3 Agustus 2012

Ramadhan Ala Rasulullah Saw

Rasulullah SAW adalah suri teladan. Bukan hanya teladan utama dari sisi perilakunya, namun juga dari tata cara ibadahnya. Karena itu, tidak akan tersesat jika ibadah kita dilakukan seperti Rasulullah beribadah. Bukan hanya pada tata cara sholat, namun tata cara ibadah lain pun kita harus merujuk pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW.

Bagaimana Rasulullah melewati Bulan Suci Ramadhan? Menurut ulama asal bandung, KH Miftah Faridl, menjelang bulan Ramadhan, Rasulullah SAW senantiasa mengumpulkan para sahabatnya. Rasul kemudian menyampaikan kepada mereka hikmah dan keutamaan Ramadhan dan puasa yang dilakukan umat Islam. Jadi lewat hal yang selalu berulang setiap tahun ini, rasul memberikan pembelajaran dan pemahaman ilmu dan mental kepada para sahabatnya.

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya memiliki makna betapa pentingnya mempersiapkan diri dengan ilmu dan mental dalam menghadapi bulan penuh hikmah ini.
Pakar hadis KH Ali Mustafa Yakub MA mengingatkan pentingnya meniru cara Rasul SAW melewati bukan suci Ramadhan, agar kemurnian ajarannya tetap terjaga. "Jangan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran rasul dan jangan terjebak pada hadis palsu yang merusak ibadah puasa kita,'' ingatnya.
Salah satu hal yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, menurut Imam Besar Masjid Istiqlal ini, adalah dengan membagi bulan Ramadhan menjadi tiga fase. Menurutnya, tidak ada hadis shahih yang menyatakan Ramadhan terbagi tiga menjadi sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, dan sepuluh hari ketiga.
Kalaupun ada, katanya, berdasarkan hadis riwayat Bukhari yang dikisahkan Siti Aisyah RA, Rasulullah membagi Ramadhan menjadi dua fase. Yaitu dua puluh hari pertama dan sepuluh hari terakhir, dimana Rasulullah SAW menggenjot tingkat ibadahnya menjelang penghabisan bulan mulia ini.
Menurut KH Ali Mustafa Yaqub, ibadah rasul di dua puluh hari pertama, dilakukan secara intensif. Pada sepuluh hari terakhir, Rasulullah akan "tancap gas" dalam beribadah. ''Apa yang ditunjukkan Rasulullah ini berbeda dengan apa yang dilakukan kebanyakan orang Indonesia yang justru semangat di awal tapi melempem di akhir Ramadhan,'' katanya.
Senada dengan Ali, Miftah Faridl yang merupakan Ketua MUI Kota Bandung ini meminta masyarakat agar tidak terpengaruh terhadap konsep pemilahan ini. ''Karena hadisnya sendiri tidak kuat,'' katanya. Menurutnya, nilai bulan Ramadhan itu sejak awal hingga akhir pelaksanaannya sama semua, tidak dipilah berdasar 10 hari pertama, kedua, dan ketiga. ''Sama-sama mulia, berpahala tinggi, dan ajang mencari rahmat serta pengampunan dari Allah SWT,'' lanjutnya.
Meski begitu, Miftah mengakui di sepuluh hari terakhir ini memang dianjurkan untuk meningkatkan ibadah. ''Ini memang momen istimewa, karena selain menjelang penghabisan bulan ramadhan, di sepuluh hari terakhir juga ada peristiwa Lailatul Qadar yang amalan pahalanya bagi mereka yang beribadah akan sangat luar biasa,'' jelasnya.
Apa yang dilakukan Rasulullah pada sepuluh hari terakhir? Menurut Ali, yang patut kita contoh dari ibadah rasul adalah bahwa di sepuluh hari terakhir adalah menghidupkan setiap malamnya dengan qiyamul lail (shalat malam). Rasulullah SAW juga membangunkan keluarganya untuk beribadah di masjid dengan melakukan iktikaf. ''Satu hal lagi, di sepuluh hari terakhir, Rasulullah SAW juga berpuasa dari mengumpuli istri-istrinya,'' jelas Ali.
Tradisi lainnya yang dinilai kedua ulama ini bertentangan dengan sunah rasul adalah tradisi ziarah kubur dan juga tradisi bersih-bersih. ''Rasul tidak pernah mengajarkan keduanya,'' ujar kedua ulama ini sepakat.
Dalam hal bersih-bersih, menurut Ali, adalah kewajiban Muslim setiap harinya, tanpa harus menunggu bulan Ramadhan datang. ''Kebersihan itu kan sebagian dari iman, karena itu sudah jadi kewajiban kita untuk menjaga kebersihan diri tanpa harus menantikan bulan Ramadhan,'' katanya.

Sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa tidur di bulan Ramadhan bernilai ibadah. Namun apakah faktanya demikian? Karena pada akhirnya gurauan yang timbul di masyarakat adalah jika tidur bernilai ibadah, maka tak ada salahnya menghabiskan bulan Ramadhan dengan tidur. Baik Ali dan juga Miftah menyatakan bahwa hadis tersebut tidak benar. ''Mungkin perumpamaannya lebih tepat seperti ini, bahwa daripada melakukan maksiat lebih baik tidur saja,'' ujar Ali.
Rasulullah, kata Ali, tetap produktif selama bulan Ramadhan. Bahkan, pasukan Muslim pernah melakukan perang akbar di bulan ini. Rasulullah juga mengurangi waktu tidurnya yang memang sangat sedikit itu untuk memperbanyak ibadah. Bagaimana dengan Anda? n uli

Beginilah Rasulullah Berpuasa…
* Berniat untuk berpuasa sejak malam. "Diriwayatkan dari Hafshah, ia berkata, Telah bersabda Nabi SAW, barang siapa yang tidak berniat untuk puasa (Ramadhan sejak malam, maka tak ada puasa baginya." (HR Abu Daud).

* Rasul mengawalinya dengan makan sahur yang diakhirkan, dan menyegerakan berbuka puasa. Rasul SAW selalu berhenti makan sebelum perutnya kenyang.

* Apabila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Beliau benar-benar menghidupkan malam untuk beribadah dan membangunkan istrinya untuk turut beribadah bersamanya. Rasulullah juga mengencangkan ikatan kainnya (tidak mengumpuli istrinya) selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan).

* Memperbanyak ibadah selama bulan Ramadhan. Juga memperbanyak sedekah kepada sesama. Rasulullah SAW yang dikenal sangat dermawan, namun Beliau semakin dermawan lagi di saat bulan Ramadhan, terutama terhadap anak-anak yatim dan fakir miskin.

Tidak mengada-ada, sangat sederhana. Bila kini kita berbuka puasa dengan meja makan penuh sesak oleh makanan, Rasulullah menyegerakan berbuka dengan sesuatu yang manis, semisal sebutir kurma. Kalau tidak ada kurma basah, maka dengan kurma kering. Kalau keduanya tidak ada, maka dengan meneguk beberapa teguk air.

(Chaerol Riezal)

Sumber:
Kumpulan Berita Swara Muslim September 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar