Generasi kita diwariskan dari
leluhur (Endatu) secara turun temurun dan leluhur kita pernah hidup di zaman
dahulu kala. Dalam perjalanan sejarah Aceh, terdapat catatan pengalaman
leluhur-leluhur kita sejak berakhirnya zaman Prasejrah Indonesia.
Babak baru sejarah Aceh dimulai sejak Islam singgah di bumi Serambi Mekkah
(Aceh) ini di ujung Barat pulau Sumatera. Saat itu dikenal adanya
kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Peureulak (840 M/225 H),
Kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166 M), Kerajaan Tamiang, Pedir dan
Meureuhom Daya (Lamno). Kemudian, oleh Sultan Ali Mughayat Syah (601 H/1205 M)
Aceh disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh
Darussalam yang bergelar Kutaraja. Zaman dulu dan zaman sekarang ini
adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik
seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini.
Kita perlu mengkoreksi klasifikasi
sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Sejarah, Zaman
Hindu, Zaman Budha, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Generasi kita
pada saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas
dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa. Leluhur kita pernah beragama
tersebut dan generasinya telah terwariskan kepada kita yakni “Islam.”
Kalaupun kita mempercayai pandangan
Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) yang mengemukakan teori siklus ‘lahir-tumbuh-mandek-hancur’
dari suatu kehidupan sosial atau suatu peradaban, dan pada kenyataannya,
kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami proses tersebut, akan tetapi
semua pengalaman tersebut telah tercatat dalam DNA kita. Adalah
perjuangan sebuah bangsa untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik dan
memutus siklus karakter bangsa yang tidak baik.
Yang namanya ‘kisah’ tentu saja
sulit dicari keotentikannya, akan tetapi bagaimana pun kita tetap dapat
mengambil hikmah dari sebuah ‘kisah’, khususnya “Kisah yang bernama Aceh”.
Kita harus mulai hidup berkesadaran.
Pertama kita sadari bahwa potensi genetik kekerasan masih berada dalam diri.
Keributan dalam pertunjukan dangdut dan sepakbola, adalah bukti masih adanya
potensi kekerasan dalam diri. Latihan meditasi atau olah batin dapat
melembutkan diri.
Selanjutnya kita harus berjuang
membuang potensi genetik lama yang kurang baik dan menggantinya dengan
kebiasaan baru, karakter baru dan akhirnya membuat perbaikan genetik. Dari
studi genetika terbukti bahwa kita telah mengalami perubahan yang luar biasa,
maka perbaikan karakter sudah pasti dapat dicapai dengan suatu perjuangan.
Sudah waktunya kita
menghormati jasa leluhur dan Endatu kita, sudah waktunya kita menghormati Warisan
Budaya dan Adat kita Aceh yang sekarang kita banggakan. Sujudku bagi Ibu Pertiwi. Terima Kasih ku
ucapakn kepada Guru ku yang tulus memberikan sebuah pelajaran yang berguna
bagiku. (Chaerol Riezal)
bagus sekali untuk dibaca terimakasih
BalasHapusal falaq