Rasulullah SAW adalah suri teladan. Bukan hanya
teladan utama dari sisi perilakunya, namun juga dari tata cara ibadahnya.
Karena itu, tidak akan tersesat jika ibadah kita dilakukan seperti Rasulullah
beribadah. Bukan hanya pada tata cara sholat, namun tata cara ibadah lain pun
kita harus merujuk pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW.
Bagaimana Rasulullah melewati Bulan Suci Ramadhan?
Menurut ulama asal bandung, KH Miftah Faridl, menjelang bulan Ramadhan,
Rasulullah SAW senantiasa mengumpulkan para sahabatnya. Rasul kemudian
menyampaikan kepada mereka hikmah dan keutamaan Ramadhan dan puasa yang
dilakukan umat Islam. Jadi lewat hal yang selalu berulang setiap tahun ini,
rasul memberikan pembelajaran dan pemahaman ilmu dan mental kepada para
sahabatnya.
Apa yang dilakukan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya memiliki makna betapa pentingnya mempersiapkan diri dengan ilmu dan mental dalam menghadapi bulan penuh hikmah ini.
Pakar hadis KH Ali Mustafa Yakub MA mengingatkan
pentingnya meniru cara Rasul SAW melewati bukan suci Ramadhan, agar kemurnian
ajarannya tetap terjaga. "Jangan melakukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan ajaran rasul dan jangan terjebak pada hadis palsu yang merusak ibadah
puasa kita,'' ingatnya.
Salah satu hal yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran
Rasulullah SAW, menurut Imam Besar Masjid Istiqlal ini, adalah dengan membagi
bulan Ramadhan menjadi tiga fase. Menurutnya, tidak ada hadis shahih yang
menyatakan Ramadhan terbagi tiga menjadi sepuluh hari pertama, sepuluh hari
kedua, dan sepuluh hari ketiga.
Kalaupun ada, katanya, berdasarkan hadis riwayat
Bukhari yang dikisahkan Siti Aisyah RA, Rasulullah membagi Ramadhan menjadi dua
fase. Yaitu dua puluh hari pertama dan sepuluh hari terakhir, dimana Rasulullah
SAW menggenjot tingkat ibadahnya menjelang penghabisan bulan mulia ini.
Menurut KH Ali Mustafa Yaqub, ibadah rasul di dua
puluh hari pertama, dilakukan secara intensif. Pada sepuluh hari terakhir,
Rasulullah akan "tancap gas" dalam beribadah. ''Apa yang ditunjukkan
Rasulullah ini berbeda dengan apa yang dilakukan kebanyakan orang Indonesia
yang justru semangat di awal tapi melempem di akhir Ramadhan,'' katanya.
Senada dengan Ali, Miftah Faridl yang merupakan Ketua
MUI Kota Bandung ini meminta masyarakat agar tidak terpengaruh terhadap konsep
pemilahan ini. ''Karena hadisnya sendiri tidak kuat,'' katanya. Menurutnya,
nilai bulan Ramadhan itu sejak awal hingga akhir pelaksanaannya sama semua,
tidak dipilah berdasar 10 hari pertama, kedua, dan ketiga. ''Sama-sama mulia,
berpahala tinggi, dan ajang mencari rahmat serta pengampunan dari Allah SWT,''
lanjutnya.
Meski begitu, Miftah mengakui di sepuluh hari terakhir
ini memang dianjurkan untuk meningkatkan ibadah. ''Ini memang momen istimewa,
karena selain menjelang penghabisan bulan ramadhan, di sepuluh hari terakhir
juga ada peristiwa Lailatul Qadar yang amalan pahalanya bagi mereka yang
beribadah akan sangat luar biasa,'' jelasnya.
Apa yang dilakukan Rasulullah pada sepuluh hari
terakhir? Menurut Ali, yang patut kita contoh dari ibadah rasul adalah bahwa di
sepuluh hari terakhir adalah menghidupkan setiap malamnya dengan qiyamul lail
(shalat malam). Rasulullah SAW juga membangunkan keluarganya untuk beribadah di
masjid dengan melakukan iktikaf. ''Satu hal lagi, di sepuluh hari terakhir,
Rasulullah SAW juga berpuasa dari mengumpuli istri-istrinya,'' jelas Ali.
Tradisi lainnya yang dinilai kedua ulama ini
bertentangan dengan sunah rasul adalah tradisi ziarah kubur dan juga tradisi
bersih-bersih. ''Rasul tidak pernah mengajarkan keduanya,'' ujar kedua ulama
ini sepakat.
Dalam hal bersih-bersih, menurut Ali, adalah kewajiban
Muslim setiap harinya, tanpa harus menunggu bulan Ramadhan datang. ''Kebersihan
itu kan sebagian dari iman, karena itu sudah jadi kewajiban kita untuk menjaga
kebersihan diri tanpa harus menantikan bulan Ramadhan,'' katanya.
Sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa tidur di bulan Ramadhan bernilai ibadah. Namun apakah faktanya demikian? Karena pada akhirnya gurauan yang timbul di masyarakat adalah jika tidur bernilai ibadah, maka tak ada salahnya menghabiskan bulan Ramadhan dengan tidur. Baik Ali dan juga Miftah menyatakan bahwa hadis tersebut tidak benar. ''Mungkin perumpamaannya lebih tepat seperti ini, bahwa daripada melakukan maksiat lebih baik tidur saja,'' ujar Ali.
Sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa tidur di bulan Ramadhan bernilai ibadah. Namun apakah faktanya demikian? Karena pada akhirnya gurauan yang timbul di masyarakat adalah jika tidur bernilai ibadah, maka tak ada salahnya menghabiskan bulan Ramadhan dengan tidur. Baik Ali dan juga Miftah menyatakan bahwa hadis tersebut tidak benar. ''Mungkin perumpamaannya lebih tepat seperti ini, bahwa daripada melakukan maksiat lebih baik tidur saja,'' ujar Ali.
Rasulullah, kata Ali, tetap produktif selama bulan
Ramadhan. Bahkan, pasukan Muslim pernah melakukan perang akbar di bulan ini.
Rasulullah juga mengurangi waktu tidurnya yang memang sangat sedikit itu untuk
memperbanyak ibadah. Bagaimana dengan Anda? n uli
Beginilah Rasulullah Berpuasa…
* Berniat untuk berpuasa sejak malam. "Diriwayatkan dari Hafshah, ia
berkata, Telah bersabda Nabi SAW, barang siapa yang tidak berniat untuk puasa
(Ramadhan sejak malam, maka tak ada puasa baginya." (HR Abu Daud).
* Rasul mengawalinya dengan makan sahur yang
diakhirkan, dan menyegerakan berbuka puasa. Rasul SAW selalu berhenti makan
sebelum perutnya kenyang.
* Apabila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan, Beliau benar-benar menghidupkan malam untuk beribadah dan
membangunkan istrinya untuk turut beribadah bersamanya. Rasulullah juga
mengencangkan ikatan kainnya (tidak mengumpuli istrinya) selama sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan).
* Memperbanyak ibadah selama bulan Ramadhan. Juga memperbanyak
sedekah kepada sesama. Rasulullah SAW yang dikenal sangat dermawan, namun
Beliau semakin dermawan lagi di saat bulan Ramadhan, terutama terhadap
anak-anak yatim dan fakir miskin.
Tidak mengada-ada, sangat sederhana. Bila kini kita
berbuka puasa dengan meja makan penuh sesak oleh makanan, Rasulullah
menyegerakan berbuka dengan sesuatu yang manis, semisal sebutir kurma. Kalau
tidak ada kurma basah, maka dengan kurma kering. Kalau keduanya tidak ada, maka
dengan meneguk beberapa teguk air.
(Chaerol Riezal)
Sumber: Kumpulan Berita Swara Muslim September 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar