5 Juni 2012

Yang Menggila Dalam Perang Aceh

Karena stres berat akibat kelelahan perang. Marsose di Blangkejeren saling bunuh membunuh. Perempuan menjadi penyebab lainnya. Pada beberapa brigade, serdadu-serdadu Belanda itu banyak yang mengacuhkan komandannya.

Ketegangan antar serdadu Belanda itu, diulas Zentgraaff dalam buku “
Atjeh”. Kepanikan menghadapi pejuang Aceh, membuat para pasukan elit Belanda itu stres berat, ditambah lagi akumulasi persoalan di kalangan istri-istri marsoese dengan marsose yang istrinya tidak sampai ke Blangkejeran.

Zentgraaff menulis, seorang marsoase Ambon hendak membunuh komandan brigadenya, namun seorang marsoase lainnya bertindak tegas menghalanginya. Pada kejadian-kejadian sebelumnya, para marsoase itu rupanya tidak bertindak dengan tegas, walaupun mereka dapat melakukannya harus dapat melakukannya. 

Dimanakah kini gerangan perginya semangat militer yang baik itu, semangat yang terutama bagi pasukan kecil itu, yang paling banyak terdiri dari seorang komandan dengan 18 anak buah bersenjata karaben dan kelewang, di mana setiap orang sangat terikatnya kepada kawan-kawannya?” tanya Zentgraaff.

Kejadian lainnya, seorang komandan brigade bernama Van der Post, yang berperawakan kecil serta pucat, sedianya akan berangkat patroli bersama pasukan pada pukul tujuh pagi, dan semua sidah siap, tatkala si “Pang” datang berkata kepadanya mangenai seorang serdadu yang tidak mau pergi ketempat jaga, serta punya maksud-maksud jahat. Sering benar terjadi, dimana serdadu-serdadu yang ada punya sesuatu persoalan dengan istrinya sendiri atau istri orang lain, tidak mau pergi keluar bivak dan memberi alasan karena dia sakit.

Sakit hanyalah alasan untuk tetap tinggal di bivak, tidak ikut patroli, karena para marsose yang pura-pura sakit itu punya agenda lain, yakni ketika kawan-kawannya pergi patroli, ia akan kencan dengan istri marsose yang suaminya ikut patroli tersebut.
Untuk menghindari hal itu, lalu di kerluarkanlah perintah: setiap serdadu yang melapor sakit ketika akan berangkat, haruslah berada di tempat jaga dan tetap berada di sana sampai pasukan kembali, sehingga dengan demikian maka setiap jam kencan dia tidak dapat memenuhi,” jelas Zentgraaff.

Pun demikian, tetap saja serdadu yang pura-pura sakit itu tidak mau pergi ke tempat jaga. Sampai akhirnya komandan mereka, Van Der Post turun tangan, ia masuk ke dalam dengan karaben di tanggannya. Diarahkannya senjata ke marsose yang pura-pura sakit itu, sambil meminta anak buahnya untuk melucuti senjata masrsose tersebut.

Tapi marsose yang sudah paham betul pada alasan pura-pura sakit kawannya itu, enggan melakukan perintah komandannya, sebaliknya mereka malah mengomel akan menembak komandannya yang tidak mengerti pada kebutuhan prajuritnya.

Hal itu membuat komandan Van Der Post berang. Ia kemudian melemparkan karabennya ke lantai dengan sangat marah, dan melompat ke hadapan marsose yang mengomelinya. “Tembak kalau kalian memang berani,” tantang Van Der Post.

Mendengar tantangan tersebut, ke delapan belas marsose malah berbalik meninggalkan komandannya itu. Merasa tak dihargai van Der Post pun berteriak dengan keras. “Baris” perintanya kepada marsose itu, yang kemudian langsung membentuk barisan. Lalu ke 18 marsose itu dihukum berjalan sejauh mungkin sampai semuanya kelelahan dan tidak sanggup berjalan lagi.

Tak cukup sampai di situ, Van Der Post pun memerintahkan ke 18 marsose itu untuk patroli meski sudah sangat lelah. Karena sering dihukum seperti itu, maka akhirnya secara perlahan-lahan para marsose itu disiplin kembali, meski alasan sakit untuk menolak ikut patroli agar bisa berkencan dengan para wanita, istri marsose lainnya tetap tak pernah hilang.

Kisah yang lucu sekaligus unik menimpa Limbar, seorang kopral dari Brigade pimpinan Mosselman, yang dinilai cemerlang. Yang karena kecemerlangannya itu pula mendapat banyak tanda jasa setelah sekian lama ikut bertempur di pelosok-pelosok Aceh.

Limbar mulai menunjukkan gejala-gejala kelakukan aneh. Ketika berada di Padang Tiji, Pidie, ia sudah mulai menampakkan gejala gila dan pada pantolannya yang putih itu dijahitnya dua buah bies terbuat dari kertas parada, sedangkan pada jasnya dilekatkannya banyak tres-tres dan bintang-bintang. Pada topinya diberi jambul dari kertas dan sarung pedangnya begitu bagus, melebihi kedudukan seperti seorang Eropa berpangkat Hoofdcommissaris. Di Hinda Belanda dalam kepolisian dengan pakaian kebesarannya kiri-kira seperti seorang Admiral besar dan seorang Veldmaarshalk.

Begitulah saban hari ia bergaya di depan kaca. Sehingga kawan-kawannya dalam rangan menertawainya. Moselman selaku komandan brigade lalu masuk ke barak tersebut dan menghardiknya. Limbar kemudian menjawab dengan santai. “Apa sersan tidak tahu bahwa saya sekarang jenderal?” katanya dengan santai kepada komandannya itu.

Mendengar itu, Moselman jadi emosi, ia pun terus menghardik serta memberi aba-aba pada bawahannya itu. “Siaaaaa…….ap grak,” perintah Moselman. Dengan sikap ragu-ragu Limbar pun melakukan perintah komandannya itu, kemudian pergi meninggalkannya.

Tatkala Mosselman bersama pasukannya pergi mengadakan suatu gerak patroli, dan tiba-tiba berserobot dengan sekumpulan gerombolan maka mereka berhasil lari pontang panting karena telah terlebih dahulu melihat kehadiran militer-militer tersebut. Karena itulah komandan menjadi marah sekali kepada pasukannya dan berkata bahwa ini tidak becus mereka harus pergi mencarinya sekarang dan tidak boleh kembali sebelum menemukan berkas jejak itu.

Limbar tidak di perkenankan ikut serta sebagai hukuman baginya dan putusan itu betul-betul tamparan keras baginya karena menyangkut rasa kehormatan dirinya. Tatkala para pencari jejak itu tiba kembali, dan Mosselman sedang duduk di atas sebuah batu rata sambil merokok tiba-tiba si Limbar berdiri tegak di depanya dengan senapan karaben siap ditangannya. “Kenapa sekarang kopral Limbar tidak berlaku gila lagi?” tanya Mosselman, mengingat kejadian di barak Padang Tiji ketika Limbar berdandan dan bersolek di depan kaca dengan atribut di baju seperti jenderal.

Namun pertanyaan itu tidak di jawab Limbar, ia tetap memegang karaben dan mengarahkan ke komandannya itu. Ia memandang dengan sorot mata yang dingin dan aneh. Melihat gelagat aneh Limbar tersebut, Mosselaman memberikan aba-aba. “letakkan…….karaben!” perintahnya. Limbar pun meletakkannya, lalu Mosselaman kembali memberi aba-aba. “Sandang senjata, maju jala…..an grak.” Limbar pun menyandang kembali senjata itu dan berjalan meninggalkan komandannya.

Tak lama kemudian, Limbar pun dibawa ke Kutaraja. Marsose yang stres akibat persoalan perang dan perempuan itu pun ditempatkan bersama orang-orang gila lainnya di sebuah penampungan. Namun atas prestasinya selama ikut berperang di seantero Aceh, kepadanya diberikan penghargaan berupa Miklitaire Willwimsorde.

Suatu ketika Mosselaman pergi mengunjunginya. Juru rawat disitu telah membuat sebuah bintang biasa yang besar dari tutup blek dan di pakai oleh limbar pada dada bajunya. Sekali-kali tangannya yang kurus itu membelai bintang primitif tersebut. Tersirat tanda-tanda mengingatnya kembali ketika komandan lama itu masuk kedalam dia mencium bau udara hutan-hutan cemara di Blangkejeren. Limbar pun berlagak seperti Jenderal dan bertanya kepada komandannya itu “Apa sersan sudah pulang dari Gayo?”

Sebelum Mosselman meningalkannya, Limbar pun mengajukan beberapa permohonan. Sebab menurutnya, namanya bukanlah Limbar tapi Graf Timbal dan menghendaki gelar yang sepadan menurut kedudukannya. Ia masih menganggap dirinya seorang jenderal. Tak lama kemudan mantan kopral pemberani itu pun di kirim ke rumah sakit Jiwa di Bogor.

Zentgraaff menilai hal tersebut merupakan suatu akhir yang sangat menyedihkan bagi seorang Marsose cemerlang dan pemberani seperti Limbar. Dan kegilaan-kegilaan marsose lain pun terus berlanjut setelah Limbar. Persoalannya masih jenuh berperang dan wanita (nafsu). Menurut Zentgraaff, dalam tahun 1909 dan 1910. di Blangkejeren terjadi berbagai peristiwa aneh di luar batas-batas normal.

1 komentar: