Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi diwilayah Barat Daya yang
dipimpin oleh Tengku Peukan Manggeng, Haji Yahya dan Sidi Rajab. Dalam suatu
musyawarah yang diselenggarakan di Paya Dapu wilayah Kluet, ditetapkan Tengku
Peukan Manggeng sebagai panglima perang dan penyerangan lebih dahulu dilakukan
pada malam hari di tangsi (asrama) Blangpidie pada akhir tahun 1926. Tengku
Peukan tergolong seorang ulama yang kharismatik dan berpengaruh di Manggeng dan
sekitarnya, orang tua beliau juga merupakan seorang ulama yang berpengaruh di
daerah itu. Tengku Peukan merupakan putera dari seorang ulama yang bernama
Tengku Padang Ganting dan Siti Zalekha yang dilahirkan pada tahun 1886 di desa
Alu Paku kecamatan Sawang Aceh Selatan. Sebagai seorang ulama dan tokoh
masyarakat yang berpengaruh, Tengku Peukan semakin membahayakan posisi Belanda
di Blangpidie. Dakwah Tengku Peukan selalu dimata-matai oleh kaki tangan
Belanda. Tengku Peukan sering merekrut para pengikut melalui media dakwah.
Dalam dakwahnya Tengku Peukan selalu memaparkan bahwa membela dan
mempertahankan tanah air adalah ibadah, jika meninggal dalam peperangan sabil
melawan kafir (kaphe) Belanda maka akan mendapatkan surga sebagai imbalannya.
Tengku Peukan juga mengajak rakyat untuk menentang setiap penjajahan dan
membenci setiap perampasan hak azasi manusia.
Belanda semakin mencurigai aktifitas dakwah Tengku Peukan. Sehingga
Belanda memboikot dakwah beliau. Pemboikotan ini membuat Tengku Peukan
tersinggung dan marah, ditambah lagi kaki tangan Belanda mencari-cari kesalahan
Tengku Peukan dengan bermacam cara dan strategi. Belanda membuat siasat baru
dengan memerintahkan petugasnya menagih uang blesting atau pajak tanah yang
sudah 3 tahun dibebaskan oleh ulebalang Manggeng. Belanda terus mendesak agar
pajak tersebut dilunasi terus dalam waktu singkat. Tetapi Tengku Peukan tetap
bersikeras tidak membayar dan tidak akan tunduk kepada Belanda.
Karena pembangkangan ini Belanda mendapatkan alasan untuk menangkap
Tengku Peukan, tetapi Tengku Peukan telah lebih dulu menghimpun kekuatan
pasukan untuk menyerbu bivak atau tangsi Belanda di Blangpidie, yang jaraknya
sekitar 20 kilo meter dari Manggeng. Pada tanggal 9 September 1926 malam Kamis,
Tengku Peukan mengumpulkan ratusan pengikutnya dengan ciri khas berpakaian
hitam, mereka menuju ke Blangpidie melalui jalan umum. Sebelum menyerang,
Tengku Peukan dan seluruh pasukannya mengumandangkan takbir lebih dahulu untuk
meneguhkan keimanan mereka.
Menjelang Shubuh tanggal 10 September 1926 Tengku Peukan dan pasukannya
tiba di Blangpidie, beliau lebih dulu singgah di rumah seorang ulama Blangpidie
yang bernama Tengku Di Lhoeng di Geulumpang Payong. Selanjutnya dirumah Tengku
Di Lhoeng, Tengku Peukan dan pasukannya beristirahat guna mengatur siasat dan
strategi penyerangan dengan membagi 7 panglima pemimpin pasukan. Tengku Peukan
juga meminta pendapat dari Tengku Di Lhoeng. Sehingga diputuskan penyerangan
dimulai sebelum azan shubuh, Tengku Di Lhoeng juga berwasiat kepada pasukan
Tengku Peukan agar tidak gegabah dan bersuara saat melakukan penyerangan.
Setelah tanda penyerbuan dibunyikan, Tengku Peukan bersama pasukannya serentak
menyerang tangsi saat tentara Belanda masih tidur nyenyak. Sehingga banyak tentara
Belanda yang tewas, tangsi Belanda kala itu benar-benar banjir darah dan
puluhan mayat serdadu Belanda pun bergelimpangan. Tengku Peukan kemudian
mengumandangkan azan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, karena berhasil
menumpas serdadu Belanda. Pada saat mengumandangkan azan itulah Tengku Peukan
gugur sebagai syuhada setelah ditembak oleh seorang serdadu Belanda yang masih
hidup. Dalam pertempuran tersebut turut syahid pula putera Tengku Peukan yang
masih belia yang bernama Muhammad Kasim. Sedangkan dari pihak serdadu Belanda
hanya 3 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Jenazah Tengku Peukan
selanjutnya dimakamkan di dekat tangsi Belanda (didepan mesjid jamik Blangpidie
sekarang), tanpa dimandikan lebih dulu sebagai mana hal yang berlaku terhadap
seorang yang mati syahid.
Setelah pertempuran itu, para pejuang untuk sementara mengembara di
wilayah Lama Inong dan kemudian kembali ke Kluet. Di Alue Paku kembali terjadi
pertempuran sengit pejuang Aceh yang dipimpin Pang Paneuk dan Sidi Rajab
melawan serdadu Belanda, dalam pertempuran di Gunong Mata Ie wilayah Alue Paku,
Sidi Rajab gugur sebagai syuhada, jenazahnya kemudian dicincang oleh tentara
marsose Belanda dan tiga hari kemudian baru dikebumikan. Setelah pertempuran di
Alue Paku ini, kembali terjadi pertempuran di Alue Meuh pada malam hari.
Pasukan Belanda sengaja dijemput oleh Imum Sabi agar datang ke Alue Meuh.
Berkat kelihaian Imum Sabi, serdadu Belanda berhasil dijebak dan hanya satu
orang yang berhasil menyelamatkan diri melalui hilir krueng Inong sampai
kemuaranya. Pasukan marsose Belanda kembali datang dengan pasukan yang lebih
kuat lagi, sehingga beberapa kali terjadi pertempuran di Sibombong dan
menyebabkan gugurnya Haji Yahya sebagai syuhada.
Tengku Peukan, Haji Yahya dan Sidi Rajab telah gugur sebagai pahlawan
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tanpa mengharapkan imbalan apapun kecuali
ridha dari Allah SWT semata. Dan kelak darah yang ditumpahkan akan menjadi
saksi di hari pembalasan, bahwa betapa jihad fisabilillah sudah pernah dicetuskan
di daerah Barat Daya dan Aceh Selatan. Ketika syahid Tengku Peukan diperkirakan
berumur lebih kurang 40 tahun. Sampai sekarang makam beliau yang ada di depan
kompleks mesjid Jamik Blangpidie banyak dikunjungi oleh pejabat dan masyarakat.
Dan kuburan beliau akan menjadi kenangan dan saksi kehebatan perjuangan suci
pada tahun 1926.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar