukup Batu). Keluarga Sultan sendiri termasuk dalam suku Tok Batee. Kemudian barulah terjadi kaum Ija Sandang yang berasal dari campuran (peranakan) suku Hindu dan Batak Karee.
Pengiut-pengikutnya memeluk agama Islam, dikepalai oleh 4 orang (penglima kaum) yang bergelar Imam. Imam-imam ini yang menjadi penanggung jawab dari 4 kaum itu, yang pada akhir abad XIX masih juga terdapat di Aceh Besar. Dalam pantun Aceh ada disebut:
            Kaum Lhee Reutoih ban aneuk drang,
            Kaum Ija Sandang jeura haleba,
            Kaum tok batee bacut-bacut,
            Kaum Imeum Peuet yang gok-gok donya.
            Artinya:
a.       Kaum tiga ratus, sebagai biji drang yang semacam pohong kacang tanah, tumbuhnya setalah musim memotong padi, matilah segala jerami, maka tumbahlah sendiri pohong-pohon drang itu dengan suburna, buahnya diatas seperti kacang hijau, tetapi bijina lebih halus.
b.      Kaum ija sandang, sebagai jeura haleba, haleba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini bahan pemasak kari guna menghilangkan bau hanyir pada daging dan ikan. Biji ini lebih besar sedikit dari biji drang
c.       Kaum tok batee, bacut-bacut yakni Cuma sedikit saja.
d.      Kaum Imeum Peuet, yang gok-gok donya. Gogok = guncang, maknanya: Kaum ini berpengaruh besar dan memegang peranan penting dalam pemerintahan.
Jadi Imeum Peuet adalah kaum yang berpengaruh terbesar. Sesudah kaum ini, maka kaum tiga ratuslah yang dapat dipandang besar dan alasannya maka terbentuk kaum itu adalah sebagai berikut:
Orang-orang suku Hindu dan Batak atau Karo bersengketa karena suatu peristiwa zina. 300 orang suku Batak atau Karo berhadapan dengan 400 orang suku Hindu, hendak menyelenggarakannya persengketaan itu dengan mengangkat senjata. Guna menghindari perang saudara ini, maka mereka itu memperoleh kata sepakat, bahwa orang yang bersalah itu dibawa kesatu arena (tanah lapang) disana akan dilakukan hukum adat, tetapi kemudian dapat dibebaskan. Bila ia, diwaktu dilakukan tuntutan untuk membunuhnya, dapat melarikan dirinya kesalah satu kaum yang berada disekitar arena itu, yang kelak dapat menempatkannya dalam perkauman mereka. Hal ini terjadilah sehingga kedua kaum yang dimaksud bersetia tolong menolong melindungi yang bersalah itu.
Sejak waktu inilah orang-orang suku Batak atau Karo disebut Kaum Tiga Ratus dan orang-orang suku Hindu yang menjadi Kaum Empat Ratus. Sukee Tok Bate terbentuk dari orang-orang suku lain: Arab, Parsi, Turk, Habsyi, Kling dan sebagainya yang berturut-tutut diam di Aceh. Tentang terjadinya pun ada suatu cerita pula yaitu: Sewaktu Sultan Alaiddin Rajat Syah Alqahar membangunkan sebuah istana, maka dikerahkan Baginda rakyatnya berseraja membawa batu-batu untuk keperluan itu. orang-orang bangsa asing turut juga melakukan pekerjaan itu dan mereka ini yang lebih giat bekerja dan lekas mencukupi batu untuk keperluan pembangunan istana itu. sesudah batu-batu penghabisan dibawa oleh orang-orang asing ini, maka Sultan bertitah supaya menghentikan pekerjaan itu, disebabkan batu sudah cukup (tok batee). Sejak waktu itulah orang-orang yang berasal dari bangsa asing digelarkan kaum Tok Batee.
Sultan dan famile asalnya pun dari orang-orang diluar Aceh, umumnya dari orang-orang Parsi, Arab, Melayu dan Bugis, yang mempunyai pengetahuan memerintah secara Islam dan terpandang karena pergaulan dan kebijaksanaannya. Dalam sejarah Melayu ada juga turunan Raja Aceh yang datang dari Jempa, Kamboja. Jadi raja dan keluarganya termasuk dalam kaum Tok Batee.
Jikalau cerita orang dapat dipercaya, maka kaum ija sandang ada kemungkinan berasal dari seorang Raja Batak datangnya dari XXII mukim, kampung Lam Panaih, Laweueng, Kale, dan Pandei, dipesisir Selat Malaka. Nama gelarnya diperolehnya dari seorang Sultan Aceh, karena ia mempersembahkan kepada Sultannya setiap tahun satu bambu yang berisikan tuak yang disandang dibahunya dengan seutas tali. Kaum-kaum ija sandang, lhee reutoih, dan tok batee untuk dapat mengimbangi kaum 400 selalu bersatu. Setiap kampung atau mukim biasanya dijumpai orang-orang yang berasal dari berbagai kaum, tetapi selamanya dikuasai oleh kaum yang orangnya banyak menjadi penduduknya.
Mereka yang terikat dalam satu kaum, berada dibawah kuasa dari atau satu kepala-famili yang bergelar Panglima Kaum. Kaum adalah sekeluarganya yang dinamai juga aneuk sukee (anak suku). Dalam pemerintahan yang dahulu-dahulu ada juga terjadi pertumpahan-darah yang dipersengketakan antara kaum 300 dengan kaum 400. Manakala terjadi persengketaan ini, maka masing-masing anak kau mencari kaumnya dengan melupakan tali-famili. Dimasa yang begini rupa, maka perkawinan antara kaum-kaum dimaksud tidaklah dilakukan orang. Dalam masa peperangan Aceh dengan Portugis dan sampai kepada Belanda segala kaum-kaum itu bersatu padu dan melupakan peselisihan sesamanya untuk kepentingan negara.
Dalam suatu riwayat tersebut, setelah mangkat Sultan Iskandar Tsani, permaisurinya  Seri Alam diangkat menjadi Sultanah (Ratu) yang bergelar Tajul Alam Safiatuddin Syah. Orang Belanda berusaha kekuasaan Aceh lumpuh dan diharapnya supaya Aceh jatuh dalam pengaruh Kerajaan Johor. Oleh sebab itu disuruhnya Sultan Johor Sultan Abdul Jalil Ra’jat Syah III meminang Ratu Safiatuddin, yang mana orang Belanda serta orang-orang Besar dari Johor yang disertai oleh seorang Nyonya Belanda datang ke Aceh buat menghantar tanda perkawinan. Ratu serta beberapa orang-orang besar telah lebih dahulu menyetujui pertunangan itu. akan tetapi keempat kaum itu sepakat menolak perkawinan Raja Johor dengan Ratu Aceh, karena mereka itu menaruh dendam dan sadar atas segala kesalahan dan pelanggaran janji Raja-raja Johor dengan Raja-raja Aceh yang telah lalu semenjak Sultan Mansyur Syah dan Sultan Iskandar Muda. Karena penolakan ini, utusan-utusan dari Johor pulang dengan tangan hampa dan karena ini malulah Raja Johor. Maka untuk penutup malu Raja Johor, ditutupnya negeri Aru diberikan kepada Kerajaan Johor dan negeri ini dengan sepakat dibiarkan diserahkan dulu buat sementara kepada Johor sebagai penebus malu. Berhubung dengan riwayat-riwayat yang diatas ini, ternyatalah bahwa kaum-kaum itu senantiasa atau telah membentuk dasar yang kuat dari bangsa Aceh dan suatu penyelesaiannya tidak mudah, jika mereka itu tidak didengar atau bekerja sama sampai tercapai keputusannya.

Beberapa Budaya Aceh Dalam Pengaruh Hindu:
3.1       Perayaan Rabu Abeh Di Barat-Selatan Aceh
Dalam tradisi masyarakat di pesisir Barat-Selatan Aceh, perayaan Uroe Rabu Abeeh atau perayaan “tulak bala” dilakukan setiap tahun pada akhir bulan Safar. Uroe Rabu Abeeh biasanya dilaksanakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar. Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seuum”.

Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi. Dalam kajian empiris, menunjukkan bahwa selama bulan safar belakangan ini, di beberapa daerah khususnya Aceh telah diklaim menjadi salah satu daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Belum lagi berbagai gejala alam yang sangat sulit diprediksi, namun ditenggarai sebagai pengaruh global warming yang memicu semakin seringnya terjadi disharmonisasi alam seperti kebakaran hutan, lahan gambut, dan fenomena semakin sering muncul semburan lumpur panas seperti yang terjadi di Meulaboh dan peningkatan suhu di beberapa ruangan di Rumah Sakit Umum Aceh Barat Daya. Hal ini memberi sinyal, seolah-olah bumi Aceh semakin membara dalam peningkatan intensitas “marabahaya” akibat kerusakan alam.

Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempo doeloe, bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang dirayakan pada akhir bulan ini. Prosesi “tulak bala” pada masa lalu dilakukan dengan cara upacara berdoa bersama-sama baik di meunasah, dayah, sungai, pantai, ataupun pemandian dengan dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala. Pada akhir prosesi Tulak Bala dilakukan doa bersama, kemudian kenduri berupa makan bersama-sama dari “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa dari rumah masing-masing. Setelah itu dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian dari flora yang terdapat di lingkungan mereka. Mereka bersama-sama dengan keluarga atau kerabat melakukan mandi bersama sebagai simbolisasi pembersihan diri dari “wujud bala”yang datang dengan membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis dengan “membersihkannya” dari tubuh dan jiwa ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian.

Pada tataran kontemporer, Uroe Rabu Abeeh atau tolak bala tidak lagi bermakna sakral namun sudah berwujud provan sebagai salah satu sarana peningkatan kesadaran rekreasi pada tataran lokal, terutama meningkatnya daya tarik wisatawan lokal terhadap tempat-tempat rekreasi yang ada di sana seperti Kreung Seumayam, Kreung Babah Rot, Ceuraceu Kuala Batee, pantai Lama Tuha, Pantai Cemara Indah, Pantai Jilbab, Pantai Bali, Krueng Beukah, Ujong Tanoh, Ujong Pasi Manggeng sampai Krueng Baru.

Dari pemahaman di atas, dapat disimpulkan prosesi uroe rabu abeeh atau tulak bala sudah mengalami diaspora dari aura religiusitas ke provan. Di mana saat ini tolak bala dan uroe rabu abeeh di pesisir Barat-Selatan Aceh telah bergeser menjadi ajang untuk berhura-hura dengan pacar atau sesama saudara atau tetangga sambil berdiwana dengan motif yang berbeda-beda dari esensi kedalaman pemaknaan dari tulak bala itu sendiri.

Pada tataran perayaan uroe rabu abeeh saat ini, WH di Barat-Selatan Aceh harus bekerja ektra dan bertindak preventif untuk mengontrol pendiwana, dalam mengaplikasi syariat Islam dengan meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan korban lainnya. Preventivikasi ini harus ditegakkan, namun kebebasan yang tidak “keblablasan” juga harus diberi ruang bagi publik agar mereka tidak merasa diintipi, dibebani dengan rasa takut yang tak terperi untuk mengunjungi objek-objek terindah yang dimiliki karena apapun alasannya semua manusia merindukan keindahan namun yang paling penting adalah terciptanya nilai kedamaian di dalam masyarakat.

3.2       Kenduri Laot
Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima Laot di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek moyang).

Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai sekarang. 

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat.

Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri. 

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-Quran.

Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.

Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama tujuh hari setiap sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya kerbau menyusuri bibir pantai wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak mengherankan selama tujuh hari sebelum acara kenduri laot dilaksanakan, pantai selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.

Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula. Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan. Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur. 

Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan, anak-anak yatim serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pantangan-pantangan melaut. Pantangan turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan sebagai suatu hukum adat yang mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai penguburan. 

Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua atau ulama dan pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya adalah petuah-petuah menyangkut kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah panglima laot dan juga pejabat-pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya selesai pula acara kenduri laot.

3.3       Upacacara Peusijuk
A.    Konsep Peusijuek Pada Masyarakat Aceh

Pada masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat telah memberikan tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan agama. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan “Hukom ngon Adat Hanjeut cre Lagee zat Ngon Sifeut”. artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat dengan sifatnya. Diumpamakan seperti kuku dengan daging, sehingga kaidah Islam sudah merupakan bagian daripada adat.

Akan tetapi adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam sebelumnya banyak terdapat pengaruh Hindu. Hal ini terlukiskan pada zaman dahulu tatkala Aceh sebagai tempat persinggahan lalu lintas pelayaran internasional, dalam rangka hubungan perdagangan bahkan ada yang sampai menetap di Aceh.

Masuknya pengaruh Hindu ke dalam kebudayaan dan adat istadat Aceh, disebabkan karena pernah terjadi suatu hubungan yang luas antara Aceh dan India pada masa lampau. Sehingga ada beberapa kepercayaan dari masyarakat Aceh seperti peusijuek (tepung tawari), upacara boh gaca, (memberi inai), kanduri blang, (syukuran ke sawah), upacara peutron aneuk (turun anak) dan lain-lain dianggap bagian dari unsur budaya Hindu yang tidak pernah luntur dalam kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Namun sejak masuknya Islam ke bumi Serambi Mekkah, upacara / kepercayaan tersebut telah disesuaikan dengan nuansa keIslaman. Segala sesuatu pekerjaan dimulai dengan bismillah dan doa selamat serta shalawat Nabi.

Upacara Peusijuek disebut juga tepung tawari. Pada masyarakat Aceh upacara ini dianggap upacara tradisional simbolik dari permohonan keselamatan, ketentraman, kebahagiaan, perestuan dan saling memaafkan. Hampir sebahagian adat Aceh adanya prosesi upacara peusijuek. Seperti upacara perkawinan, sunat rasul, peusijuek meulangga (perselisihan), peusijuek pada bijeh (tanam padi), peusijuek tempat tinggai (rumah baru), peusijuek peudong rumoh (membangun rumah), peusijuek keurubeuen (hari raya kurban), aqiqah anak, peusijuek kenderaan (roda dua dan empat), peusijuek jak haji (naik haji), peusijuek puduk batee jeurat (pemasangan batu nisan bagi yang telah meninggal). Peusijuek Juga di lakukan tatkala adanya pergantian seorang pemimpin dari perangkat desa sampai gubernur bahkan setiap ada tamu kebesaran daerah juga adanya prosesi upacara peusijuek.

Biasanya dalam pelaksanaan upacara peusijuek dihadirkan seorang Tengku (ulama) atau atau orang yang dituakan (Majelis adat) sebagai pemimpin upacara. Hal ini dilakukan karena dianggap peusijuek yang dilakukan salah satu unsur tersebut memperoleh keberkatan dan setelah selesai upacara peusijuek adakalanya diiringi dengan doa bersama yang dipimpin oleh Tengku untuk mendapat berkah dan rahmat dari Allah SWT.

B.     Macam-Macam Upacara Peusijuek

1.      Peusijuk Meulangga

Apabila terjadi perselisihan di antara penduduk, misalnya antara A dan B ataupun antara penduduk gampong (desa) A dengan penduduk gampong B serta perselisihan ini mengakibatkan keluar darah, maka setelah diadakan perdamaian dilakukan pula peusijuek. Peusijuek ini sering disebut dengan peusijuek meulangga. Pada upacara itu juga sering diberikan uang, yang disebut sayam (uang damai) yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perselisihan terjadi seperti tersebut di atas, tetapi tidak mengeluarkan darah, misalnya perkelahian, perdamaian dan upacara peusijuek dilakukan juga, tetapi tidak diberikan uang.

Pada peusijuek Meulangga alat-alat yang dibutuhkan seperti dalong, bu leukat, teumpo / u mirah, breueh pade, on sisijeuk, on manoe, naleueng sambo (ketiga-tiga diikat menjadi satu), teupong taweue, glok / cuerana, sangee dan ija puteh. (jika mengeluarkan darah). Biasanya apabila mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak, ikatan keluarga yang terjadi perselisihan akan menjadi kuat bahkan telah dianggap sebagai sanak saudara.

2.      Peusijuek Pade Bijeh

Acara peusijuek pade bijeh ini dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan benih (bibit) sebelum penyemaian di sawah. Tujuan daripada peusijuek ini mengandung harapan agar bibit yang akan ditanam mendapat rakhmat Allah SWT, subur dan berbuah banyak.

Perangkat alat dan bahan yang digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah : on gaca, bak pineung, on kunyet, on nilam, on birah, naleueng sambo, sira, saka, boh kuyuen dan minyeuk ata. Peranannya adalah sebagai berikut :

a.       On gaca (daun pacar), sifatnya tahan panas dan tahan dari segala penyakit, sedangkan maknanya adalah agar benih padi yang akan ditanami kuat dan tahan dari segala gangguan hama, seperti halnya daun pacara tersebut.
b.      Bak pineueng (phon pinang), sifat asalnya tumbuh tegak dan kuat. Maknanya ialah agar benih padi tersebut akan tumbuh tegak dan kuat seperti halnya pohon pinang.
c.       On kunyet (daun kunyit), sifat asalnya tahan dari penyakit. Warnanya kuning dan buahnya bersih, maknanya ialah agar benih padi tersebut tahan dari segala serangan penyakit dan tumbuh subur seperti kunyit.
d.      On nilam (daun nilam), sifat asalnya apabila dibuat minyaknya harum sehingga orang banyak yang senang. Maknanya ialah agar padi tersebut memiliki bentuk daun nilam, buah padinya tumbuh subur.
e.       On birah (daun keladi), daunnya yang berwarna hijau dan tahan hujan, maknanya agar benih padi yang akan ditanam menjadi seperti daun keladi tersebut dan tahan dari gangguan hama.
f.       On naleueng sambo (daun rumput panjang), sifatnya kokoh dan teguh, akarnya kuat, sehingga tahan dari segala penyakit. Maknanya agar benih padi tersebut memiliki daya tahan dari gangguan serangan penyakit.
g.      Sira (garam). Sifat sira adalah asin dan dapat menghancurkan bibit penyakit. Maknanya adalah agar benih padi yang disemai memiliki sifat seperti garam, yaitu dapat menghancurkan penyakit yang hinggap pada padi, sehingga tumbuh dengan subur.
h.      Saka (gula). Sifat saka adalah manis. Maknanya adalah agar padi yang akan disemai dapat memberikan manfaat bagi orang yang menyemainya.
i.        Boh kuyuen (jeruk nipis) ; minyeuk ata (minyak wangi) dicampurkan dengan air putih sehingga menjadi harum. Maknanya ialah benih padi itu diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir, memerlukan wangi-wangian. Orang-orang yang menciumnya akan merasa senang dan segar. Demikian juga halnya dengan benih padi yang diperlakukan seperti bayi, supaya tumbuh subur dan banyak orang yang senang melihatnya.
j.        Asap keumeunyan (kemenyan), dibakar ketika padi menjelang direndam. Maknanya adalah agar padi dapat hidup dengan leluasa dan sempurna serta cepat berbuah.

3.      Peusijuk Tempat Tinggai

Setiap orang yang mendiami rumah baru, kebiasaannya dilakukan upacara peusijuek. Pelaksanaannya oleh beberapa orang terdiri dari tiga, lima orang dan seterusnya dalam jumlah ganjil. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil berkah agar yang tinggal di tempat ini mendapat ridha Allah mudah rezeki dan selalu dalam keadaan sehat wal'afiat. Pada upacara ini alat-alat yang digunakan adalah ; dalong, bu leukat, tumpo / u mirah, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo (ketiga yang terakhir di ikat menjadi satu), glok dan sangee.

4.      Peusijuk Peudong Rumoh

Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, kegiatan membangun rumah selalu dipilih pada hari baik. Demikian juga dalam memilih bahan-bahan rumah yang dianggap baik. Selanjutnya, membangun rumah atau sering disebut peudong rumoh diawali dengan upacara peusijuek. Yang di peusijuek biasanya adalah tameh (tiang) raja, dan tameh putroe serta tukang yang mengerjakannya (utoh) agar ia diberkati oleh Allah SWT. Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara peusijuek ini adalah : dalong, bu leukat, breueh pade, teupong taweue, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, ija puteh dan ija mirah, glok dan sangge.

5.      Peusijuk Keurubeuen

Bagi orang Islam yang mampu, sering memberikan kurban pada hari raya sesuai dengan hukum agama. Seekor hewan kecil (kambing atau domba) cukup untuk korban bagi seorang, sedangkan tujuh orang secara bersama-sama memberi korban seekor hewan besar (sapi). Perangkat yang digunakan dalam upacara peusijuek ini adalah sebagai berikut : dalong, boh manok meuntah, teupong taweue, breueh pade, on sisijuek, on manek manoe, naleueng sambo, minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu (lipstik), boh kayee (buah-buahan), tirai peunahan matahari, dan ija puteh (kain putih). Semua bahan, termasuk alat-alat adalah untuk merapikan tubuh domba oleh penyembelih (jagal) dipakai menurut kegunaannya masing-masing.

Menurut keyakinan masyarakat Aceh, bahan-bahan tambahan yang dipersiapkan untuk peusijuek tersebut seperti minyeuk ata, suereuma, baja, ceureuemen, sugot, sikin cuko, gincu, boh kayee, tirai peunahan matahari, dan ija puteh. Mempunyai makna dan fungsi di hari akhirat kelak. Di mana hewan yang diperuntukkan untuk korban tadi nantinya akan menjadi kenderaan di hari akhirat kelak dan fungsi dari bahan-bahan tersebut sebagai hiasan kenderaan.

6.      Peusijuk Kendaraan

Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan peusijuek. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan. Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang.

C.    Perlengkapan Upacara Peusijuek 

            Adapun perlengkapan pada acara Peusijuek sebagai berikut:

1.      Dalong

Pada masyarakat Aceh, dalong mengandung makna bahwa mempelai yang dilepaskan akan tetap masih bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkannya. Karena dalong merupakan satu wadah yang diisi dengan bermacam-macam alat peusijuek sehingga dianggap memiliki kebersamaan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan.

2.      Bu Leukat

Warnanya kuning ataupun putih. Makna dari ketan ini adalah mengandung zat perekat, sehingga jiwa raga yang di peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok masyarakatnya. Warna kuning dari ketan merupakan lambang kejayaan dan kemakmuran, sedangkan warna putih melambangkan suci dan bersih. Maksudnya supaya yang di peusijuek dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain dan yang di peusijuek dalam ketentraman menuju jalan yang benar.

3.      U mirah

Makna dari U mirah adalah sebagai pelengkap dalam kehidupan dan memberikan perpaduan yang manis.

4.      Breueh pade

Maknanya adalah sifat padi itu semakin berisi makin merunduk, maka diharapkan bagi yang di peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan dan peranan beras ialah sebagai makanan pokok masyarakat.

5.      Teupong Taweue ngon ie

Makna dari pada teupong taweue dan air adalah untuk mendinginkan dan membersihkan yang di peusijuek supaya tidak akan terjadi hal-hal yang di larang oleh agama melainkan mengikuti apa yang telah ditunjukkan yang benar oleh agama.

6.      On sisikuek, manek manoe dan naleueng sambo

Ketiga jenis perangkat ini di ikat dengan kokoh menjadi satu, yang peranannya sebagai alat untuk memercikkan air tepung tawar. Makna tali pengikat dari semua perangkat tersebut untuk mempersatukan yang di peusijuek sehingga dapat bersahabat dengan siapapun dan selalu terjalin hubungan yang harmonis dan terbina. Sedangkan dari masing-masing perangkat dedaunan merupakan obat penawar dalam menjalankan bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan dengan bermusyawarah dan berkepala dingin, bertanggung jawab dengan sepenuhnya dan dapat menjalin hubungan yang erat dengan siapapun.

7.      Glok

Peranannya sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang sudah dicampur dengan air dan yang satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi beras dan padi. Maknanya adalah jika yang di peusijuek tersebut melakukan aktivitas sebaiknya hasil yang didapatkan disimpan dengan sebaik-baiknya.

8.      Sangee

Berperan untuk menutup perlengkapan alat-alat tepung tawar. Maknanya untuk mengharap perlindungan supaya yang di peusijuek mendapat lindungan dari Allah SWT
.
D.    Peusijuek Saat Ini

Pasca gempa dan tsunami banyak adat Aceh yang terlupakan, budaya luar begitu cepat merambat ke pelosok desa. Hal ini terlihat jelas dari pergaulan kehidupan sehari-hari masyarakat. Belum lagi dengan kehidupan kota yang memang sudah memudar akan pelaksanan adat. Namun pada saat ini di Nanggroe Aceh Darussalam, adat istiadat dalam bentuk upacara Peusijuek tetap masih terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Meskipun ada beberapa pelaksanaan peusijuek yang sudah tidak dipakai lagi khususnya pada masyarakat perkotaan. Seperti di kota peusijuek meulangga (perselisihan) sudah tidak ada lagi karena semua urusan perselisihan akan diselesaikan oleh aparatur hukum lain dengan peusijuek pade bijeh (tanam padi) di mana kota sudah tidak ada lagi lahan untuk menanam padi. Lain lagi dengan peusijuek peudong rumoh (membangun rumah) salah satu yang terlupakan, mengingat Aceh dilanda gempa dan tsunami sehingga setiap pembangunan rumah bantuan tidak ada lagi prosesi upacara peusijuek.

Dan yang terakhir peusijuek keurubeuen di mana adanya penerapan sistem kurban yang pelaksanaan, penyembelihan dan pembagian daging diserahkan pada panitia dan kadang-kadang pemilih tidak hadir pada saat itu sehingga adat upacara peusijuek ditinggalkan.

3.4       Upacara Peucicap
Masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri dalam memperlakukan anak yang baru lahir. Adat peucicap dan peutron bak tanoh salah satunya. Adat peucicap ini biasanya dilakukan pada hari ketujuh bayi lahir, yang disertai dengan cuko ok (cukur rambut) dan pemberian nama terhadap si bayi. Acara peucicap dilakukan dengan cara mengoles madu pada bibir bayi disertai dengan doa dan pengharapan dengan kata-kata agar si bayi kelak tumbuh menjadi anak yang saleh, berbakti kepada kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa.

Selama 44 hari sejak lahir, ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan. Ia harus tetap berada di kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum yang banyak, nasi yang dimakan juga tanpa gulai dan lauk pauk. Begitu juga dengan makanan yang peda-pedas sangat dilarang. Selama pantangan tersebut ibu bayi selalu dihangatkan dengan bara api yang terus menerus di samping atau dibawah ranjang tidurnya. Masa pantangan inu disebut madeung.

Untuk menjaga badan dan perut si ibu yang baru melahirkan tidak melar dan agar tetap langsing, dilakukan cara tradisonal yakni dengan toet bateei (memanasi batu). Batu dibakar lalu di balut dengan kain dan diletakkan di perut wanita yang baru melahirkan. Rasa hangat atau panas dari batu tersebut akan membakar lemak sehingga tubuh wanita yang baru melahirkan tersebut setelah menjalani masa pantangan akan tetap langsing.

Setelah masa madeung selesai, ibu bayi akan dimandikan oleh bidan yang merawatnya dengan air yang dicampur irisan boh kruet (limau perut). Acara mandi ini disebut manoe peut ploh peut, yang bermakna mandi setelah 44 hari menjalani masa madeueng. Pada hari ini mertuanya akan datang membawakan nasi pulut kuning, ayam panggang, dan bahan-bahan untuk peusijuek ro darah (keluar darah) menantunya pada saat melahirkan.

Setelah upacara itu selesai, kepada bidan yang merawat ibu hamil tersebut diberikan hadiah berupa: pakaian satu salin, uang ala kadar, uang penebus cincin suasa, beras dua bambu, padi dua bambu, pulut kuning, ayam panggang, dan seekor ayam hidup. Setelah itu selesaikan kewajiban bidan dan tanggung jawab terhadap ibu hamil tersebut.

Setelah masa 44 hari ibunya menjalani madeueng, bayi akan diturunkan untuk menginjang tanah pertama kalinya. Prosesi adat ini disebut peutron bak tanoh. Ada juga yang melakukannya dengan mengadakan pesta besar-besaran untuk, apalagi pada kelahiran anak pertama.

Pada upacara adat ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai maupun budi pekertinya. Orang yang mengendongnya memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu bayi diturunkan dari tangga dipayungi dengan selembar kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi menjadi pemberani. Suara saat batok kelapa dibelah ditamsilkan sebagai suara petir, si bayi nantinya tidak takut terhadap petir dan berbagai tantangan hidup lainnya. Ia akan menjadi seorang anak yang ceubeh dan beuhe (gagah berani).

Belahan kelapada tadi sebelah akan dilemparkan ke arah para wali si bayi, sebelah lagi kepada karong. Wali merupakan saudara dari pihak ayah si bayi, sedangkan karong saudara dari pihak ibu. Setelah itu salah seorang anggota keluarga bergegas menyapu halaman dan yang lain menampi beras bila bayi yang diturunkan ke tanah perempuan.

Sedangkan bila bayi laki-laki, keluarga tadi akan mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Perlakuan ini sebagai maksud agar si bayi kelak menjadi anak yang rajin dan giat berusaha. Setelah itu bayi akan di jejakkan ke tanah, kakinya menyentuh tanah untuk pertama kali, lalu digendong dibawa berkeliling rumah atau mesjid. Setelah itu baru dibawa pulang kembali ke rumah.

3.5       Kenduri Blang
Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya. Diawali dari keinginan mengangkat adat budaya kenduri turun ke sawah yang secara turun temurun dilakukan, kenduri blang di Aceh Tamiang masih dilaksanakan hingga sekarang. Adat turun ke sawah ini merupakan tradisi bagi petani yang akan memulai menanam padi.

Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang. Tulisan ini memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang. Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di Kampong Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.

Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri oleh kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus atau bu kulah.

Dalam tatacaranya, penyembelihan ayam tersebut harus di sawah. Menurut keyakinan masyarakat di sana, hal itu dilakukan sebagai isyarat darah ayam agar petani selamat dari alat-alat yang tajam seperti cangkul, tajak, babat, dan lain sebagainya. Dalam kenduri blang itu juga dilakukan baca yaasin sekali tamat dan doa semoga tanaman padi tahun ini berkat hingga dapat dizakatkan.

Usai pembacaan yaasin dan doa bersama, dilakukan tepung tawar pada bibit dan alat-alat tani. Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan sebagai peusijuek antara lain (1) berteh (padi yang digongseng hingga mengembang) digunakan supaya ringan padi keluar, (2) sebutir telur ayam kampong, ini dipercaya sebagai kepala obat, (3) seikat daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.

Jika padi sudah tumbuh dara, petani berkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun, sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah bunting (mulai berisi), biasanya juga diadakanlah kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan doa.

Menurut kisah orang-orang kampung di sini, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam makanan asam-asam. Maka rujak jadi pilihan.

Jika dilihat sekarang, hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu ditancapkan di tengah-tengan sawah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan lain sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat, bau daun-daun tersebut menyengat sehingga ulat, tikus, dan hama lainnya tidak berani mendekat.

Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat, hari Rabu Terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Selain itu, di sawah juga dilarang berbicara takabur.

Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain: pertama, mengetahui berapa banyak kelompok penanam padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua, mengadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga mengadakan peraturan pantangan-pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani tetap menjaga pantangan-pantangan secara kebersamaan. Keempat, mengadakan peraturan pananaman, hal ini dilakukan untuk menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menanam padinya. Apabila ada salah satu petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan ketinggalan panen, yang mengakibatkan padinya akan terserang hama lebih mudah.
Tata cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani adalah jika telah sampai waktu panen, pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik. Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang ke rumah untuk diselipkan di atas atap. Setelah itu, baru padi dipanen semua. Jika hasil mencapai 100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan sebanyak 10 kaleng. Zakat itu dibagikan kepada fakir miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tempat tinggal si petani.

A.    Menjelang Turun ke Sawah

Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.

Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi. 

Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada. Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing. 

Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah. Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga. 

Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi. Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka. 

Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum penanaman. Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani. Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.

Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses, mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan zakat bahkan hingga menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan terbawa pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.

B.     Masa Padi Berbuah

Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan. Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.

Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.

Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan si empunya hajatan.

Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat. 

Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.

C.    Sesudah Masa Menuai

Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dapat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar dan membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.

Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini. Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.

Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya. 

Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.

Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.

3.6       Upacara Membangun Rumah
Upacara adat adalah sejenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun yang telah menjadi kebiasaan mereka. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam. Sebab di samping diadakannya do’a-do’a sesuai menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap keramat.

Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah adat telah siap untuk dihuni atau ditempati.

A.    Upacara Pengambilan Bahan dari Hutan

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh seperti tiang dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut. Dalam rangka pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong dengan mengundang sanak famili beserta masyarakat. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti sapi, kerbau, kambing dan sekurqang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut. Di samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak lain adalah untuk lebih semaraknya acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.

Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang berada di darat maupun yang berada di laut terdapat semacam makhluk halus (roh-roh) yang menjaga atau menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada di hutan. Untuk memasuki hutan dan mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara untuk memperoleh keizinan penguasa hutan tersebut adalah dengan cara menyembelih hewan korban.

Pertama kali kayu yang akan diangkut disatukan terlebih dulu kemudian diikat dengan rotan guna ditarik beramai-ramai. Untuk mempermudah penarikannya diberi landasan berupa kayu bulat sebanyak 2, 3 atau lebih. Setiap kayu landasan dipegang oleh seorang, apabila kayu yang pertama telah lewat ditarik, maka kayu yang tertinggal tadi diambil dan diletakkan kembali di depan kayu yang sedang ditarik itu. Apabila salah satu kayu landasan itu sangkut, maka pemukulan canang yang dilakukan oleh wanita-wanita tadi harus diperkuat dan dipercepat serta sorakan anak-anak menjadi lebih bergemuruh. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar makhluk halus yang mungkin telah mencoba menghalangi pengangkutan kayu itu menjadi takut dan lari. Selain itu, pemukulan canang dan sorakan itu juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada para penarik, dan juga agar mereka merasa malu jika bagian landasan yang dipegangnya sering tersangkut.

Jumlah rotan (tali pengikat) biasanya bersesuaian dengan jumlah belah 4 (kampung) yang hadir, sebab setiap belah memegang sebuah rotan pengikat. Jika jumlah belah yang hadir lebih banyak, maka kayu-kayu tersebut dapat ditarik sampai dua atau tiga kayu sekaligus. Dalam hal ini tidak dibenarkan menempati tali rotan yang telah dipegang oleh orang lain, karena hal tersebut bisa menimbulkan bentrokan antar belah (kampung). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang raja (reje) yang mengepalai belah secara keseluruhan.

Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie, penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan kayu untuk bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula surutnya.

B.     Upacara pada Saat Mendirikan Rumah

Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pendirian rumoh Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama dengan mengundang para ahli famili terdekat, karib kerabat beserta masyarakat sekitarnya. Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk. Imam Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baik dan diharapkan dapat membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi para penghuninya.

Setelah selesai acara makan bersama dan pembacaan do’a, barulah orang yang hendak mendirikan rumah tersdebut menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para undangan yang hadir. Kemudian segala persoalan selanjutnya yang menyangkut tentang hari pelaksanaan mendirikan rumah itu diserahkan kepada Kepala Desa atau “Keuchik” untuk menentukannya.

Dalam upacara mendirikan rumoh Aceh, ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama upacara “Tanom Kurah” dan yang kedua upacara “Peusijuk”.
Upacara “Tanom Kurah” adalah sejenis upacara yang kalau sekarang disebut upacara “peletakan batu pertama”. Disebut upacara “Tanom Kurah”, karena dalam upacara ini dilakukan penanaman kurah persis di tengah-tengah tempat di mana rumah akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan pada malam hari, tepat pada pukul 24.00 WIB. Hal ini menurut kepercayaan orang Aceh dapat membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuni rumah itu, terutama sekali menyangkut tentang kenyamanan tidur pada malam hari.

Sedangkan upacara “Peusijuk” dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah sendiri atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah dipersiapkan sebelumnya di tempat itu.

Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk) disebut juga “Daun Sidingin”, yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung” yang dinamakan “Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yuang diisi air secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.

Penepung tawaran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian akar dari alat-alat yang telah diikat menjadi satu tadi ke dalam air itu, kemudian memercikkannya ke sekeliling tempat lokasi di mana rumah itu akan dibangun. Penyiraman dilakukan mulai dari “Pancang Kurah” tadi terus berputar ke kanan sampai seluruh lokasi itu terkena siraman (percikan) air. Setelah selesai penepung tawaran, maka “On Sineujuk” (daun sidingin), “Naleung Sambo” beserta anak pohon pisang tadi ditanam sekalian di bagian paling pinggir sebelah utara dari rumah itu.

Tujuan upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu sejuk dan nyaman. Upacara ini biasanya dilaksankan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tinggi. Ini melambangkan suatu kepercayaan bahwa waktu pagi itu sangat baik untuk mendatangkan rezeki bagi penghuni rumah tersebut.

Selanjutnya, pada tiang Putri atau “Tameh Putro” ditanam sebuah periuk tanah (Kanot Tanoh). Periuk tanah ini di beberapa daerah di Aceh pada zaman dahulu sering diisi dengan emas seberat ½ sampai 1 mayam beserta perak, ini terutama sekali berlaku di daerah Linge atau (Lingga), yaitu suatu daerah yang terletak di perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Tengah. Akan tetapi belakangan ini hal tersebut sudah jarang bahkan tidak ada lagi dilakukan oleh masyarakat Aceh. Sekarang yang masih banyak dilakukan hanya penanaman “Kanot Tanoh” itu saja dan diisi dengan kunyit dan padi atau beras secukupnya. Penanaman “kanot tanoh” ini bertujuan agar kehidupan penghuni rumah tersebut selallu berada dalam berkecukupan, terutama dalam hal terpenuhinya kebutuhan pokok (primer).

Setelah semua upacara “Peusijuk” itu selesai, barulah dimulai mendirikan tiang-tiang yang sebelumnya telah dirangkai sesuai menurut posisi dan letaknya masing-masing. Untuk mempermudah mendirikan tiang-tiang tersebut dipancangkan kayu sejajar dengan tiang yang akan dinaikkan itu. Pada bagian atas pancang itu diikatkan sepotong kayu bulat dengan posisi membujur (horizontal) gunak meletakkan tali (rotan) penarik tiang. Jadi fungsi kayu yang dipancang dan kayu bulat yang membujur di atasnya adalah sebagai alat penggerak guna mempermudah mendirikan tiang-tiang rumah itu.

“Raja” tetap berada di atas untuk memimpin dan mengarahkan anggota penarik selama tiang-tiang yang lain belum selesai semuanya dinaikkan. Setelah berhasil tiang dinaikkan barulah dipasang “pasak” atau (baji) atau “Ruk”, “Lheu”, “Gase”. Kemudian barulah “Raja” turun ke bawah. Dengan turunnya “Raja” berarti upacara pendirian rumah itu dianggap telah selesai. Untuk pembangunan selanjutnya diserahkan kepada tukang atau kepada keluarga yang akan menduduki rumah tersebut.

C.    Upacara Adat Ketika Menempati Rumah Baru

Setelah bangunan rumah selesai, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksankan oleh pemilik rumah, yaitu: “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri E’ Rumoh Baro” atau (upacara menempati rumah baru).

Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan oleh si pemilik rumah. Upacara ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan terimakasih si pemilik rumah kepada tukang yang telah mengerjakan rumahnya dengan baik hingga siap untuk ditempati. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan secara simbolis dalam bentuk penyerahan seperangkat pakaian seperti baju, celana, kain sarung dan kopiah beserta hidangan makanan ala kadarnya kepadanya.

Dalam upacara ini biasanya diselesaikan juga segala hal ihwal yang menyangkut tentang perongkosan dalam pembuatan rumah tersebut. Zaman dulu ongkos membuat rumah biasanya dibayar dalam bentuk padi, namun sekarang sistem pembayaran ini umumnya telah memakai uang. Jadi upacara ini selain mengandung arti ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, juga merupakan semacam acara serah terima perongkosan, baik serah terima perongkosan dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, maupun serah terima bangunan dari tukang atau “Utoh” kepada si pemilik rumah.

Sedangkan “Upacara Kenduri E’Rumah Baro” adalah semacam upacara syukuran yang diselenggarakan si pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah selesai shalat magrib di rumah baru yang hendak ditempati itu. Dalam upacara kenduri ini diundang semua pihak yang dianggap telah ikut berjasa dalam membuat rumah tersebut, seperti “Utoh” (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa), Teungku Imam baik Imam Meunasah maupun Imam Mesjid beserta seluruh kerabat, ahli famili beserta seluruh masyarakat. Tata cara yang dilaksanakan dalam upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya, yaitu didahului dengan acara makan bersama, kemudian baru dilakukan dengan ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan rumah tersebut. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Teungku Imam.

Penutup
4.1       Kesimpulan
Sejauh apa yang telah dibahas dalam makalah ini tentang Pengaruh Kebudayaan Hindu dan Budha di Aceh ini dapat kita tarik kesimpulan adalah bahwa bagaimanapun perlu disadari dan dicatat bahwa lama sebelum orang Hindu datang, orang Indonesia dimanapun mereka berada dikepulauan Nusantara ini sudah memiliki kebudayaan sendiri yang tidak dapat dikatakan masih rendah walaupun tidak hendak disebut sudah bertaraf tinggi. Yaitu orang Indonesia sudah berkebudayaan dan berperadaban sebelum orang Hindu datang, baik berupa kepercayaan roh terhadap nenek moyang maupun hal lain.
Masa mulainya berlaku pengaruh Hindu di Indonesia belum juga dapat dikatakan dengan tepat. Apa yang dapat dipastikan tentang telah masuknya unsur Hindu, ialah masa sesudah mencapai abad ke 4 Masehi. Masuknya pengaruh India ke Indonesia diketahui sejak abad ke-4 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tulisan (prasasti) di Kalimantan Timur. Prasasti-prasasti itu ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Dengan ditemukannya prasasti atau tulisan yang berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa, maka berakhirlah masa Prasejarah Indonesia.
Sebagaimana pulau Jawa, Sumatera walaupun sedikit mengalami juga pengaruh Hindu, akan tetapi pengaruh itu selalu ditekan oleh pengaruh Islam, yang banyak berdagang di pasar-pasar; mereka dalam kepercayaan Islam yang senantiasa bertentangan dengan kepercayaan orang Hindu.
Pengaruh Hindu di Aceh telah terjadi semenjak zaman purbakala seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh. Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam, masih dipengaruhi oleh tradisi Hindu. Hal ini disebakan, sebelum Islam masuk, Hindu telah berkembang di Aceh. Setelah Islam masuk, unsur-unsur Hindu dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.

Tentang Hindu di Aceh, seperti yang pernah diungkapkan oleh sejarawan Belanda J.C Van Luer, mengatakan bahwa sejarah dan budaya Aceh sebelum kedatangan Islam dan Bangsa Barat telah terisi dengan landasan Hindu-Sentris. Walau Islam telah kuat, sebahagian tradisi dan cara hidup Hindu ada yang terus melekat pada Rakyat Aceh. Bahkan tradisi yang bersifat positif terus dipertahankan, seperti tradisi hidup bergotong royong dan berbagai tradisi lainnya yang kemudian unsur hidupnya diganti secara bertahap dengan syariat Islam.

Tradisi-tradisi Hindu yang telah di Islamkan tersebut masih ada sampai sekarang, seperti pada acara khanduri laet (kenduri laut) yang dilakukan oleh para nelayan. Dulu pada acara khenduri laut ini, darah kerbau itu ditampung, asoe dalam (organ dalam) kerbau tersebut beserta kepala, dibungkus kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.

Acara kenduri laut ini masih bertahan sampai sekarang, tetapi seiring dengan masuknya Islam, pemberi sesajen untuk penghuni laut dihilangkan, upacara pembuatan sesajennya diganti dengan kenduri dan doa bersama. Daging sapi atau kerbau yang disembelih tersebut dimakan bersama anak yatim dan fakir miskin agar hajatan yang dilakukan tersebut mendapat berkah.

Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka (pintu air) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.

Selain itu peusijuek (tepung tawar) barang-barang berharga yang baru dibeli seperti kereta dan mobil, dengan menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar rumput tersebut yang telah diikat, air dipercikkan ke barang yang ditepung tawarkan. Acara peusoen atau peusijeuk orang yang baru sembuh dari sakit atau pulang dari bepergian jauh juga merupakan sisa-sisa tradisi Hindu.
Begitu juga acara belah kelapa pada saat peutreun aneuk miet (membawa keluar rumah bayi pertama kali) juag merupakan tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakain Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang. Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan budaya Hindu.

Sebelum Islam masuk ke Aceh, di Aceh telah berkembang kota-kota kerajan Hindu seperti : Kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M. Kerajan Sahe sering juga di sebut Sanghela di kawasan Ulei Gle dan Meureudu, kerajan ini terbentuk dan dibawa oleh pendatang dari pulau Ceylon. Kerajaan Indrapuri di Indrapuri. Kerajaan Indrapatra di Ladong. Kerajaan Indrapurwa di Lampageu, Kuala pancu. Semua kota-kota Hindu tersebut setelah Islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong.

4.2       Saran
Agar mengetahui sejarah atau tentang pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha di Aceh, kita harus mempelajari sejarah dan budaya Aceh atau menulusuri barang-barang peninggalan dan situs sejarah yang masih ada maupun meninjau langsung pengaruh Hindu dan Budha dalama budaya Aceh. Dengan kita meninjau dan mempelajarinya, kita akan mengetahui informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan sejarah pengaruh Kebudayaan Hindu dan Budha di Aceh. Baik secara formal, informal, maupun nonformal.

4.3       Daftar Pustaka
Yulianti, S.Pd. 1700 Bank Soal Sejarah Indonesia Dan Dunia. Bandung: Penerbitan Yrama Widya, 2007 – Bandung – Indonesia.
H. Mohammad Said. Aceh Sepanjang Abad Jilid I. Medan: P.T. Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981 – Medan – Indonesia.
H. M. Zainuddin. Tarich Atjeh Dan Nusantara Jilid I. Medan: Penerbitan Pustaka Iskandar Muda Medan Dj. Amaliun 14 A, 1961 – Medan – Indonesia.

http://plik-u.com/?p=805
http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/agung_hb43_klaot.rar
http://gerbangaceh.blogspot.com/2007/12peusijuek-antara-ada-dan-terlupakan.html
htpp://acehpedia.org/Kenduri_Blang

Penulis adalah Mahasiswa FKIP Sejarah Universitas Syiah Kulah-Darussalam

1 komentar: