Sejak
meletusnya Perang Belanda di Aceh dari tahun 1873 sampai 1942 , perang dapat
dibagi dalam empat periodisasi atau kurun waktu. Periode pertama 1873-1874,
periode kedua 1874-1880, kemudian periode ketiga 1884-1896, selanjutnya periode
terakhir 1896-1942. Pada periode terakhir ini Belanda tidak lagi menerapkan
benteng stelsel namun sudah menerapkan sistem antigerilya di mana gerilya
dibalas dengan gerilya dengan membentuk suatu pasukan khusus yang bernama Het
Korps Marechausse atau Marsose. Pasukan inilah yang ditugaskan untuk mengejar pada
gerilyawan Aceh yang juga sudah mulai menerapkan sistem gerilya setelah banyak
sekali korban jatuh dalam perang kolosal.
Namun meskipun begitu, gerilyawan Aceh tidak pernah berhenti menyerang bivak/camp pasukan Belanda di seluruh wilayah pedalaman dan pesisiran Aceh. Pada masa-masa terakhir ini pasukan Belanda berkonsentrasi di wilayah Dataran Tinggi Gayo, Alas dan Pesisir Barat Aceh, di mana daerah ini merupakan daerah terakhir yang menjadi pusat konsentrasi pasukan Belanda dalam menuntaskan perlawanan rakyat Aceh.
Bakongan
sebelumnya merupakan daerah yang dianggap aman dan damai. Namun sejak tahun
1905, wilayah Bakongan telah menjadi kubu perlawanan yang dinamakan Rambong
Seuneubok Keuranji. Perlawanan terhadap Belanda ini merupakan lanjutan Perang Belanda
di Aceh pada masa-masa sebelumnya. Serdadu Belanda yang ditugaskan ke wilayah
Bakongan sangat ketakutan karena merasa kecil kemungkinan dapat lolos dari
medan pertempuran di sana.
Teuku Raja
Angkasah ikut serta dalam peperangan Rambong Seuneubok Keuranji. Ketika
pertempuran pada tahun 1905, di mana pasukan marsose dipimpin oleh Letnan
Donner dan Sersan Wongsokaridjo mengalami kekalahan. Pada malam tanggal 12
Agustus 1905, di kampung Rambong Seubadeh, Bakongan, pasukan Letnan Donner
diserbu oleh para gerilyawan Aceh. Akibat serangan ini Letnan Donner dan Sersan
Wongsokaridjo tewas dicincang oleh para pejuang Aceh. Selain itu 39 pasukan
marsose lainnya juga tewas dalam serangan itu.
Beberapa
tahun kemudian, pasukan gerilyawan Aceh yang dipimpin Teuku Raja Angkasah
kembali terlibat pertempuran dengan pasukan marsose di dalam Hutan Rambong di
dekat Gampong Drien. Pada tengah malam tanggal 23 Oktober 1925 pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Letnan J. Wiarda diserbu oleh pasukan Teuku Raja Angkasah.
Pasukan marsose tersebut diserang hingga tercerai-berai dengan pasukannya,
akibatnya 2 orang tewas dan 3 orang terluka parah dan 7 orang luka ringan.
Pasukan Teuku Raja Angkasah dapat membawa 4 senjata jenis karaben dari pasukan
Belanda yang dikalahkan tersebut. Akibat peristiwa itu, pasukan marsose Belanda terus mengejar Teuku Raja
Angkasah. Pada tanggal 10 November 1925 dalam pertempuran Seunebok Keuranji
beliau gugur tertembak oleh pasukan Belanda, pimpinan Letnan W.A.M. Molenar.
Beliau dimakamkan di pedalaman hutan Seuneubok Keuranji, Buket Gadeng,
Bakongan, Aceh Selatan.
Sumber:
M.H. Thamrin, Aceh Melawan Penjajahan Belanda,
(Jakarta: Global Mahardika Utama konsinyasi dengan CV. Wahana), 2004.
Zakaria Ahmad, et.all., Sejarah Perlawanan Aceh
Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, (Banda Aceh: Yayasan PeNA), 2008.
Zengraaf.H.C., Aceh, (Jakarta: Beuna), 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar