Dari dokumen sejarah :
Oleh: T.A Sakti
Pendahuluan
SYIAH KUALA merupakan gelaran seorang Ulama Aceh.
“Syiah” dalam kalimat yang lain disebut juga “Syekh”. Syiah Kuala hidup dimasa
pemerintahan Sultan wanita, putri dari Sultan Iskandar Muda. Beliau ialah
Sulthanah Safiatuddin. Dimasa pemerintahannya, Aceh sedang menghadapi berbagai
masalah, terutama dalam bidang militer, politik dan agama.
Dalam bidang agama yaitu tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Sulthan Iskandar Tsani (suami Ratu Safiatuddin) dalam membasmi
ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani. Nama yang sebenarnya
dari Syiah Kuala (1620-1693) adalah Syekh Abdurrauf bin Ali Al Jawi Al
Singkily, Dalam Kitab ئمدة المنخاجين (Umdatul Munkhajiyin), huruf Jawi,
berbahasa Melayu karangan Syekh Abdurrauf. Dalam kitab tsb beliau menceritakan
tentang masa perantauannya di Timur Tengah. Syekh Abdurrauf telah belajar pada
26 orang ulama di Medinah. Ulama tersebut berasal dari berbagai kota di tanah
Arab. Selama itu beliau bertemu juga dengan 15 orang ahli sufi dalam jangka 19
tahun mengembara di sana. Naskah tua yang disalin kembali di mesjid GLE JAI
مسجد كلى جل pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Muhammad Syah (Sultan
Alaiddin Mahmud Syah?-pen) masih terdapat di perpustakaan penulis (1.
Kota di Timur Tengah yang pernah didiami Syiah Kuala
yaitu: Mekkah, Medinah, Jeddah, Zubeid, Mukha, Baitul Faqih. Diantara guru-guru
syekh Abdurrauf yang terkenal adalah Ahmad Qusyasyi yang merupakan pemimpian
tarikat Syatthariah di dunia Islam pada masa itu, juga berguru pada syech
Burhanuddin Mulla Ibrahim di Medinah. Pada tahun 1661 M beliau kembali ke Aceh.
Kebesaran dan keharuman Syekh Abdurrauf sebagai ulama bukan hanya dalam batas
kerajaan Aceh saja, tetapi merata keseluruh negeri-negeri Jawi (Indonesia,
Malaysia, Singapura, Pilipina, Patani-sekarang). Karena kemasyhuran yang
demikian yang menyelidiki kemasyhuran beliau AR-CHER dalam karyanya “Muhammadan
Mysticism in the Sumatera menulis” “Syaik Abdurrauf of Singkel the great Muslim
saint of Atjeh, now better known by the name of Teungku di Kuala” (2.
(Syekh Abdurrauf dari Singkil adalah tokoh (sarjana)
Muslim yang terhormat, yang sekarang lebih dikenal dengan julukan Teungku Di
Kuala). Dan masih banyak sarjana-sarjana Barat lainnya yang mengomentari
terhadap pribadi dari sang tokoh ini. Syekh Abdurrauf telah turut membenarkan
wanita diangkat menjadi seorang kepala Negara, yaitu Sulthanah Safiatuddin, hal
ini menandakan pandangan beliau tidak sempit, menurut ukuran zaman itu. Ratu
Safiatuddin memegang roda pemerintahan Aceh selama 34 tahun dan beliau
merupakan Sultan yang paling lama memerintah dari semua Sultan dalam kerajaan
Aceh. Pada hari Jum’at tgl 4 Sya’ban 1114 Hijriah, Syech Abdurrauf (Syiah
Kuala) berpulang kerahmatullah dan dimakamkan di tanah perkuburan di Kuala,
Banda Aceh sekarang.
Penuntun
Jalan Ke Syorga
Di masa Kerajaan Aceh sedang menikmati priode
kejayaannya, ilmu pengetahuan dan agama berkembang pesat. Berbagai macam aliran
dari agama Islam berkembang di sini. Hal ini disebabkan sifat keterbukaan dan
sikap tulak tarek (luwes) dari Sultan yang tengah memegang roda pemerintahan.
Masuknya bermacam aliran itu itu, hingga menyebabkan terdapatnya
aliran-aliran/sarjana-sarjana yang dianggap oleh sebagian Ulama sebagai ajaran
sesat, menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Hal yang demikian berlangsung
dalam waktu yang lama, barulah kemudian dihapuskan berkat fatwa dua orang Ulama
besar yaitu Syech Nuruddin Al-Raniri dan Syech Abdurrauf (Syiah Kuala). Sejak
munculnya kedua Ulama itu, ajaran-ajaran yang dianggap sesat secara
berangsur-angsur dilenyapkan. Banyak Kitab-Kitab karangan dua orang Ulama besar
Hamzah Fansuri dan Syech Syamsuddin As Sumatharani yang dibakar, karena
dianggap menyesatkan. Pembakaran naskah-naskah berharga itu kalau ditinjau dari
segi ilmu sejarah, merupakan tindakan yang rugi/(menurut pen). Pemberantasan
ajaran yang sama juga dilakukan di daerah Tepin Raya, dalam Kabupaten Pidie,-
sekarang ini. Di Teupin Raya hidup seorang Ulama yang sangat besar pengaruhnya,
yaitu Teungku Syik Teureubue I’d. Keputusan untuk membasmi ajaran Teungku Syik
Teureubue I’d ini merupakan keputusan musyawarah dari seluruh Ulama di
Kerajaan Aceh.
Dalam sebuah naskah lama berbahasa Melayu dengan
aksara Jawi juga menjelaskan perkembangan seperti yang penulis sebutkan di
atas. Dengan irama bahasa Melayu lama yang memang sangat baik menurut ukuran
zaman itu, naskah tua itu selanjutnya menjelaskan: “Amma ba’du adapun kemudian
dari itu, maka tatkala sampai saudara aku Syech Abdurrauf anak Ali a’fiallahu
a’nhu ke Bandar Aceh Darussalam, dipelihara Allah SWT jua kiranya akan dia dari
pada bid’ah, dan mengadulah aku, maka kubawa kepadanya suatu risalah bahasa
Arab dari pada perkataan yang telah diperpegang oleh kebanyakan segala orang
JAWI dan yang telah diperbesar mereka itu akan dia, hingga seolah-olah
perkataan itu pada mereka itu, tiada sah dan tiada sempurna Makrifatullah,
melainkan dengan mengetahui perkataan itu. Demikian buat hasil maknanya”,
demikian tertulis dalam naskah tsb. Apa yang dipermasalahkan oleh pengarang
kitab tsb dapat penulis ceritakan sebagai berikut: Di zaman itu sudah menjadi
praktek dari masyarakat Aceh dan negeri-negeri Jawi bahwa apabila seseorang
manusia hendak meninggal dunia (sakratul maut, yang selanjutnya hanya penulis
singkatkan dengan skm) mereka mengajarkan ucapan-ucapan tertentu bagi
mengantarkan kematian orang tersebut. Diceritakan bahwa apabila seseorang
hampir skm, maka datang atau terbayang kepadanya beberapa bentuk rupa dari
makhluk halus yang tidak dapat dilihat oleh semua orang yang berada disekitar
orang sakit itu. Maksud dari makhluk-makhluk itu mendatangi orang yang sedang
mengalami skm, adalah untuk meruntuhkan IMAN orang itu, supaya menjadi murtad
atau menjadi kafir. Maka dengan segala daya upaya sang pencuri iman itu,
menjalankan taktik perjuangannya, agar keislaman seseorang hilang. Banyak
kitab-kitab baik berbahasa Jawi maupun bahasa Arab telah beredar di zaman itu
yang mengajarkan cara-cara mengatasi saat-saat krisis sewaktu skm, supaya
seseorang tetap punya iman. Kitab kitab di zaman itu menjelaskan, bahwa
apabila makhluk yang datang kepada orang yang skm itu berwarna hitam, maka
yaitu Iblis, hendaklah orang yang sedang skm itu mengucapkan
لا إله إلا الله محمد رسول
الله هو هو هو
supaya Iblis itu lari dari dia. Apabila rupa-rupa
makhluk yang datang itu merah, maka yaitu Nasrani, maka hendaklah orang tengah
skm itu mengucap:
لا إله إلا
الله محمد رسول الله هو هو هو
Apabila yang datang itu rupa yang kuning, maka yaitu
Yahudi, maka hendaklah orang itu mengucapkan
لا إله إلا
الله محمد رسول الله هو هو هو
Apabila yang datang itu rupa hijau, maka yaitu Jibril
a.s, maka hendaklah ia mengucapkan
ماشاء الله
كان للمؤمنين يا هو هو
tetapi jika yang datang itu rupa yang putih, maka
adalah rupa Muhammad Saw, maka orang yang skm itu hendaknya mengucapkan:
ماشاء الله
كان للمؤمنين حق. قل هو الله أحد يا محمد أنت هو هو
Ajaran yang demikian disangsikan kebenarannya oleh
seorang Ulama di Aceh waktu itu. Karenanya beliau menanyakan kemusykilan itu pada
Syech Abdurrauf (Syiah Kuala). Hal ini dapat kita ikuti keterangan beliau
sendiri sbb: “Setelah itu maka bertanya aku (aku = Syech Nuruddin Ar Raniry?-
pen) kepadanya, adakah muktamad diperpegang seperti perkataan yang tersebut
dalam risalah itu atau tiadak?”.
Pertanyaan dari pengarang kitab ini mendapat
jawaban dari Syiah Kuala sbb: “Maka jawabnya: tiada aku tahu akan seperti
perkataan yang tersebut itu dalamnya itu, dan tiada pernah kulihat
dalam Kitab dan Hadist dan tiada dalam Kitab Kaum Ahli Sufi pun
seperti yang demikian itu. Hanya yang kulihat dan kuperpegang lain dari itu.
Setelah itu maka dikarangnya suatu risalah bahasa Arab pada menyatakan
perkataan yang telah diperpegang akan dia pada ketika
sakratul Kemudian maka kupindahkan dari pada bahasa Arab kepada bahasa
Jawi supaya mudah memaham kan dia segala yang mubtadi (baru belajar –pen)
Setelah itu maka dikirimkannya seperti perkataan yang tersebut dalam
risalah yang kubawa kepadanya itu ke Medinah Rasul kepada Syech kita Burhanuddin
Mulla Ibrahim anak Hasan Kurani Syafi’i Sathary padahal ia menanyai
kepadanya”, demikian tulis pengarangnya.
Koresponden
Aceh – Arab
Apa yang telah ditulis oleh sang pengarang, diakui
sendiri oleh Syiah Kuala. Dalam kitab yang sama pada bab yang lain memang ada
penulis temui jawaban pengakuan itu. Dalam pernyataan itu Syekh Abdurrauf
menulis “Syahdan bahwa sanya telah berkata kepada aku setengah dari pada
saudara aku yang mulia dari pada alamat maut adakah baginya alamat atau tiada,
dan dari pada zikir pada ketika maut itu, zikir yang mana terlebih afdhal dari
pada segala zikir pada ketika itu?. Maka jawab aku (Aku = Syiah Kuala-pen)
bahwa pengetahuan itu pada Allah Ta’ala jua dan diatas tiap-tiap yang
tahu itu ada yang amat tahu. Adapun segala rupa yang telah tersebut, yang
datang ia kepada manusia yang skm itu, maka tiada kudapat akan dia pada segala
Kitab Kaum Ahli Sufi”, demikian bunyi kitab Syiah Kuala yang telah disalin
kembali pada tahun 1247 H.
Walaupun Syech Abdurrauf telah menyatakan kepastiannya,
bahwa apa yang telah diamalkan oleh orang-orang Jawi itu, tidak mempunyai dalil
yang sah, namun beliau masih mengirimkan sepucuk surat ke Medinah mananyakan
masalah tersebut pada Ulama besar Syech Burhanuddin Mulla Ibrahim. Ini
menandakan keterbukaan sifat beliau, yang tidak memaksakan pendapat pribadi
beliau, supaya diterima umum. Dan beginilah sifat Ulama-Ulama besar di zaman
dulu. Surat Syiah Kuala kepada Syech Burhanuddin Mulla Ibrahim berbunyi a.l
sbb: “Adakah perkataan (yang telah tsb diatas-pen) ini shahih pada sebuah kitab
dari segala kitab Hadist atau dari pada segala kitab Kaum Ahli Sufi atau tiada,
maka jika perkataan itu benar maka dalam kitab yang mana tersebut ia. Maka yang
kami pinta dari pada Syech kami hendaklah Syech kami menyuratkan bagi kami
suatu perkataan yang muktamad dari pada perkataan yang datang ia pada orang
yang skm dan dari pada perkataan yang datang ia pada rupa Malik maut pada
ketika mengambil nyawa dan dengan apa dikenal oleh segala manusia yang skm,
bahwa sanya Malik maut (Malaikat yang mengambil nyawa-pen) atau Syaitan, pun
dengan zikir yang mana terafdhal pada ketika skm?”, itulah
pertanyaan-pertanyaan Syiah Kuala.
Tidak berapa lama kemudian Syech Abdurrauf pun
menerima balasan dari Syech Burhanuddin Mulla Ibrahim, sebuah risalah yang
bernama
كشف المنتظر
لم يراه المختضر
(Kasyful Muntadhiri Lima Yaraahul Mukhtadhirun). Apa
yang dijelaskan oleh Syech Burhanuddin dalam kitab tsb, persis sama dengan
kitab yang telah dikarang Syiah Kuala seperti tersebut diatas, yang lebih lanjut
menjelaskan: bahwa yang datang ketika manusia sedang skm – bukanlah rupa-rupa
yang berwarna hitam, merah, kuning, hijau dan putih, tetapi yang pernah ditemui
Syiah Kuala dalam kitab-kitab, bahwa pada saat seseorang skm, maka pada sisi
dimana sisakit terbaring memang ada datang dua Syaitan, yang satu duduk di
samping kanan dan yang satu lagi di samping kiri. Tujuan kedatangan kedua
Syaitan itu adalah untuk meruntuhkan iman seseorang ketika hendak meninggal
dunia. Si Syaitan kadang-kadang merupakan dirinya sebagai ibu atau bapa bagi
yang sedang skm, sehingga mudah menggodanya. Menurut Syiah Kuala, cara mengenal
yang datang itu apakah Malaikat atau Syaitan, adalah dengan memperhatikan
salamnya. Jika yang datang itu Malaikat maut maka ia memberi salam yang bunyinya:
السلام عليكم
يا ولى الله يقرأ عليك السلام
artinya, sejahtera atasmu hai Waliyullah, Allah
mengirim salam buat anda. Menurut Syiah Kuala, zikir yang mesti diucapkan
oleh seorang yang skm adalah
لا إله إلا
الله
tanpa ditambah embel-embel yang lain. Hal ini dapat
kita baca dalam karangan beliau: “Dan adapun zikir afdhal (yang terbaik-pen)
daripada segala zikir pada ketika sakratulmaut itu, maka yaitu لا إله إلا الله
maka sebab itulah disebutkan mengajar orang yang hendak mati itu dengan zikir
لا إله إلا الله jua hanya karena sabda Rasul saw
لقنوا موتاكم
لا إله إلا الله
(ajar oleh kamu akan orang skm daripada kamu zikir
لا إله إلا
الله
dan sabdaNya
من كان آخر
كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة
(Barangsiapa yang adalah perkataan akhir hidupnya
لا إله إلا الله ,maka ia masuk Syurga. Menurut Syiah Kuala lagi “Dan Nabi
tiada menyeruhkan kita dengan mengajar orang yang skm dengan
محمد رسول
الله هو هو هو
atau seperti yang telah tersebut itu dalam Kitab
bahasa JAWI itu”.
Kalaulah sekiranya tidak lahir Syiah Kuala di
Indonesia (Aceh), pasti agama Islam yang berkembang dan dipeluk rakyat
Nusantara ini, mungkin saja hingga hari ini, agama Islam masih simpang siur
ajaran-ajarannya di negara kita. Oleh karena pengarang Syiah Kuala begitu besar
dalam memberikan fatwa-fatwa dalam hal Hukum Islam dalam Kerajaan Aceh, maka
sangat terkenal dimasa itu, bahkan sampai saat sekarang, sebuah Hadih
Maja yang berbunyi: Adat bak Po Teumeuruhom Hukom bak Syiah Kuala.
Tapi yang masih jadi tanda tanya bagi penulis
artikel ini, dimanakah letaknya Mesjid Gle Jai مسجد كلى جل
pada masa sekarang ini yang merupakan tempat penyalinan Kitab karangan Syiah
Kuala tsb di atas, dan siapakah sebenarnya ‘Abdullah Blang Kuta sebagai
penyalin kitab yang sama pada tahun 1247 H???.
Semoga Anda pembaca sudi memberi
informasinya!!!. Sekian.
Daftar bacaan – kutipan:
1. Pustaka T.A. Sakti, IPM Sakti, Kp. Keuramat, Banda
Aceh.
2. Drs. Zakaria Ahmad: Dua Tokoh Ulama Besar
diabad ke XVIII, Sinar Darussalam no. 34 Mei 1971 hlm. 53.-
3. Hasil wawancara dengan Ibunda Tgk. Nyak
Kaoy yang berdomisili di Kp. Bucue, Kec. Sakti, Kab. Pidie. Aceh.
Kakek dari Ibunda Tgk Nyak Kaoy ini, yang bernama Teungku Oesman dengan gelar
Teungku Syik Meunasah Jok, sebagai seorang ulama, turut hadir pada musyawarah
Ulama-ulama Aceh untuk membasmi ajaran-ajaran Teungku Syik Teureubue ‘Id di
Teupin Raya, Pidie. Kubur Teungku Syik Meunasah Jok sekarang terletak di
pinggir jalan Kotabakti – Tangse itu, dulunya bernama (Keumala) Meunasah Jok,
sekarang telah ditukar dengan nama yang lain.
Sumber: Majalah
SANTUNAN No.55, Tahun ke IV, edisi Mei 1981. Penerbit Kanwil Departemen
Agama Propinsi Daerah Istimwa Aceh, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar